Dari sisi perdagangan internasional, Indonesia tidak perlu khawatir akan adanya perang dagang. Pengenaan tarif baja dan aluminum dari AS dan Tiongkok tidak berdampak langsung terhadap Indonesia. Hal ini dikarenakan proporsi perdagangan baja dan aluminum Indonesia relatif kecil. Total nilai impor besi dan baja Indonesia terhadap total impor hanya 5,5 persen. Sedangkan total nilai ekspor besi dan baja Indonesia terhadap total ekspor hanya 0,02 persen.Â
Namun, pemerintah Indonesia perlu mewaspadai jika pengenaan tarif tersebut merambat ke sektor lain. Seperti Uni Eropa yang berencana melarang impor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) dari negara Asia termasuk Indonesia. Wacana tersebut semakin memanas bersamaan dengan AS yang menabuh genderang perang dagang dengan Tiongkok. Ekspor CPO Indonesia merupakan komoditas ekspor dengan nilai tertinggi sebesar 14 milyar USD. Larangan impor CPO oleh Uni Eropa dikhawatirkan akan mengganggu kinerja ekspor dari Indonesia.
Celah dalam Perang Dagang
Perang dagang justru bisa dijadikan momentum pemerintah Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke pasar non-tradisional. Indonesia perlu memperhatikan ekspor ke negara non-tradisional seperti Bangladesh, Filipina, Mesir, Pakisan, Rusia, Vietnam, atau negara lainnya yang perekonomiannya sedang tumbuh. Negara  tradisional seperti seperti AS, Jepang, dan Uni Eropa yang perekonomiannya melambat akan menjadi hambatan bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspornya.
"Lampu Kuning" di Pasar Keuangan
Jika perang dagang memberi peluang baru terhadap sektor perdagangan internasional Indonesia, dampak negatif perang dagang justru muncul di sektor keuangan. Pertama, perang dagang yang menguatkan ekonomi domestik AS menyebabkan The Fed (bank sentral AS) menaikkan suku bunganya. Implikasinya, investasi di AS jauh lebih menarik dibandingkan di Indonesia. Pada kuartal 4 2017, kinerja investasi Indonesia menurun seiring dengan semakin kuatnya indikasi  naiknya suku bunga The Fed hingga 4 kali di tahun 2018 (lihat grafik 2)
Bahkan, rupiah sempat menembus 13.804 pada 20 April 2018. Meskipun dampak ini diperkirakan hanya ada dalam jangka pendek, pemerintah perlu tetap mencari respon kebijakan yang tepat jika tidak ingin kondisi semakin memburuk.
Terlepas dari kontroversi perang dagang, kita harus tetap bersikap adil dan mengedepankan rasionalitas dalam menyikapi. Kemuculan perang dagang sekiranya tidak dapat dihindari. Alasannya adalah defisit perdagangan AS terhadap Tiongkok yang kian memburuk --terlepas dari faktor politik ataupun lainnya. Indonesia dalam hal ini merasakan beberapa dampak.Â