Oleh: Anggita Utomo, Ilmu Ekonomi 2017, Wakil Kepala Departemen Kajian dan Penelitian 2019.
"There's no such a thing as a free lunch"
Demikianlah ungkapan Milton Friedman yang diabadikan jelas di dalam bukunya yang bertajuk sama. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah bahwa setiap hal, termasuk "makan siang" sekalipun, memerlukan biaya untuk mendapatkannya. Milton Friedman percaya betul bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini, sehingga setiap manusia harus bekerja untuk mendapatkan sesuatu.
Namun, sayangnya, banyak orang yang tidak mampu mendapatkan "makan siang" karena tidak memiliki pekerjaan atau tidak memiliki penghasilan yang cukup (baca: pengangguran). Banyak pengangguran kini juga diperparah dengan dampak otomatisasi yang diprediksikan akan menggantikan 75 juta tenaga manusia pada tahun 2022 (WEF, 2018).
Otomatisasi sejatinya juga memiliki peluang untuk menciptakan pekerjaan baru yang diprediksi mencapai jumlah 133 juta pekerjaan, tetapi hanya pekerja terdidik saja yang mampu terserap ke dalamnya. Dengan demikian, banyak pekerja, terutama pekerja tidak terdidik dan tidak terlatih, yang akan kehilangan pekerjaan dan tidak bisa mendapatkan "makan siangnya" secara mandiri.
Untuk meminimalisir dampak tersebut, pemerintah umumnya memberikan jaminan sosial bagi masyarakat yang membutuhkan. Selain dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin, jaminan sosial juga berpotensi menurunkan ketimpangan pendapatan (Deaton et al., 2002).
Salah satu bentuk jaminan sosial yang sedang ramai diperbincangkan dan diperkirakan mampu menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan adalah Universal Basic Income (UBI). UBI menjamin setiap warga negara dengan rentang usia tertentu mendapatkan sejumlah uang dalam bentuk cash transfer setiap bulan secara cuma-cuma dan tanpa persyaratan apapun.
Hal ini dinilai efektif mengurangi birokrasi dalam pencairan dana jaminan sosial lainnya yang kerap kali memakan waktu. Selain itu, UBI dianggap lebih mampu  melindungi pekerja part time yang biasanya luput dari unemployment benefit dan jaminan sosial lainnya (Turunen, 2017). Berbagai eksperimen mengenai pemberian free-money melalui UBI telah banyak dilakukan di berbagai negara. Sebut saja Namibia.
Dengan Basic Income Grant Program (BIG)-nya, Namibia mampu mengurangi pengangguran dari 60% di tahun 2007 menjadi 45% di tahun 2008 (Namibia Labor Resource and Research, 2009). Di India sendiri, 42% dari sampel yang diteliti menyatakan bahwa program UBI yang dibawakan oleh pemerintah, secara rata-rata, mampu meningkatkan well-being mereka (SEWA Bharat, 2014).
Sama dengan di Finlandia, eksperimen mengenai UBI yang dilakukan di tahun 2017 lalu, secara rata-rata, berhasil meningkatkan well-being masyarakat sebesar 10-12% (dengan berbagai macam proksi well-being). Namun, eksperimen tersebut tidak memperlihatkan adanya penurunan tingkat pengangguran sama sekali. Bahkan, terdapat indikasi adanya kenaikan tingkat pengangguran (Finnish Ministry of Social Affairs and Health, 2019). Lalu, bagaimana sesungguhnya dampak dari pemberian "free money" melalui UBI terhadap perilaku masyarakat?
 "There is free-money, instead of free lunch"
Memberikan cash grant sebagai bentuk jaminan sosial dari pemerintah ke masyarakat sejatinya bukan satu-satunya cara untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bentuk jaminan sosial lain seperti pemberian subsidi juga bisa menjadi pilihan pemerintah.
