Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Refleksi 5 Tahun Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla

21 November 2019   17:59 Diperbarui: 21 November 2019   19:13 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Faisal Abda'oe dan Zahra Putri

 

Terhitung sejak 20 Oktober 2014, era pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo resmi telah selesai dijalankan. Terlepas dari banyaknya permasalah perekonomian yang berlalu-lalang di tanah air, tulisan ini berfokus kepada salah satu isu krusial dalam ekonomi suatu negara, yaitu stabilitas nilai tukar ("kurs").

Dilihat dari sejarah era pemerintahan Presiden Indonesia sebelumnya (Gambar 1), hal yang patut digarisbawahi adalah pelemahan nilai tukar rupiah (depresiasi) yang terjadi di era pemerintahan Jokowi memiliki besaran yang cukup tinggi (tertinggi kedua setelah era pemerintahan Gusdur). Pelemahan ini jauh lebih tinggi daripada dua era pemerintahan sebelumnya (SBY-JK dan SBY-Boediono). Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dan apa pula yang menyebabkan pelemahan ini begitu kuat dibanding era-era pemerintahan presiden sebelumnya?

Untuk menganalisis depresiasi rupiah, tulisan ini mengulas berbagai faktor yang mendorong fluktuasi rupiah dari segi eksternal dan internal. Dari segi eksternal, tulisan ini menganalisis pengaruh harga minyak kelapa sawit dan tingkat suku bunga acuan the Fed terhadap pelemahan nilai tukar. Selanjutnya, dari segi internal, faktor pendorong fluktuasi rupiah tercermin dari tingkat produktivitas Indonesia yang rendah. Hal ini tercermin dari kondisi transaksi berjalan yang defisit.  

Gambar 1. Tren Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah berbagai Era Presiden Indonesia
Gambar 1. Tren Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah berbagai Era Presiden Indonesia

Faktor Eksternal: Penurunan Harga Minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil-CPO)

Salah satu hal penting yang cukup mempengaruhi perekonomian Indonesia di bawah era kepemimpinan Jokowi adalah jatuhnya harga minyak kelapa sawit di Indonesia yang terjadi pada kuartal kedua 2014 (Gambar 2). Pada saat itu, Indonesia sedang menghadapi guncangan ekspor yang disebabkan penurunan harga CPO yang terus kontinu dari harga semula 607.5 USD/ton pada 8 Maret 2014 hingga mencapai harga 352.2 USD/ton pada tanggal 26 Agustus 2015. Pada akhir kuartal kedua tahun 2017, harga tersebut kembali mengalami penurunan pada kisaran harga 480 USD/ton.

Banyak sekali faktor-faktor yang melandasi anjloknya penurunan harga CPO. Beberapa faktor utamanya adalah adanya penurunan pangsa permintaan negara-negara Eropa sebesar 6 persen dan Timur Tengah sebesar 17 persen yang disebabkan oleh turunnya harga minyak dunia yang merupakan komoditas subtitusi dari CPO. Masyarakat dunia lebih memilih menggunakan minyak dunia (Brent) ketimbang CPO. Sehingga, permintaan akan CPO menjadi merosot turun dengan diikuti fluktuasi harga CPO.

Penurunan ekspor CPO ini memberikan dampak yang sangat kritis terhadap kekuatan ekspor di Indonesia. Pasalnya, ekspor di Indonesia masih ditopang oleh komoditas CPO. Dari tahun ke tahun, CPO menyumbang lebih dari 10 persen terhadap total ekspor non-migas. Maka tidak mengherankan pelemahan permintaan yang terjadi pada komoditas CPO memberikan dampak yang sangat signifikan bagi arus ekspor Indonesia. Dari Gambar 3 terlihat dampak penurunan ekspor CPO yang terjadi pada tahun 2014 berlanjut hingga tahun 2016 yang kemudian perlahan mulai menguat dikarenakan penguatan pada sektor lain.

Gambar 2. Tren Fluktuasi Harga CPO
Gambar 2. Tren Fluktuasi Harga CPO

Banyak sekali faktor-faktor yang melandasi anjloknya penurunan harga CPO. Beberapa faktor utamanya adalah adanya penurunan pangsa permintaan negara-negara Eropa sebesar 6 persen dan Timur Tengah sebesar 17 persen yang disebabkan oleh turunnya harga minyak dunia yang merupakan komoditas subtitusi dari CPO. Masyarakat dunia lebih memilih menggunakan minyak dunia (Brent) ketimbang CPO. Sehingga, permintaan akan CPO menjadi merosot turun dengan diikuti fluktuasi harga CPO.

Penurunan ekspor CPO ini memberikan dampak yang sangat kritis terhadap kekuatan ekspor di Indonesia. Pasalnya, ekspor di Indonesia masih ditopang oleh komoditas CPO. Dari tahun ke tahun, CPO menyumbang lebih dari 10 persen terhadap total ekspor non-migas. Maka tidak mengherankan pelemahan permintaan yang terjadi pada komoditas CPO memberikan dampak yang sangat signifikan bagi arus ekspor Indonesia. Dari Gambar 3 terlihat dampak penurunan ekspor CPO yang terjadi pada tahun 2014 berlanjut hingga tahun 2016 yang kemudian perlahan mulai menguat dikarenakan penguatan pada sektor lain.

Gambar 3. Tren Total Ekspor dan Ekspor Minyak Dunia, Indonesia
Gambar 3. Tren Total Ekspor dan Ekspor Minyak Dunia, Indonesia

Faktor Eksternal: Overshooting dan Spillover Effect dari Fed Rate

Sebagai negara Small Open Economy, tidak mengherankan bahwa perekonomian Indonesia akan selalu terombang-ambing oleh gemuruh dan konstelasi perekonomian global, salah satunya perekonomian Amerika Serikat (AS). Salah satu instrument pemerintah AS yang kerap mempengaruhi perekonomian Indonesia adalah suku bunga acuan The Fed (Fed's Rate). Sebagaimana dalam teori Interest Parity Equilibrium (Krugman, et al. 2018), adanya disparitas dari suku bunga antar negara akan memberikan ketidakseimbangan di pasar aset yang akan berdampak pada fluktuasi nilai tukar suatu negara. Dalam kasus ini, ialah kenaikan tingkat suku bunga The Fed.

Sejak pecahnya krisis ekonomi AS pada 2008, The Fed tercatat belum pernah menurunkan suku acuan. Sebelumnya, resesi ekonomi membuat The Fed menurunkan suku bunga hingga ke tingkat sekitar 0 persen. Sebagai bagian dari kebijakan dovish, The Fed menahan level suku bunga yang rendah tersebut selama tujuh tahun berturut-turut (Gambar 4).

Terhitung pada Desember 2015, The Fed perlahan meningkatkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 0,25%-0,5%. Tappering Off tersebut dilakukan karena beberapa faktor seperti tingkat pengangguran AS yang kembali ke level 7%; Pertumbuhan ekonomi AS yang berada di kisaran 2%-3%; dan Inflasi inti AS yang tidak melampaui 2%. Kenaikan tersebut terus berlanjut hingga pada akhir tahun tingkat suku bunga AS adalah sebesar 2,25%-2,5%.

Gambar 4. Tren Suku Bunga The Fed
Gambar 4. Tren Suku Bunga The Fed

Kembali kepada teori interest parity equilibrium, Indonesia sebagai negara small open economy tentunya akan merespon dengan meningkatkan suku bunga dalam negeri agar tidak terjadi capital outflow dalam jumlah yang masif (capital flight). Meskipun begitu, mencapai keseimbangan yang baru bukan lah hal yang mudah. Adanya fenomena Uncovered Interest Parity seperti ekspektasi masyarakat menjadi permasalahan yang tidak dapat terabaikan. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya fenomena overshooting, dimana keseimbangan baru yang terbentuk akan menyebabkan nilai tukar rupiah berada pada tingkat yang lebih lemah meskipun terjadi recovery dalam apresiasi nilai tukar.

