Hadirnya pemilu sebagai pesta rakyat menjadi suatu fenomena penting yang menghubungkan para calon penguasa dengan pemilih. Dalam kontestasi persaingan untuk menyentuh hati khalayak pada pemilu kerap kali dilakukan dengan berbagai alternatif.Â
Cara yang demokratis dapat dilakukan dengan menawarkan visi, misi, program serta kegiatan dari para calon kepala daerah kepada pemilih. Atau dapat pula kampanye yang sehat dilaksanakan secara demokrasi delibratif yang menekankan peran penting dari partisipasi publik yang lebih mendalam, diskusi yang inklusif, dan pertukaran argumen rasional dalam menghasilkan keputusan politik yang lebih sah dan mewakili kepentingan bersama (Jurgen Habermas, 1992:179) lalu keresahan serta aspirasi dari hasil diskusi tersebut dikumpulkan, dielaborasi dengan gagasan para kandidat supaya dapat direalisasi menjadi suatu program ketika menjabat.Â
Tentu dengan adanya beragam skema kampanye yang sesuai dengan landasan murni demokrasi akan memberikan pencerdasan kepada para pemilih yang nantinya akan menjadi pemilih yang bijak. Namun, tak sedikit calon yang menggunakan metode kurang baik seperti black campaign yang melakukan penghasutan dan penyebaran fitnah kepada calon kandidat yang lain. Tak hanya kampanye hitam, politik uang masih selalu dilakukan baik dalam ranah nasional ataupun daerah dan bahkan menjadi suatu tradisi. Politik uang memiliki berbagai macam wujud, salah satunya adalah memberikan penawaran dalam bentuk materi kepada calon pemilih.
Sebagian besar pakar politik menyepakati bahwa politik uang merupakan bentuk kegiatan yang berbahaya dan secara jelas sangat merugikan bagi demokrasi karena dapat menyamarkan prinsip kejujuran dan keadilan dalam proses pemilihan. Tingginya perilaku politik uang dalam berbagai pemilihan di Indonesia telah menimbulkan penilaian negatif terhadap kelangsungan proses demokrasi. Walaupun Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi setelah era Orde Baru, belakangan ini negara ini lebih sering dikategorikan sebagai negara yang masih dalam tahap transisi menuju demokrasi yang lebih matang.Â
Menurut Mietzner dalam Marco dan Ufen (2009:124), Indonesia cenderung menuju rezim demokrasi dengan kualitas yang rendah. Pendapat Henk Schulte Nordholt dalam Harris (2005:29) menyatakan bahwa desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke daerah, yang seharusnya untuk meningkatkan demokrasi di level lokal, justru memperkuat budaya patrimonial.Â
Dalam konteks lain, beberapa pandangan menyimpulkan bahwa desentralisasi dan demokratisasi di tingkat lokal juga ikut memperagung sebuah praktik dari premanisme (Hadiz, 2010:120). Hal ini mengindikasikan bahwa politik uang dalam berbagai bentuknya telah menjadi permainan utama dalam ranah politik di perkotaan maupun pedesaan di Indonesia saat ini.
Pencegahan politik uang dalam dinamika pemilu di Indonesia merupakan tanggung jawab seluruh elemen. Tetapi terdapat elemen yang memiliki kewenangan lebih untuk mengantisipasi politik uang, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemiliham Umum (Bawaslu). KPU, yang menjadi motor utama penyelenggaraan pemilihan umum, memiliki tanggung jawab besar dalam merumuskan aturan dan pedoman yang mengatur pelaksanaan pemilu, termasuk ketentuan yang secara tegas melarang praktik politik uang. Mereka juga bertugas dalam sosialisasi kepada masyarakat mengenai peraturan pemilu, hak pilih, serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak buruk politik uang bagi proses demokrasi.Â
Selain itu, KPU juga mengawasi dan memverifikasi dana kampanye yang diterima oleh kandidat, dengan mengatur batasan serta memastikan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana tersebut.Â
Di sisi lain, Bawaslu bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap semua tahapan pemilihan umum. Mereka menerima laporan dari masyarakat serta pihak-pihak terkait terkait dugaan pelanggaran, termasuk praktik politik uang. Bawaslu memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan secara independen terkait pelanggaran pemilu dan dapat melibatkan aparat penegak hukum jika diperlukan. Selain itu, Bawaslu juga memonitor dan memeriksa penggunaan dana kampanye oleh kandidat untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku.