Dalam bukunya, (Public Finance: A Contempary Application of Theory to Policy), Hyman menyatakan bahwa dampak jaminan sosial, dalam hal ini perbandingan cash grant dengan subsidi, sejatinya bisa dibandingkan satu sama lain dengan pendekatan mikroekonomi. Dalam Grafik 1, Hyman membandingkan pemberian cash grant, dalam hal ini dikaitkan dengan pemberian UBI,
Grafik 1. Perbandingan Dampak antara Pemberian Cash Grant dengan Pemberian Subsidi terhadap Konsumsi Rumah Tangga
dengan Housing Subsidy atau pemotongan harga bagi layanan perumahan. Diberikan sebuah ilustrasi Rumah Tangga A dan Rumah Tangga B yang diasumsikan memiliki anggaran yang sama yang ditunjukkan dengan garis anggaran IA dengan kepuasan maksimal di titik E1. Rumah tangga A menghadapi jaminan sosial berupa pemberian subsidi layanan perumahan yang menyebabkan garis anggarannya berotasi luar dari IA ke IB.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya subsidi memampukan Rumah Tangga A untuk mengonsumsi lebih banyak layanan perumahan sehingga meningkatkan kepuasan maksimalnya dari titik E1 ke titik E2. Dengan jumlah nominal yang sama, Rumah Tangga B menghadapi jaminan sosial berupa pemberian cash grant, UBI, yang menyebabkan garis anggaran Rumah Tangga B bergeser ke kanan dari IA ke LL'.
Bergesernya anggaran Rumah Tangga B mengindikasikan bahwa daya beli Rumah Tangga B meningkat, baik terhadap layanan perumahan maupun terhadap barang lainnya dengan diikuti oleh meningkatnya kepuasan maksimal Rumah Tangga B dari titik E1 ke titik E3.
Dari keduanya, dapat dibandingkan bahwa kepuasan maksimal Rumah Tangga B (E3) relatif lebih tinggi daripada kepuasan maksimal Rumah Tangga A (E2), padahal nominal pembiayaan jaminan sosial untuk kedua rumah tangga tersebut adalah sama. Lalu, apa yang bisa menjelaskan peritiwa ini?
Julie Schaffner dalam bukunya, (Development Economics: Theory, Empirical Research, and Policy Analysis) mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan membawa konsep dari Amartya Sen, yaitu Freedom of Choice. Amartya Sen menyatakan bahwa well-being atau tingkat kesejahteraan seseorang sedikit banyak dipengaruhi oleh kebebasan individu dalam memilih.
Pemberian subsidi layanan perumahan kepada Rumah Tangga A memang memberikan insentif bagi Rumah Tangga A untuk mengonsumsi lebih banyak layanan perumahan, tetapi tidak memberikan kemudahan atau peluang bagi Rumah Tangga A untuk mengonsumsi komoditas lain.
Berbeda dengan subsidi, cash grant, dalam hal ini UBI, memberikan kemampuan atau kesempatan bagi Rumah Tangga B untuk mengonsumsi layanan perumahan dan komoditas lainya, sehingga kepuasan maksimal Rumah Tangga B relatif lebih tinggi daripada kepuasan maksimal Rumah Tangga A. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian cash grant sebagai jaminan sosial umumnya memiliki efisiensi yang lebih tinggi ketimbang pemberian subsidi.
Meski demikian, model ini menerapkan asumsi bahwa Rumah Tangga A dan Rumah Tangga B adalah individu yang rasional dan mengabaikan perbedaan preferensi dan budaya dari kedua rumah tangga yang bisa merefleksikan perbedaan well-being mereka (Barry and Nathan, 2016). Namun, setidaknya, model ini cukup memberikan gambaran umum mengenai perbedaan antara pemberian jaminan sosial berupa cash grant dalam bentuk UBI dan subsidi.
Berbicara mengenai kebebasan dalam memilih, banyak penelitian menyatakan bahwa UBI memberikan dampak berupa  penambahan bargaining power bagi para pekerja dan pencari kerja (Wright, 2004). Artinya, pekerja dapat memilih pekerjaan yang pantas baginya (baik itu dari sisi gaji, jam kerja, minat dan lain sebagainya).
Hal ini tentu saja akan berdampak ke peningkatan kualitas well-being dari pekerja di sebuah negara dengan program UBI. Seperti contoh yang telah ditunjukkan sebelumnya di Finlandia dan India.
"Is free-money risk-free?
Meskipun dinilai lebih efisien ketimbang pemberian subsidi, UBI juga memiliki risiko tersendiri yang harus diperhatikan. Salah satu risikonya adalah munculnya pengangguran, baik pengangguran terbuka maupun pengangguran tertutup.
Hal ini dijelaskan oleh Hyman dengan membandingkan pendapatan per hari rumah tangga dengan waktu luangnya dalam sehari. Diilustrasikan kembali Rumah Tangga B yang memiliki pendapatan dari pekerjaan hariannya ditambah jaminan sosial, UBI, yang diterima.
