Saya membayangkan suatu kondisi di mana Jokowi bicara blak-blakan tentang permasalahan rumit yang sedang dialami oleh negara ini, menjelaskan semua perkaranya, meminta pendapat dari semua masyarakat terkait masalah yang sedang dialami, melakukan sharing, meminta nasehat kepada rakyat, merangkul rakyat untuk tetap bersatu dalam melawan pendemi. Saya sungguh membayangkan suatu kondisi itu, di mana akan menjadi sebuah sejarah yang paling epic, ketika Presiden menyatu dengan rakyatnya.
Namun apa yang terjadi? Pemerintah seolah gengsi, tidak ingin terlihat lemah di mata rakyat, tidak ingin dicap "tidak mampu" mengurus negara yang besar ini, terlebih di depan para oposisinya. Dan yang lebih mengerikan, Pemerintah lebih mendengarkan mereka yang punya modal, yang punya kepentingan untuk kemakmuran mereka sendiri.Â
Padahal, menurut Saya tidak ada yang salah dengan sebuah pengkondisian yang Saya bayangkan di atas. Malah, jika Jokowi mampu dan berani untuk melalukan hal itu, justru akan membuktikan bahwa Jokowi adalah sosok yang merakyat dan dicintai oleh rakyat.Â
Tidak ada yang salah ketika Pemerintah jujur kepada rakyat, bahwa Pemerintah tidak mampu mengendalikan laju corona dan memohon dengan sangat (bila perlu sambil menangis) agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan, agar semua manusia yang ada di Indonesia bersatu melawan virus corona. Saya sungguh sangat membayangkan momen epic itu, namun sayangnya momen epic yang Saya bayangkan hanya sebuah mimpi, atau bahkan mitos.
Faktor yang ketiga adalah penggelembungan asset, dikutip dari wikipedia, penggelembungan asset terjadi ketika investasi didorong oleh emosi. Misalnya pada 1990-an saat pasar saham mendapat keuntungan besar.Â
Mantan Pemimpin FED, Alan Greenspan sering mengungkapkan istilah dengan nama "kegembiraan irasional." Investasi yang didorong oleh emosi ini menggembungkan pasar saham, sehingga ketika gelembungnya pecah, maka akan terjadi panic selling yang tentunya dapat menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.
Ya, faktor yang ketiga ini berkaitan dengan aturan sapu jagad yang bernama Omnibus Law. Aturan sapu jagad itu sudah dirancang jauh sebelum adanya virus corona yang melumpuhkan negara ini, melalui beragam slogan tentang kemudahan dalam berinvestasi, Pemerintah terlena hingga tidak menyadari bahwa ancaman dalam ekonomi bukan hanya yang berasal atau terkait dengan human error dan teknis saja, tetapi juga disebabkan oleh alam, virus corona misalnya.Â
Padahal, siklus ekonomi sudah sangat memperjelas keadaan, bahwa krisis 10 tahunan pasti terulang lagi, seperti halnya krisis moneter pada tahun 1998 dan 2008. Jika salah satu alasan dibentuknya Omnibus Law adalah untuk meminimalisir krisis yang terjadi pada tahun 2018, alasan itu masih bisa diterima.Â
Tapi yang perlu diingat adalah, Indonesia bukan negara produsen tetapi negara konsumen. Pemegang kunci permainan ada di pihak China dan Amerika Serikat, melalui trade war yang sudah berlangsung selama belasan tahun yang lalu.
Dan sekarang lihatlah, dengan adanya iklim politik yang tidak sehat, pembuatan aturan yang tumpang tindih, ditambah semakin perkasanya virus corona, banyak investor yang justru menarik uangnya dari Indonesia, memindahkan uangnya ke negara yang lebih minim konflik.
Hasilnya, bisa dilihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan dan juga nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara asing. Ironi, kan? Namun inilah kenyataan yang harus kita terima akibat dari politik praktis yang selama ini masih menjadi budaya di Indonesia.