"Oh..., maaf, Maryam."
Kuhapus dua butir air yang jatuh dari mataku.
"Kalian masih sering ke sini, De?" tanya Maryam.
"Iya, Maryam. Andre sering minta dibelikan nasi goreng seafood. Kamu masih ingat kan menu favoritnya di café ini?"
Maryam mengangguk.
"Bagaimana denganmu Maryam? Mengapa kamu belum menikah? Apakah kamu belum bisa melupakan Andre?" tanyaku hati-hati.
"Aku sudah berusaha, De, namun waktu dan jarak yang demikian jauh terentang tidak sanggup menghapus perasaanku. Tak perlu khawatir De, Andre adalah masa laluku, dan ia juga telah menjadi masa depanmu. Aku tidak akan menganggunya. Bagiku cinta tidak lagi menjadi sesuatu yang sangat berharga."
"Apa maksudmu, Maryam? Bukankan cinta adalah hal paling mendasar dalam membina hubungan dengan seseorang?"
Aih, betapa naifnya aku. Bagaimana mungkin aku mempertanyakan arti cinta pada Maryam? Bukankah Andre juga tidak mencintai aku tapi aku mengambilnya dari Maryam?
"Aku akan menikah, De. Ia pria yang jauh lebih tua dariku, tepatnya tujuh belas tahun di atasku. Kami bertemu di pesawat dua tahun lalu dalam perjalanan bisnisku dari Lampung ke Jakarta."
Aku terperanjat. Salahkah pendengaranku?