Afrika: Analisis Teoritis dan Solusi Pragmatis untuk Kerja Sama Regional
Konflik Air di Timur Tengah danKonflik air telah menjadi salah satu isu paling krusial di era modern. Di kawasan Timur Tengah dan Afrika, yang dikenal memiliki keterbatasan sumber daya air, air tak hanya menjadi sumber daya penting tetapi juga pemicu ketegangan geopolitik. Artikel ini membahas konflik air berdasarkan analisis dari jurnal karya Dr. Ryantori berjudul "Water Conflicts in the Middle East and Africa: The Study on Efforts to Find Based Solutions Regional Cooperation Framework" dan wawancara eksklusif dengan Ibu Hizra Marisa S.IP., M.SI, seorang pakar Hubungan Internasional dari Universitas Paramadina.
Air sebagai "Blue Gold"
Dr. Ryantori dan Ibu Hizra sepakat bahwa air adalah "blue gold" --- sebuah sumber daya strategis yang berperan kunci dalam stabilitas kawasan. Dr. Ryantori menyoroti bahwa air kerap menjadi objek perebutan, alat politik, hingga sarana resolusi konflik. Sementara itu, Ibu Hizra menambahkan bahwa faktor sosial-budaya dan egoisme politik menjadi penghalang utama dalam membangun kerja sama lintas negara, terutama di Timur Tengah.
Dimensi Teoritis Konflik Air
Dalam jurnalnya, Dr. Ryantori membagi konflik air menjadi tiga dimensi:
Sebagai objek konflik: Negara-negara saling memperebutkan akses terhadap air.
Sebagai alat konflik: Air digunakan untuk menekan atau mengendalikan pihak lain.
Sebagai resolusi konflik: Kerja sama pengelolaan air menciptakan stabilitas regional.
Adapun narasumber kami, Ibu Hizra, mendukung kerangka ini dan memperkaya dengan contoh konkret seperti:
Sengketa Ethiopia dan Mesir terkait pembangunan Bendungan GERD di Sungai Nil.
Dominasi Israel atas sumber air Palestina sebagai alat politik.
Pentingnya dinamika hubungan hulu-hilir dalam pengelolaan air.
Studi Kasus Konflik Air
Dr. Ryantori dan Ibu Hizra memberi garis utama pada beberapa kasus:
Sungai Nil: Ethiopia menganggap GERD penting untuk kebutuhan listriknya, tetapi proyek ini mengancam stabilitas aliran air Mesir.
Sungai Efrat dan Tigris: Turki mengendalikan sumber air ini untuk memperkuat posisinya terhadap Suriah dan Irak.
Sumber air Palestina: Israel menggunakan kontrol atas air untuk memperkuat dominasi politik.
Menariknya, Dr. Ryantori juga membahas keberhasilan model kerja sama internasional di luar kawasan, seperti Sungai Rhine di Eropa dan Sungai Mekong di Asia Tenggara. Namun, Ibu Hizra menekankan bahwa kompleksitas geopolitik di Timur Tengah membuat implementasi model serupa lebih sulit.
Dr. Ryantori secara terbuka menawarkan solusi yang teoritis, seperti kerja sama lintas negara berdasarkan keadilan, penetapan hak kepemilikan air yang jelas serta penggunaan instrumen ekonomi untuk pengelolaan air. Adapun narasumber kami, Ibu Hizra, mengembangkan solusi ini melalui pendekatan pragmatis, termasuk:
Inovasi teknologi seperti desalinisasi untuk meningkatkan pasokan air.
Ratifikasi hukum internasional untuk menetapkan standar pengelolaan air.
Pendekatan diplomasi melalui mediator internasional.
Confidence-building measures dalam bentuk kerja sama kecil sebelum implementasi besar.
Kompleksitas dan Tantangan
Tantangan besar dalam implementasi solusi konflik air adalah ketimpangan kekuasaan dan kurangnya komitmen kerja sama. Dr. Ryantori menyoroti:
Ketimpangan kekuasaan antara negara hulu dan hilir.
Kurangnya mekanisme sanksi yang efektif.
Ibu Hizra menambahkan bahwa egoisme nasional, ketimpangan ekonomi, dan dampak perubahan iklim memperburuk situasi. Negara-negara kaya memiliki akses lebih baik terhadap teknologi, sementara negara miskin menghadapi keterbatasan besar dalam menangani kelangkaan air.
Baik, Dr. Ryantori maupun Ibu Hizra, sepakat bahwa kerja sama lintas negara adalah kunci penyelesaian konflik air. Dengan menggabungkan pendekatan teoritis dari jurnal dan wawasan pragmatis dari wawancara, kita mendapatkan panduan yang lebih komprehensif untuk menangani konflik air di Timur Tengah dan Afrika.
Ke depan, penerapan teknologi, penguatan hukum internasional, dan pengelolaan hubungan antarnegara berbasis kepercayaan harus menjadi prioritas. Solusi berkelanjutan hanya bisa dicapai jika semua pihak berkomitmen untuk bekerja sama demi masa depan yang lebih aman dan stabil.
---
Artikel ini ditulis berdasarkan wawancara oleh tim mahasiswa Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) dengan dosen sekaligus pakar Hubungan Internasional dari Universitas Paramadina yakni Ibu Hizra Marisa S.IP., M.SI.
Tim 2 (Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika)-Mahasiswa Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama):
1. Rayifa Riztanti (202222056)
2. Josephine Gratia (202222038)
3. Syafira Saharbanu (202222076)
4. Louise Margaret (202222016)
5. Aril Damar Nugraha (202222054)
6. Radja Davazzan Pasha (202222027)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI