Mohon tunggu...
Reiza Patters
Reiza Patters Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just an ordinary guy..Who loves his family... :D

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ojek Online Bukan Solusi Transportasi Kota

2 Oktober 2015   12:45 Diperbarui: 2 Oktober 2015   12:45 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kalau keberadaan ojek akan diakomodir, tidak ada jalan lain segera ajukan revisi UU nomor 22 tahun 2009,” tambah dia.

 

Ojek Aplikasi vs Keruwetan Sistem Transportasi

Ada hal lain yang sering terlupakan dalam obrolan yang biasanya panas dan seru tentang ojek berbasis aplikasi dan sejenisnya ini, yaitu membludaknya jumlah sepeda motor yang saat ini sudah seperti kawanan nyamuk di atas got jorok jalanan di Jakarta, mereka merajai jalan kota-kota besar di Indonesia. Di negara maju seperti Jepang, sepeda motor jarang berseliweran di jalan-jalan. Motor yang melintasi jalan raya biasanya adalah motor gede atau motor sport. Padahal Jepang adalah produsen utama sepeda motor di Indonesia. Mengapa di negara maju sepeda motor dan ojek tidak ada? Karena moda transportasinya sudah tertata rapi dan mampu mengakomodir mobilitas warganya.

Kondisi berbeda terjadi di Indonesia. Kota-kota besar tidak memiliki sistem transportasi yang nyaman sehingga masyarakat berbondong-bondong naik sepeda motor. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah sepeda motor yang beredar di tanah air hingga tahun 2013 sudah lebih dari 84,7 juta unit, sementara mobil 11,5 juta unit. Sementara pertumbuhan jumlah bus jauh di bawah pertumbuhan mobil pribadi atau sepeda motor.

Keprihatinan masyarakat terhadap booming sepeda motor serta-merta beralih ke layanan ojek berbasis aplikasi yang sedang berusaha menjadikan alat transportasi roda dua sebagai angkutan umum resmi. Harapan agar pemerintah membatasi dan menekan pertumbuhan sepeda motor pun terinterupsi oleh gerakan legalitas ojek.

Kemudian, apakah pengguna ojek berbasis aplikasi ini adalah yang selama ini merupakan pengguna kendaraan pribadi atau pengguna kendaraan umum? Karena jika mereka adalah pengguna kendaraan pribadi, khususnya mobil, maka bisa jadi macet Jakarta bisa sedikit berkurang. Namun jika mereka ternyata adalah pengguna kendaraan umum yang melakukan substitusi pola perjalanan mereka dengan ojek berbasis aplikasi ini, maka tidak akan ada pengaruhnya kepada kemacetan Jakarta.

Lalu, jangan lupakan hal lain bahwa bagaimanapun, layanan transportasi berbasis aplikasi (ojek maupun taksi) itu menggunakan kendaraan pribadi yang dikomersilkan. Ini artinya, semakin bertambah banyak kendaraan pribadi yang melintas di jalanan Jakarta di tengah semakin buruknya pelayanan transportasi publik dan pertumbuhan jalan yang tak kunjung bertambah. Semakin tinggi penggunaan BBM di tengah kampanye pengurangan subsidi BBM dan bahan bakar fosil.

Keinginan Gubernur DKI, yang ingin menggunakan ojeg berbasis aplikasi sebagai feeder  bagi warga menuju halte busway atau stasiun commuterline pada prinsipnya didasari oleh niat baik (mari terus berpikir positif), namun satu hal yang sepertinya dia lupa saat mengatakan hal di atas, bahwa masih ada ribuan angkutan kecil (Angkot) yang beroperasi dari dan ke perumahan yang bisa dijadikan feeder, apalagi karena mereka juga sudah terlanjur mengantongi ijin trayek.

Lalu, bagaimana dengan wilayah-wilayah di DKI Jakarta yang masih banyak tidak terlayani oleh angkutan umum? Naik apa mereka dari rumah, hingga ke halte busway atau stasiun commuterline? Gojek? Grabbike? Ubertaxi? Kenapa tidak sediakan dan berpikir yang sederhana dulu, sebelum menjadi reaksioner terhadap hal yang sedang trend dan populer? Ya, mungkin memang sedikit susah untuk begitu, karena Gubernur tidak mungkin masuk ke wilayah yang dipimpinnya yang masih belum terlayani dengan angkutan umum. Mungkin di benaknya itu tidak mungkin terjadi.

Untuk menyikapi layanan transportasi berbasis aplikasi ini, mungkin lebih baik kita kembali lagi saja ke akar persoalan, yaitu layanan transportasi publik yang baik, nyaman dan terjangkau serta pengurangan penggunaan kendaraan pribadi plus pengurangan penggunaan bahan bakar fosil. Dari situ, barulah pemerintah bisa lebih bijak membuat program bagi warga, juga bijak menyikapi hal yang sedang trend dan populer. Bagi kita? Ya sama. Nyinyirnya kita, ributnya kita di status-status media sosial, mungkin juga bisa mengacu ke situ, supaya keributan tentang ini, trending topic yang tercipta justru bisa mengedukasi orang lain, daripada justru menciptakan musuh-musuh baru dan twitwar tak mutu yang tak kunjung berkesudahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun