Pengaruh uang dalam politik telah menjadi salah satu isu sentral yang mempengaruhi proses demokratisasi di berbagai belahan dunia. Fenomena ini tidak hanya memunculkan keprihatinan, tetapi juga memunculkan pertanyaan terkait integritas dan keadilan dalam proses politik, terutama dalam konteks pemilihan umum. Di beberapa kasus ekstrim, pemilihan umum terlihat terpengaruh secara signifikan oleh kehadiran uang yang berlebihan, mengubahnya menjadi sebuah alat dominan yang digunakan untuk memanipulasi hasil.Â
Adanya beragam faktor yang menyebabkan fenomena ini semakin merajalela. Salah satunya adalah dominasi elit dalam proses politik. Elit politik yang memiliki akses ke sumber daya finansial yang besar sering kali memanfaatkan kekayaan mereka untuk mengendalikan dan memengaruhi arah perjalanan politik. Hal ini tidak jarang menghasilkan ketimpangan dalam persaingan politik, membatasi akses bagi mereka yang memiliki modal terbatas untuk berkompetisi secara adil.
Kecurangan yang ada dalam pemilihan umum juga menjadi salah satu penyebab utama masalah ini. Praktik-praktik yang tidak fair, seperti penyuapan, pembelian suara, atau manipulasi data dalam pemilu, sering kali memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap keabsahan hasil pemilihan. Kecurangan seperti ini dapat memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu, sementara secara langsung merampas suara dan hak demokrasi masyarakat. Ancaman dan penggunaan kekerasan juga dapat menjadi faktor penting dalam mempengaruhi proses pemilihan.Â
Adanya intimidasi, ancaman, atau bahkan tindakan kekerasan terhadap peserta pemilu atau pemilih dapat mengganggu integritas pemilihan dan membuat masyarakat menjadi takut untuk menjalankan hak suaranya. Pengaruh uang dalam politik, terutama ketika hal itu mengambil bentuk yang merugikan dan memanipulatif, menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan demokrasi suatu negara. Hal ini dapat menggerus prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya didasari oleh kejujuran, kesetaraan, dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan politik.
Pengaruh uang dalam politik memang menjadi isu sentris yang mempengaruhi proses demokratisasi di berbagai belahan dunia. Fenomena ini tidak hanya muncul sebagai keprihatinan, melainkan memunculkan berbagai pertanyaan terkait integritas dan keadilan dalam proses politik, terutama dalam konteks pemilihan umum.Â
Bentuk yang tidak adil seperti penyuapan, pembelian suara, dan manipulasi data dalam pemilu menjadi salah satu bentuk negative yang menumbuhkan efek domino terhadap publik pada konteks ketidakpercayaan. Bentuk praktik politik uang  tak hanya berada pada kontestasi pemilu saja, tetapi dapat terjadi ketika calon kandidat telah mendapatkan kekuasaan, yaitu patronase. Patronase dilakukan sebagai bentuk 'timbal balik' kepada investor yang telah menjadi sumber dana bagi para calon penguasa, patronase tak hanya berbentuk uang atau suap, melainkan diberikan akses khusus seperti perizinan pembangunan lahan ataupun usaha.
Studi Kasus KPU Kota Bandung
Politik uang tak hanya terjadi pada kelompok masyarakat, sesame calon kandidat, atau investor. Politik uang kini telah menjalar terhadap stakeholders yang seharusnya memiliki integritas mengenai netralitas yang kuat, yaitu pada Komisi Pemilihan Umum. Pada bukti nyatanya, seperti pada studi kasus yang berasal di ranah KPU Kota Bandung dalam konteks indikasi pelanggaran kode etik dalam bentuk money politics yang ada di ranah Ad Hoc KPU Kota Bandung. Berita ini dikeluarkan oleh DKPP berddasarkan pengaduan yang diajukan oleh Budi Tresnayadi, anggota KPU Kota Bandung terhadap Asep Ridwan Rahman (Ketua PPK Kecamatan Bandung Kulon) dan Dedi Setia Hermawan (Anggota PPS Gempolsari Kec. Bandung Kulon).
Dalam putusan tersebut, terdapat penjelasan detail mengenai kejadian dan kronologi yang terjadi, termasuk pertemuan antara Teradu (Asep Ridwan Rahman dan Dedi Setia Hermawan) dengan salah satu Bakal Pasangan Calon Perseorangan Walikota Dan Wakil Bandung Tahun 2018, pembahasan terkait verifikasi yang faktual sebagai syarat dukungan calon perseorangan, serta penerimaan uang pengganti makan. Tak hanya itu, terdapat kronologi lain seperti pada suatu peristiwa yang terjadi menjelang Pilkada Bandung tahun 2018, terdapat kasus yang melibatkan bakal calon perseorangan, Ir. Dony Mulyana Kurnia. Pada tanggal 19 Desember 2017, pukul 19.00 WIB, di RM Ampera Jl. Soekarno Hatta Bandung, terungkap bahwa terdapat upaya untuk mempengaruhi hasil verifikasi faktual yang berkaitan dengan pemilihan walikota tersebut. Lebih lanjut, terdapat penawaran dan penerimaan uang pengganti makan sebesar Rp. 400.000,- dari bakal calon perseorangan. Pada saat persidangan yang teradu memberikan pengakuan (tidak membantah) semua aduan serta tuduhan dari pengadu. Dan melihat permasalahan tersebut maka DKPP memberikan penilaian bahwa perilaku tersebut telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu dikarenakan tidak mematuhi asas atau pedoman mandiri dan memiliki potensi untuk mencoreng nama baik penyelenggara pemilu.
Dalam persidangan yang telah dilakukan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hasilnya menunjukkan adanya kesimpulan penting berdasarkan pemeriksaan keterangan dari pengadu, jawaban, dan keterangan dari para teradu, serta berbagai bukti dokumen yang disampaikan oleh keduanya. Berikut adalah ringkasan dari kesimpulan dan pertimbangan yang diambil DKPP:
- Pertama, DKPP menyatakan bahwa memiliki kewenangan untuk mengadili pengaduan yang diajukan oleh pihak pengadu terkait dengan kasus yang menjadi objek persidangan.
- Kedua, pihak pengadu diakui memiliki posisi kedudukan hukum (legal standing) yang memadai untuk mengajukan pengaduan tersebut.
- Ketiga, berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian fakta yang ada, DKPP menyimpulkan bahwa Teradu I (Asep Ridwan Rahman) dan Teradu II (Dedi Setia Hermawan) telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Sebagai hasil dari pertimbangan serta kesimpulan diatas, DKPP membuat beberapa keputusan yang menjadi penutup dari proses persidangan:
- Pertama, pengaduan yang diajukan oleh pihak pengadu dinyatakan diterima secara keseluruhan.
- Kedua, DKPP memberikan sanksi pemberhentian tetap terhadap Teradu I, yaitu Asep Ridwan Rahman yang menjabat sebagai Ketua PPK Kecamatan Bandung Kulon, dan Teradu II, yaitu Dedi Setia Hermawan yang merupakan anggota PPS Desa Gempolsari Kecamatan Bandung Kulon. Pemberhentian ini berlaku saat putusan ini dibacakan.
- Ketiga, DKPP memberikan perintah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung untuk menjalankan putusan ini dalam waktu 7 (tujuh) hari dimulai pada saat pembacaan putusan tersebut.
- Keempat, Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia diperintahkan agar memberikan pengawasan pada pelaksanaan putusan ini guna memastikan kepatuhan dan implementasinya secara efektif.