Grafik 2. Dampak Pemberian Cash Grant terhadap Jumlah Jam Kerja
Adanya UBI, katakanlah sebesar D24 per hari, akan menggeser garis anggaran Rumah Tangga B dari A24 ke CD dengan kepuasan maksimal di titik E2. Hal ini memberikan insentif bagi Rumah Tangga B untuk mengurangi waktu bekerjanya dan menambah waktu senggangnya dari L1 ke L2. Dengan demikian, Rumah Tangga B masih dapat menikmati peningkatan pendapatan per harinya (dari F1 ke F2) serta menikmati tambahan waktu luang dari L1 ke L2.
Dari sinilah lahir pengangguran tertutup. Bagaimana jika jumlah UBI yang diterima Rumah Tangga B tiap harinya sama besar dengan pendapatan hariannya? Tentu Rumah Tangga B akan memilih untuk memanfaatkan 24 jam-nya untuk leisure time ketimbang bekerja (ditunjukkan dari titik kepuasan maksimal di E3).
Tentu saja hal ini terjadi karena tanpa bekerja sekalipun, Rumah Tangga B mampu menikmati pendapatan harian seperti jika Rumah Tangga B bekerja selama 24 jam sehari! Dari sinilah lahir pengangguran terbuka.
Lalu, mengapa data empiris di Namibia mengatakan yang sebaliknya? Tentu hal tersebut muncul karena kelemahan asumsi yang digunakan oleh Hyman. Selain rasionalitas, Hyman mengasumsikan tiap rumah tangga memiliki preferensi yang sama terhadap pendapatan dengan waktu senggang. Di Namibia dan India, banyak rumah tangga yang memiliki pendapatan kurang dari 0 tiap harinya (utang lebih besar dari pendapatan). Dengan demikian, adanya cash grant atau UBI, justru memberikan insentif bagi rumah tangga untuk semakin giat bekerja (Brewer et al., 2012) Namun, secara general, dampak dari UBI terhadap hilangnya intensif untuk bekerja belum terbukti salah. Maka dari itu, hal inilah yang menjadi perhatian banyak ekonom saat ini. Eksperimen-eksperimen sebelumnya tidak cukup meyakinkan para ekonom untuk memastikan dampak dari UBI terhadap rumah tangga di tiap-tiap negara.
 "There's, indeed, no such a thing as a free lunch"
Bagaimanapun juga, Universal Basic Income merupakan bentuk bantuan sosial yang dilahirkan dari pemikiran ekonom-ekonom terdahulu. Tentu setiap kebijakan, termasuk UBI, akan menghasilkan pro-kontranya atau keuntungan-kerugiannya tersendiri dan dampak implementasinya dapat berbeda-beda tergantung dengan kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya tiap negara. Sekalipun terdapat kata free dalam free money yang merupakan konsep dari Universal Basic Income, nyatanya Universal Basic Income tidak benar-benar menawarkan solusi yang "gratis". Lagi-lagi, benar kata Milton Friedman, there's no such a thing as a free lunch.
Referensi
Barry S., Nathan N. Cheek. (2017). Choice, freedom, and well-being:considerations for public policy. Behavioural Public Policy (2017), 1: 1, 106--121. doi:10.1017/bpp.2016.4
Brewer, M. , Browne, J. and Jin, W. (2012), Universal Credit: A Preliminary Analysis of Its Impact on Incomes and Work Incentives*. Fiscal Studies, 33: 39-71. doi:10.1111/j.1475-5890.2012.00152.x
Deaton et al. (2002). Social Security and Inequality over the Life Cycle. The Distributional Aspects of Social Security and Social Security Reform. p 115-147
Finnish Ministry of Social Affairs and Health. (2019). The Basic Income Experiment 2017--2018 in Finland. Preliminary results. Helshinki: Finnish Ministry of Social Affairs and Health.
Hyman, David N. (2010). Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy. United States: Cengage Learning
Schaffner, Julie. (2014). Development Economics: Theory, Empirical Research and Policy Analysis. United States: Wiley
SEWA Bharat. (2014). A Little More How Much It Is: Piloting Basic Income Transfers in Madhya Pradesh, India. New Delhi: SEWA Bharat
Turunen, M. (2017). Basic Income: An Answer to Social Security Problems?. Helshinki: OECD
World Economic Forum. (2018). Insight Report: The Future of Jobs Report 2018. Switzerland: Centre for the New Economy and Society
Wright, E. O. (2004). Basic Income, Stakeholder Grants, and Class Analysis. Politics & Society, 32(1), 79--87. https://doi.org/10.1177/0032329203261099
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H