Adanya interaksi antara pasar aset dan pasar barang merupakan salah satu alasan mengapa Bank Indonesia punya andil dalam menjaga keseimbangan pasar output. Trade-off dari tingginya tingkat suku bunga suatu negara tentunya akan menyebabkan perlambatan laju pertumbuhan dan tingginya tingkat pengangguran yang terjadi.

Meskipun begitu, pada akhir kuartal kedua 2019 The Fed akhirnya berbalik arah menurunkan suku bunga acuan. Perlambatan ekonomi AS akibat perang dagang, penurunan aktivitas manufaktur, dan perlambatan inflasi menjadi pemicunya. Pemangkasan suku bunga dilakukan untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir sebesar 25 basis poin.

Faktor Internal: Current Account Deficit

Untuk mengetahui tingkat produktivitas Indonesia, hal pertama yang bisa dilihat adalah melalui kondisi neraca transaksi berjalan Indonesia yang defisit (Current Account Deficit). Hal yang tidak kalah menarik dan tidak bisa luput dari pertimbangan para ekonom adalah Current Account Deficit (CAD) yang kian melemah. Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa CAD memang sudah mengalami pelemahan pada sekitar tahun 2011---2012. Namun, pada periode era kepemimpinan Presiden Jokowi, CAD kembali merosot pada awal kuartal 2017. Pada periode tersebut, CAD mencapai angka terparahnya pada akhir kuartal 2018 yang juga merupakan waktu terparahnya depresiasi nilai tukar rupiah.

Keadaan tersebut masih disebabkan oleh penurunan ekspor batu bara dan CPO yang terjadi sejak tahun 2011. Dari sisi perdagangan, CAD yang melebar banyak dipengaruhi oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang dan peningkatan defisit neraca jasa. Pada tahun 2018, neraca perdagangan berbalik arah menjadi defisit sebesar US$ 398 juta pada kuartal III-2018, pasca selalu mencatatkan surplus sejak kuartal III-2014. Kemudian, defisit pendapatan primer juga melebar tipis menjadi US$ 8,03 milliar di kuartal III-2018, dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 8,02.

Gambar 5. Arus Transaksi Berjalan Indonesia, 2011-2019
Gambar 5. Arus Transaksi Berjalan Indonesia, 2011-2019

Defisit tahun 2018 juga diperparah dengan adanya perang dagang yang terjadi antara AS dan Cina. Besarnya eskalasi dampak perang dagang ini menyebabkan negara-negara mitra kedua negara tersebut menjadi terdampak. Singkatnya, ketidakpastian yang disebabkan pemberian tarif terhadap produk dari kedua negara tersebut menyebabkan harga perdagangan dan Global Value Chain dari kedua negara tersebut menjadi lebih mahal.

Ketika suatu negara memiliki neraca perdagangan yang defisit, negara tersebut akan membutuhkan cadangan devisa dalam bentuk mata uang asing yang semakin lebih banyak. Ketika suatu negara menukarkan lebih banyak mata uangnya ke dalam bentuk mata uang asing, nilai dari mata uang negara tersebut menjadi lebih rendah relatif terhadap mata uang asing (hukum permintaan). Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia yang defisit menjadi salah satu faktor yang mendorong depresiasi rupiah.

 

Berbagai Solusi yang sudah Dilakukan Pemerintah Jokowi-JK Untuk Mengatasi Pelemahan Nilai Tukar

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pelemahan rupiah dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal (penurunan harga CPO, perang dagang, dan suku bunga acuan the Fed) dan faktor internal (rendahnya tingkat produktivitas Indonesia yang tercermin dari neraca transaksi berjalan yang defisit). Untuk meminimalkan dampak buruk dari pelemahan nilai tukar, tentunya diperlukan solusi yang dapat mengatasi permasalahan dari faktor eksternal dan internal. Namun, faktor eksternal merupakan sesuatu yang eksogen sehingga upaya yang dapat dilakukan Indonesia dalam meminimalkan pengaruh pelemahan nilai tukar adalah membenahi faktor internal atau dengan kata lain meningkatkan produktivitas Indonesia. Dalam membenahi permasalahan internal yang terjadi, pemerintah Jokowi-JK sudah melakukan berbagai solusi yang diantaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, pemerintah Jokowi-JK telah melakukan berbagai pembenahan birokrasi untuk menstimulus perekonomian nasional. Hal ini didukung dengan adanya 16 paket kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan selama masa pemerintahan Jokowi-JK. Paket kebijakan tersebut juga digunakan sebagai instrumen yang berfungsi untuk menggenjot kinerja bisnis Indonesia seperti meningkatkan daya saing ekspor, meningkatkan investasi, dan mempermudah kegiatan berbisnis di Indonesia. Dengan diadakannya 16 paket kebijakan ekonomi tersebut, diharapkannya Indonesia dapat bersaing dengan pasar global lainnya sehingga produktivitas dan perekonomian Indonesia dapat meningkat di tengah ketidakpastian perekonomian global.

Kedua, efisiensi investasi juga mengalami tren yang semakin membaik tiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari perbaikan rasio penambahan modal dengan penambahan pengeluaran atau incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia. ICOR digunakan sebagai instrumen yang menghitung jumlah tambahan satu unit investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan satu produk nasional. Dengan demikian, tren ICOR Indonesia yang menurun (Gambar 6) menandakan bahwa tingkat produksi nasional semakin efisien.

Terakhir, pemerintah Jokowi-JK juga membangun jalan tol jalur darat dan jalur laut. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), jalan tol yang terbangun hingga Oktober 2019 berada di kisaran 985 kilometer. Dari segi jalur laut, pemerintah juga melakukan pembenahan pada waktu dwelling time sehingga masa penimbunan peti kemas dapat berkurang. Penurunan angka dwelling time di pelabuhan logistik Tanjung Priok menjadi rata-rata 2,4 hari dari yang sebelumnya 3 hari. Penurunan angka ini disertai dengan peningkatan kapasitas dan pelayanan bongkar muat barang (Rosana, 2019). Keseluruhan hal tersebut dilakukan untuk menurunkan biaya logistik yang tinggi sehingga menurunkan biaya investasi dan dapat meningkatkan tingkat produktivitas Indonesia. Lalu, apakah dengan dilakukannya 3 kebijakan tersebut tingkat produktivitas Indonesia benar-benar meningkat?

Gambar 6. Tren ICOR Indonesia, 2014-2018
Gambar 6. Tren ICOR Indonesia, 2014-2018

 Refleksi Produktivitas Indonesia: Indeks Persaingan Global dan Indeks Kemudahan Berbisnis

Untuk mengukur daya saing suatu negara, World Economic Forum (WEF) mengeluarkan indeks persaingan global. Indeks tersebut memasukkan 13 aspek perekonomian yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan dan produktivitas suatu negara. Berdasarkan Gambar 7, indeks persaingan global memiliki hubungan yang positif dengan PDB per kapita. Dengan demikian, suatu negara berdaya saing tinggi (nilai indeks persaingan global tinggi) diasosiasikan dengan tingkat PDB per kapita yang juga tinggi. Maka dari itu, indeks persaingan global dapat digunakan sebagai proxy untuk melihat tingkat produktivitas Indonesia.

Berdasarkan laporan WEF berjudul Global Competitiveness Report 2019, Indonesia berada di peringkat 50, turun 5 peringkat dari tahun sebelumnya. Meskipun terdapat penurunan, performa persaingan Indonesia tidak berbeda jauh dengan tahun sebelumnya. Hal ini didukung oleh ukuran pasar Indonesia yang besar dan kestabilan makro perekonomian Indonesia. Selanjutnya, dalam lingkup ASEAN, Indonesia berada di posisi 4, di belakang Singapura yang berada di peringkat 1, Malaysia di peringkat 27 dan Thailand di peringkat 40. Tertinggal jauhnya Indonesia dibandingkan dengan negara tetangganya disebabkan oleh: kondisi berbisnis yang masih kaku dan pengeluaran di bidang penelitian dan pengembangan Indonesia yang kurang dari 0.1% PDB.