Kedua lembaga ini bekerja secara sinergis untuk menciptakan lingkungan pemilihan yang bersih, adil, dan transparan. Namun, keberhasilan pencegahan politik uang tidak hanya tergantung pada kinerja KPU dan Bawaslu, melainkan juga pada partisipasi aktif semua pihak terkait, termasuk kesadaran masyarakat dalam melaporkan praktik politik uang dan penegakan hukum yang tegas serta adil terhadap pelanggaran yang terdeteksi. Kolaborasi erat antara KPU, Bawaslu, dan partisipasi masyarakat merupakan kunci utama dalam menjaga integritas dan kredibilitas pemilihan umum di Indonesia.
Definisi dan Praktik Politik Uang
Pengaruh uang dalam politik telah menjadi salah satu isu sentral yang mempengaruhi proses demokratisasi di berbagai belahan dunia. Fenomena ini tidak hanya memunculkan keprihatinan, tetapi juga memunculkan pertanyaan terkait integritas dan keadilan dalam proses politik, terutama dalam konteks pemilihan umum. Di beberapa kasus ekstrim, pemilihan umum terlihat terpengaruh secara signifikan oleh kehadiran uang yang berlebihan, mengubahnya menjadi sebuah alat dominan yang digunakan untuk memanipulasi hasil.Â
Adanya beragam faktor yang menyebabkan fenomena ini semakin merajalela. Salah satunya adalah dominasi elit dalam proses politik. Elit politik yang memiliki akses ke sumber daya finansial yang besar sering kali memanfaatkan kekayaan mereka untuk mengendalikan dan memengaruhi arah perjalanan politik. Hal ini tidak jarang menghasilkan ketimpangan dalam persaingan politik, membatasi akses bagi mereka yang memiliki modal terbatas untuk berkompetisi secara adil.
Kecurangan yang ada dalam pemilihan umum juga menjadi salah satu penyebab utama masalah ini. Praktik-praktik yang tidak fair, seperti penyuapan, pembelian suara, atau manipulasi data dalam pemilu, sering kali memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap keabsahan hasil pemilihan. Kecurangan seperti ini dapat memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu, sementara secara langsung merampas suara dan hak demokrasi masyarakat. Ancaman dan penggunaan kekerasan juga dapat menjadi faktor penting dalam mempengaruhi proses pemilihan.Â
Adanya intimidasi, ancaman, atau bahkan tindakan kekerasan terhadap peserta pemilu atau pemilih dapat mengganggu integritas pemilihan dan membuat masyarakat menjadi takut untuk menjalankan hak suaranya. Pengaruh uang dalam politik, terutama ketika hal itu mengambil bentuk yang merugikan dan memanipulatif, menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan demokrasi suatu negara. Hal ini dapat menggerus prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya didasari oleh kejujuran, kesetaraan, dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan politik.
Pengaruh uang dalam politik memang menjadi isu sentris yang mempengaruhi proses demokratisasi di berbagai belahan dunia. Fenomena ini tidak hanya muncul sebagai keprihatinan, melainkan memunculkan berbagai pertanyaan terkait integritas dan keadilan dalam proses politik, terutama dalam konteks pemilihan umum.Â
Bentuk yang tidak adil seperti penyuapan, pembelian suara, dan manipulasi data dalam pemilu menjadi salah satu bentuk negative yang menumbuhkan efek domino terhadap publik pada konteks ketidakpercayaan. Bentuk praktik politik uang  tak hanya berada pada kontestasi pemilu saja, tetapi dapat terjadi ketika calon kandidat telah mendapatkan kekuasaan, yaitu patronase. Patronase dilakukan sebagai bentuk 'timbal balik' kepada investor yang telah menjadi sumber dana bagi para calon penguasa, patronase tak hanya berbentuk uang atau suap, melainkan diberikan akses khusus seperti perizinan pembangunan lahan ataupun usaha.
Studi Kasus KPU Kota Bandung
Politik uang tak hanya terjadi pada kelompok masyarakat, sesame calon kandidat, atau investor. Politik uang kini telah menjalar terhadap stakeholders yang seharusnya memiliki integritas mengenai netralitas yang kuat, yaitu pada Komisi Pemilihan Umum. Pada bukti nyatanya, seperti pada studi kasus yang berasal di ranah KPU Kota Bandung dalam konteks indikasi pelanggaran kode etik dalam bentuk money politics yang ada di ranah Ad Hoc KPU Kota Bandung. Berita ini dikeluarkan oleh DKPP berddasarkan pengaduan yang diajukan oleh Budi Tresnayadi, anggota KPU Kota Bandung terhadap Asep Ridwan Rahman (Ketua PPK Kecamatan Bandung Kulon) dan Dedi Setia Hermawan (Anggota PPS Gempolsari Kec. Bandung Kulon).
Dalam putusan tersebut, terdapat penjelasan detail mengenai kejadian dan kronologi yang terjadi, termasuk pertemuan antara Teradu (Asep Ridwan Rahman dan Dedi Setia Hermawan) dengan salah satu Bakal Pasangan Calon Perseorangan Walikota Dan Wakil Bandung Tahun 2018, pembahasan terkait verifikasi yang faktual sebagai syarat dukungan calon perseorangan, serta penerimaan uang pengganti makan. Tak hanya itu, terdapat kronologi lain seperti pada suatu peristiwa yang terjadi menjelang Pilkada Bandung tahun 2018, terdapat kasus yang melibatkan bakal calon perseorangan, Ir. Dony Mulyana Kurnia. Pada tanggal 19 Desember 2017, pukul 19.00 WIB, di RM Ampera Jl. Soekarno Hatta Bandung, terungkap bahwa terdapat upaya untuk mempengaruhi hasil verifikasi faktual yang berkaitan dengan pemilihan walikota tersebut. Lebih lanjut, terdapat penawaran dan penerimaan uang pengganti makan sebesar Rp. 400.000,- dari bakal calon perseorangan. Pada saat persidangan yang teradu memberikan pengakuan (tidak membantah) semua aduan serta tuduhan dari pengadu. Dan melihat permasalahan tersebut maka DKPP memberikan penilaian bahwa perilaku tersebut telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu dikarenakan tidak mematuhi asas atau pedoman mandiri dan memiliki potensi untuk mencoreng nama baik penyelenggara pemilu.
Dalam persidangan yang telah dilakukan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hasilnya menunjukkan adanya kesimpulan penting berdasarkan pemeriksaan keterangan dari pengadu, jawaban, dan keterangan dari para teradu, serta berbagai bukti dokumen yang disampaikan oleh keduanya. Berikut adalah ringkasan dari kesimpulan dan pertimbangan yang diambil DKPP:
- Pertama, DKPP menyatakan bahwa memiliki kewenangan untuk mengadili pengaduan yang diajukan oleh pihak pengadu terkait dengan kasus yang menjadi objek persidangan.
- Kedua, pihak pengadu diakui memiliki posisi kedudukan hukum (legal standing) yang memadai untuk mengajukan pengaduan tersebut.
- Ketiga, berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian fakta yang ada, DKPP menyimpulkan bahwa Teradu I (Asep Ridwan Rahman) dan Teradu II (Dedi Setia Hermawan) telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Sebagai hasil dari pertimbangan serta kesimpulan diatas, DKPP membuat beberapa keputusan yang menjadi penutup dari proses persidangan:
- Pertama, pengaduan yang diajukan oleh pihak pengadu dinyatakan diterima secara keseluruhan.
- Kedua, DKPP memberikan sanksi pemberhentian tetap terhadap Teradu I, yaitu Asep Ridwan Rahman yang menjabat sebagai Ketua PPK Kecamatan Bandung Kulon, dan Teradu II, yaitu Dedi Setia Hermawan yang merupakan anggota PPS Desa Gempolsari Kecamatan Bandung Kulon. Pemberhentian ini berlaku saat putusan ini dibacakan.
- Ketiga, DKPP memberikan perintah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung untuk menjalankan putusan ini dalam waktu 7 (tujuh) hari dimulai pada saat pembacaan putusan tersebut.
- Keempat, Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia diperintahkan agar memberikan pengawasan pada pelaksanaan putusan ini guna memastikan kepatuhan dan implementasinya secara efektif.
Hadirnya keputusan dari DKPP dalam kasus ini menegaskan pentingnya penegakan etika dan integritas dalam proses penyelenggaraan pemilu. Penegakan hukum dan sanksi terhadap pelanggaran kode etik menjadi landasan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan transparan.
Â
Penguatan Ad Hoc
Dalam perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), peran serta Penyelenggara Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi elemen yang krusial dalam menjamin kelancaran dan keabsahan proses demokrasi. Terdapat berbagai refleksi dan proyeksi akan pentingnya melakukan penelitian mendalam dari segi landasan pengkajian hukum mengenai peraturan pembentukan anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Penyelenggara Pemungutan Suara (PPS). Hal ini bertujuan untuk mencegah situasi Ad Hoc setelah Pilkada atau Pemilu selesai.Â
Adanya ketentuan yang jelas akan memastikan bahwa PPK dan PPS tidak hanya memiliki tanggung jawab selama proses pemilihan, tetapi juga tetap bertanggung jawab dan dapat diakses kembali untuk informasi atau kebutuhan di masa mendatang. Lalu, sebelum masuk pada proses rekrutmen maka anggota KPU perlu membangun integritas, kredibilitas, dan netralitas yang tinggi untuk menyeleksi dan menentukan anggota PPK serta PPS yang disesuaikan dengan kapasitas serta wawasan mereka. Hal ini menjadi esensi utama dalam memastikan bahwa penyelenggara pemilu memiliki kualifikasi yang memadai. Perlunya pola rekrutmen ketat dengan upaya sosialisasi yang lebih luas, melibatkan komunitas masyarakat, tokoh agama, perguruan tinggi, dan lembaga Swadaya masyarakat. Persyaratan untuk menjadi penyelenggara pemilu juga harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa memberatkan bagi calon penyelenggara. Dengan demikian, keberagaman masyarakat dapat diwakili dalam badan penyelenggara pemilu Ad Hoc.
Bimbingan teknis yang berkelanjutan menjadi urgensi bagi penyelenggara pemilu pada badan Ad Hoc yang telah terpilih. Hal ini untuk memastikan bahwa mereka memiliki pengetahuan yang terus diperbaharui dan mendapatkan bimbingan yang diperlukan dalam menjalankan tugas mereka. Setelah itu, KPU Kabupaten/Kota harus mempunyai data yang komprehensif mengenai tenaga penyelenggara pemilu di tingkat badan Ad Hoc, termasuk yang berprestasi juga berkualitas serta mereka yang kurang memiliki integritas. Informasi ini sangat penting sebagai dasar evaluasi dan pengambilan keputusan untuk meningkatkan kualitas penyelenggara pemilu ke depannya.
Dengan demikian, menjaga integritas, meningkatkan kualifikasi, serta menegakkan regulasi yang jelas dan berkelanjutan dalam proses pembentukan dan pengelolaan penyelenggara pemilu merupakan langkah krusial dalam memastikan demokrasi yang berkualitas dan transparan bagi masyarakat.
Kesimpulan
Permasalahan politik uang hadir pada masyarakat di berbagai elemen, terutama masyarakat tidak mampu yang selalu menjadi sasaran empuk. Dan dalam praktiknya terdapat berbagai macam bentuk yang menjadi ancaman serius bagi demokrasi Indonesia.
Untuk meningkatkan integritas dan keberlangsungan demokrasi yang sehat, maka diperlukan penegakan hukum dan pemantauan yang masif dan spesifik terhadap pelanggar etika agar menjadi elemen prasyarat yang penting. Dalam kasus yang telah dipaparkan seperti yang terjadi di KPU Kota Bandung telah memunculkan urgensi penegakan aturan serta perlunya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran kode etik. Sehingga, seluruh masyarakat dan stakeholders terkait seperti KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilihan umum memiliki peranan penting dalam melakukan akuntabilitas, menjaga transparansi, membangun integritas, serta menumbuhkan demokrasi yang berkualitas.
Setelahnya, memperkuat badan penyelenggara pemilu Ad Hoc menjadi salah satu bentuk penguatan konkret agar lembaga penyelenggara tidak tercemar nama baiknya. Melalui penelitian hukum yang lebih mendalam, seleksi anggota dengan integritas tinggi, serta pola rekrutmen yang selektif, dan memberikan bimbingan teknis yang berkelanjutan bagi mereka yang telah menjadi bagian dari Ad Hoc. Jika seluruh elemen telah menjaga integritas, meningkatkan kualifikasi, serta patuh terhadap regulasi maka akan menciptakan demokrasi yang berkualitas bagi bangsa tercinta.
DAFTAR PUSTAKA
DKPP Periksa PPK Bandung Kulon dan PPS Desa Gempolsari. DKPP RI -- Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia. (n.d.) https://dkpp.go.id/dkpp-periksa-ppk-bandung-kulon-dan-pps-desa-gempolsari/
Cahyadi, R., & Hermawan, D. (2019). Strategi Sosial Pencegahan Politik Uang di Indonesia. Jurnal Antikorupsi Integritas KPK RI, 5(1), 29-41.
Chandra, M. J. A., & Ghafur, J. (2020). Peranan Hukum dalam Mencegah Praktik Politik Uang (Money Politics) dalam Pemilu di Indonesia: Upaya Mewujudkan Pemilu yang Berintegritas. Wajah Hukum, 4(1), 52-66.
Habermas, J. (2015). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy. John Wiley & Sons.
Lampus, C. M., Lapian, M. T., & Sondakh, E. (2022). Fenomena Politik Uang Dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2019 Di Kecamatan Wanea. Jurnal Eksekutif, 2(3).
Permata, D. (2020). Politik Uang Pemilu 2019 Mitos atau Realitas?. Salam Redaksi, 4.
Trisnawati, E., Hertanto, H., & Mukhlis, M. (2019). Implikasi Disfungsi Manajemen KPU Kota Palembang terhadap Kinerja Badan Ad Hoc pada Pilkada 2018. Jurnal Analisis Sosial Politik, 5(2), 71-85.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H