Banyak sekali faktor-faktor yang melandasi anjloknya penurunan harga CPO. Beberapa faktor utamanya adalah adanya penurunan pangsa permintaan negara-negara Eropa sebesar 6 persen dan Timur Tengah sebesar 17 persen yang disebabkan oleh turunnya harga minyak dunia yang merupakan komoditas subtitusi dari CPO. Masyarakat dunia lebih memilih menggunakan minyak dunia (Brent) ketimbang CPO. Sehingga, permintaan akan CPO menjadi merosot turun dengan diikuti fluktuasi harga CPO.
Penurunan ekspor CPO ini memberikan dampak yang sangat kritis terhadap kekuatan ekspor di Indonesia. Pasalnya, ekspor di Indonesia masih ditopang oleh komoditas CPO. Dari tahun ke tahun, CPO menyumbang lebih dari 10 persen terhadap total ekspor non-migas. Maka tidak mengherankan pelemahan permintaan yang terjadi pada komoditas CPO memberikan dampak yang sangat signifikan bagi arus ekspor Indonesia. Dari Gambar 3 terlihat dampak penurunan ekspor CPO yang terjadi pada tahun 2014 berlanjut hingga tahun 2016 yang kemudian perlahan mulai menguat dikarenakan penguatan pada sektor lain.
Faktor Eksternal: Overshooting dan Spillover Effect dari Fed Rate
Sebagai negara Small Open Economy, tidak mengherankan bahwa perekonomian Indonesia akan selalu terombang-ambing oleh gemuruh dan konstelasi perekonomian global, salah satunya perekonomian Amerika Serikat (AS). Salah satu instrument pemerintah AS yang kerap mempengaruhi perekonomian Indonesia adalah suku bunga acuan The Fed (Fed's Rate). Sebagaimana dalam teori Interest Parity Equilibrium (Krugman, et al. 2018), adanya disparitas dari suku bunga antar negara akan memberikan ketidakseimbangan di pasar aset yang akan berdampak pada fluktuasi nilai tukar suatu negara. Dalam kasus ini, ialah kenaikan tingkat suku bunga The Fed.
Sejak pecahnya krisis ekonomi AS pada 2008, The Fed tercatat belum pernah menurunkan suku acuan. Sebelumnya, resesi ekonomi membuat The Fed menurunkan suku bunga hingga ke tingkat sekitar 0 persen. Sebagai bagian dari kebijakan dovish, The Fed menahan level suku bunga yang rendah tersebut selama tujuh tahun berturut-turut (Gambar 4).
Terhitung pada Desember 2015, The Fed perlahan meningkatkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 0,25%-0,5%. Tappering Off tersebut dilakukan karena beberapa faktor seperti tingkat pengangguran AS yang kembali ke level 7%; Pertumbuhan ekonomi AS yang berada di kisaran 2%-3%; dan Inflasi inti AS yang tidak melampaui 2%. Kenaikan tersebut terus berlanjut hingga pada akhir tahun tingkat suku bunga AS adalah sebesar 2,25%-2,5%.
Kembali kepada teori interest parity equilibrium, Indonesia sebagai negara small open economy tentunya akan merespon dengan meningkatkan suku bunga dalam negeri agar tidak terjadi capital outflow dalam jumlah yang masif (capital flight). Meskipun begitu, mencapai keseimbangan yang baru bukan lah hal yang mudah. Adanya fenomena Uncovered Interest Parity seperti ekspektasi masyarakat menjadi permasalahan yang tidak dapat terabaikan. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya fenomena overshooting, dimana keseimbangan baru yang terbentuk akan menyebabkan nilai tukar rupiah berada pada tingkat yang lebih lemah meskipun terjadi recovery dalam apresiasi nilai tukar.
Adanya interaksi antara pasar aset dan pasar barang merupakan salah satu alasan mengapa Bank Indonesia punya andil dalam menjaga keseimbangan pasar output. Trade-off dari tingginya tingkat suku bunga suatu negara tentunya akan menyebabkan perlambatan laju pertumbuhan dan tingginya tingkat pengangguran yang terjadi.