Gambar 7. Indeks Persaingan Global dan Produk Domestik Bruto per Kapita pada 20 Negara
Gambar 7. Indeks Persaingan Global dan Produk Domestik Bruto per Kapita pada 20 Negara

Selanjutnya, kita dapat menganalisis tingkat produktivitas Indonesia dengan menggunakan indeks kemudahan berbisnis. Berdasarkan Gambar 8, peringkat kemudahan berbisnis Indonesia pada tahun 2018 dan 2019 tetap berada pada posisi 73 dari 115 negara. Peringkat tersebut masih jauh dari target pemerintahan Jokowi-JK yaitu pada posisi 40. Belum mencapainya Indonesia sesuai target Jokowi disebabkan oleh tiga permasalahan utama: praktik korupsi, birokrasi yang rumit, dan rendahnya akses ke lembaga pembiayaan. Maka dari itu, dari dua indeks yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tingkat produktivitas Indonesia (permasalahan internal) masih rendah.

Secara umum, permasalahan utama terkait rendahnya produktivitas diakibatkan oleh permasalahan regulasi, khususnya pada kondisi Indonesia yang masih berisiko tinggi dan tidak kompetitif. Hal tersebut didukung oleh World Bank (2019) dalam laporannya berjudul "Global Economic Risks and Implications for Indonesia" menyatakan bahwa nilai investasi Indonesia masih rendah diakibatkan peraturan yang terlalu banyak, tidak sinkron, dan menghabiskan banyak waktu. Contohnya, proses perizinan membangun usaha di Indonesia memakan waktu 1 tahun sedangkan Vietnam dan Thailand hanya membutuhkan waktu 2 bulan. Selanjutnya, penerapan regulasi di Indonesia juga masih tidak konsisten dan saling bertentangan. Hal ini dapat dilihat dari adanya 1.084 peraturan pemerintah daerah yang bertentangan dengan pemerintah pusat terkait dengan permasalahan retribusi dan izin. Terakhir, peraturan pemerintah Indonesia juga masih terlalu banyak. Pada tahun 2015-2018 terdapat 6.300 aturan menteri naik sebesar 1.300 peraturan dari tahun 2011-2014.

Gambar 8. Peringkat Kemudahan Berbisnis di Indonesia 
Gambar 8. Peringkat Kemudahan Berbisnis di Indonesia 

Tantangan dan Ketidakpastian Global

Sejalan dengan banyaknya permasalahan yang melanda Indonesia dari segi internal, banyak diantaranya disebabkan oleh faktor eksternal. Meskipun upaya yang dapat dilakukan hanya berfokus kepada masalah internal, pada hakikatnya faktor internal merupakan faktor terpenting dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh suatu negara. Hal ini dikarenakan struktur perekonomian suatu negara yang secara internal sudah kokoh, negara tersebut dapat mereduksi dampak pelemahan ekonomi yang disebabkan faktor eksternal (Krugman et al, 2018).

World Economic Forum (2019) menyarankan bahwa untuk membenahi permasalahan internal Indonesia, pemerintah harus melihat di luar kebijakan moneter, seperti kebijakan fiskal yang dapat meningkatkan investasi dan memberikan insentif yang menghidupkan kembali produktivitas. Lebih khusus, kebijakan fiskal harus memprioritaskan peningkatan di investasi, peningkatan produktivitas dalam infrastruktur, sumber daya manusia dan penelitian dan pengembangan yang dapat membantu pertumbuhan perekonomian. Kebijakan fiskal juga harus dilengkapi dengan reformasi struktural yang membuatnya lebih mudah untuk berinovasi dan memungkinkan kinerja dunia bisnis Indonesia yang lebih berkembang.

Mengingat banyaknya ketidakpastian global yang akan datang, Indonesia harus benar-benar memperhatikan struktur perekonomian internal sejak dini Maka, sudah sepatutnya Indonesia dan pemerintahan Jokowi di periode selanjutnya lebih waspada dan bersikap preventif terhadap tantangan-tangan global yang mulai bermunculan. Terlebih lagi di perekonomian global yang memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi. Mulai dari perang dagang US dan Cina yang semakin memanas, fenomena disintegrasi Brexit, dan gejala resesi yang bermunculan dari berbagai studi yang ada (IMF, Bloomberg dan JP Morgan).

Laporan IMF (2019) menekankan bahwa fenomena resesi global sudah di depan mata. Digadang-gadang resesi kali ini akan menjadi yang terbesar setelah tahun 2009. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh konflik perang dagang semata. Fenomena Brexit (British Exit), rendahnya iklim manufaktur, konflik geopolitik, lambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, serta menuanya struktur demografi di berbagai negara maju menjadi faktor-faktor yang saling berkesinambungan erat dan tak terpisahkan satu sama lain. Selanjutnya, laporan IMF (2019) juga menyatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi global semakin melambat, diprediksikan sekitar 3.5% dari tahun sebelumnya sebesar 3.6%. Perekonomian global yang melambat akan mempengaruhi keadaan perekonomian Indonesia.

Maka dari itu, pembenahan permasalahan faktor internal dengan meningkatkan produktivitas, inovasi, dan kredibilitas bank sentral merupakan kunci penting dalam menopang perekonomian Indonesia untuk menimalkan dampak buruk pelemahan nilai tukar dan menerjang arus resesi global yang akan datang. Jika pemerintahan Jokowi selanjutnya gagal dalam membenahi permasalahan produktivitas Indonesia, perekonomian Indonesia sebagai small open economy akan turut mengalami resesi global.

Referensi

Bank Indonesia. (2019). Indonesia's Balance of Payments and International Investment Position. Diakses dari https://www.bi.go.id/en/publikasi/neraca-pembayaran/Default.aspx

Bank Indonesia. (2019). Kurs Transaksi Bank Indonesia. Diakses dari https://www.bi.go.id/id/moneter/informasi-kurs/transaksi-bi/Default.aspx

Badan Pusat Statistik. (2019). PDB Menurut Pengeluaran. Diakses dari https://www.bps.go.id/subject/169/produk-domestik-bruto--pengeluaran-.html#subjekViewTab6

Friana, H., & Jannah, S. M. (2019, October 2). Di Balik Ambisi Jokowi Memperpanjang Jalan Tol di Periode Kedua. Diakses pada 31 Oktober, 2019, dari https://tirto.id/di-balik-ambisi-jokowi-memperpanjang-jalan-tol-di-periode-kedua-ei7b.

International Monetary Fund (2019). World Economic Outlook: Global Manufacturing Downturn, Rising Trade Barriers.

Jamrisko, M., Curran, E., & Schneeweiss, Z. (2019). Is the World Economy Sliding into First Recession Since 2009? Bloomberg. Diakses dari https://www.bloomberg.com/news/articles/2019-10-12/is-the-world-economy-sliding-into-first-recession-since-2009

Krugman, P. R., Obstfeld, M., & Melitz, M. J. (2018). International economics: Theory &            policy. New York: Pearson.

Macrotrends. (2019). Federal Funds Rate - 62 Year Historical Chart. Diakses dari https://www.macrotrends.net/2015/fed-funds-rate-historical-chart

Manoukian, J. (2019). Recession Obsession. JP Morgan. Diakses dari https://www.jpmorgan.com/securities/insights/recession-obsession

Markets Insider (2019). Palm Oil in USD -- Historical Prices. diakses dari https://markets.businessinsider.com/commodities/historical-prices/palm-oil-price/usd/20.9.2019_20.10.2019

Rosana, F. C. (2019, October 6). Kemenhub: Dwelling Time di Pelabuhan Priok Turun Menjadi 2,4 Hari. Diakses pada 31 Oktober, 2019, dari https://bisnis.tempo.co/read/1256474/kemenhub-dwelling-time-di-pelabuhan-priok-turun-menjadi-24-hari.

World Bank (2019). Global Economic Risks and Implications for Indonesia.

World Economic Forum (2019). The Global Competitiveness Report 2018. Diakses dari http://www3.weforum.org/docs/WEF_TheGlobalCompetitivenessReport2019.pdf

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun