"Eh, terima kasih ya."
Risa berdiri, mencoba menahan tangan Raito yang sedang bergerak kembali ke bangkunya, Risa kemudian meminta maaf kepada Raito atas kejadian sewaktu di loket itu, waktu itu ia bilang kalau ia tak bermaksud mengacuhkan Raito karena waktu itu Risa berdalih mau menelpon seseorang, eh Raito menghampiri, jadinya ia pergi begitu saja.
Raito terkaget dengan pengakuan Risa,
“Kamu masih ingat saja kejadian tempo hari, tapi baguslah kamu mengatakannya.”
Raito mengira Risa itu anak orang penting yang tak tersentuh orang lain. Menurut raito hal itu juga diperjelas dengan mata yang lain saat memandang Risa. Terasa sekali ketakutan mereka.
"Nah sekarang kita sudah saling kenal kan."
Risa menyodorkan tangannya. Raito menyalami Risa. Senyum tersungging di bibir keduanya. Keduanya bersama keluar kelas. Sementara beberapa pasang mata memandangi Raito dan Risa di luar jendela.
"Sebentar lagi, si Raito pasti mampus."
Bisik mereka. Seakan tak menghiraukan suara-suara itu, Raito mengajak Risa pulang bersama. Ajakan itu dijawab dengan anggukan oleh Risa. Dalam perjalanan di lorong kampus Raito teringat sesuatu.
"Eh, tapi bagaimana kau tahu kalau aku yang menulis novel itu?"
"Rahasia ah."