Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Wanita dalam Pembangunan Nasional: Masalah dan Solusi

16 Maret 2018   10:11 Diperbarui: 17 Juli 2018   07:18 3301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Faktor yang mendukung minimnya hambatan tersebut adalah pengesahan peraturan pemerintah wajib belajar 12 tahun. Dampaknya, penduduk di Indonesia mendapat kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan kurang lebih 12 tahun atau setidaknya sampai tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, kenyataan mengindikasikan bahwa umumnya penduduk pria mengenyam pendidikan sedikit lebih lama dibanding wanita, dilihat dari perbedaan RLS-nya. Artinya, wanita umumnya hanya menikmati bangku sekolah selama kurang lebih 7 tahun. Tidak jauh dari itu, pria mengenyam pendidikan selama kurang lebih 8 tahun, setahun lebih lama dari wanita. 

Perbedaan besar antara HLS dan RLS menunjukkan bahwa kemudahan akses pendidikan, seperti program wajib belajar 12 tahun, tidak berjalan sesuai kehendak karena terdapat hambatan yang menyebabkan rata-rata lama sekolah masyarakat hanya berkisar 7-8 tahun saja. Salah satu hambatannya adalah beban ekonomi. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak mampu untuk membeli kebutuhan perlengkapan sekolah sehingga memutuskan untuk putus sekolah dan bekerja.

BPS 2015
BPS 2015
Aspek terakhir yaitu daya beli masyarakat. Indonesia memiliki perbedaan daya beli masyarakat yang cukup signifikan. Pada tahun 2015, daya beli penduduk pria sekitar 15 USD, sedangkan penduduk wanita hanya sekitar 7 USD (World Bank, 2015). Artinya adalah penduduk pria rata-rata mampu membayar sebuah komoditas kurang lebih 2 kali lebih banyak ketimbang wanita. 

Sayangnya, Indikator PPP/Unit tidak bisa menunjukkan bagaimana situasi pekerja wanita dan pekerja pria secara spesifik, seperti produktivitas kerja, spesifikasi kerja, profesionalitas dan faktor kualitatif lainnya. Indikator PPP/Unit memperhitungkan inflasi dan pendapatan masyarakat semata-mata untuk menunjukkan kuantitas kerja dari segi pengeluaran konsumsi atau daya beli saja. Dari indikator tersebut, kita mengetahui bahwa perbedaan daya beli ini dapat menunjukkan bahwa umumnya pria mendapatkan upah lebih besar sehingga memiliki daya beli yang lebih tinggi. 

Hal selaras juga terjadi pada buruh/karyawan di Indonesia. Karyawan/buruh pria mendapatkan upah kurang lebih 400 ribu sampai 500 ribu rupiah lebih banyak dari karyawan/buruh wanita. Meskipun ada kenaikan upah di setiap tahunnya, selisih antara karyawan/buruh pria dengan wanita tidak mengalami banyak perubahan.

BPS 2015
BPS 2015
Ketimpangan daya beli antargender di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Namun, seringkali dikaitkan dengan diskriminasi tanpa mempertimbangkan faktor lainnya. Padahal, Indikator PPP/Unit tidak bisa digunakan sebagai tolak ukur diskriminasi karena PPP/Unit hanya memperhitungkan pendapatan dan inflasi. Faktor terbesar penyebab ketimpangan upah  yang justru perlu diperhatikan adalah kualitas manusia itu sendiri  (Kitae, Sohn 2015). Meskipun begitu, hal ini tidak menampik fakta bahwa diskriminasi antargender di Indonesia, seperti glass ceiling, masih terjadi.

Solusi

Ketiga aspek di atas mengungkapkan bahwa kualitas hidup wanita Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan pria. Penyebab terbesar ketimpangan taraf hidup antargender karena adanya disparitas upah yang menyebabkan perbedaan daya beli masyarakat. 

Disparitas ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari faktor kualitatif pekerja, lama bekerja, preferensi pekerjaan tiap individu dan lain sebagainya. Mengenai preferensi pekerjaan, laporan dari ILO (International Labour Organization) mengungkapkan bahwa wanita lebih banyak bekerja di sektor informal atau usaha keluarga. Pada tahun 2014, sebanyak kurang lebih 60 persen angkatan kerja wanita bekerja di sektor informal.

Sependapat dengan itu, Christine Lagarde, Managing Director International Monetary Fund, menyebutkan bahwa wanita cenderung bekerja di sektor informal atau pekerjaan-pekerjaan tanpa bayaran, sehingga produktivitas kerjanya sangat rendah yang diikuti dengan daya beli yang rendah pula. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), dalam publikasinya juga menyatakan bahwa proporsi wanita yang bekerja di sektor informal sebesar 70% dari keseluruhan angkatan kerja wanita. Hal ini mengindikasikan setidaknya dua kemungkinan, bahwa wanita kekurangan kemampuan untuk mengakses sektor formal atau memilih secara sadar untuk bekerja di sektor informal dengan rata-rata penghasilan yang lebih rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun