Faktor yang mendukung minimnya hambatan tersebut adalah pengesahan peraturan pemerintah wajib belajar 12 tahun. Dampaknya, penduduk di Indonesia mendapat kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan kurang lebih 12 tahun atau setidaknya sampai tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, kenyataan mengindikasikan bahwa umumnya penduduk pria mengenyam pendidikan sedikit lebih lama dibanding wanita, dilihat dari perbedaan RLS-nya. Artinya, wanita umumnya hanya menikmati bangku sekolah selama kurang lebih 7 tahun. Tidak jauh dari itu, pria mengenyam pendidikan selama kurang lebih 8 tahun, setahun lebih lama dari wanita.Â
Perbedaan besar antara HLS dan RLS menunjukkan bahwa kemudahan akses pendidikan, seperti program wajib belajar 12 tahun, tidak berjalan sesuai kehendak karena terdapat hambatan yang menyebabkan rata-rata lama sekolah masyarakat hanya berkisar 7-8 tahun saja. Salah satu hambatannya adalah beban ekonomi. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak mampu untuk membeli kebutuhan perlengkapan sekolah sehingga memutuskan untuk putus sekolah dan bekerja.
Sayangnya, Indikator PPP/Unit tidak bisa menunjukkan bagaimana situasi pekerja wanita dan pekerja pria secara spesifik, seperti produktivitas kerja, spesifikasi kerja, profesionalitas dan faktor kualitatif lainnya. Indikator PPP/Unit memperhitungkan inflasi dan pendapatan masyarakat semata-mata untuk menunjukkan kuantitas kerja dari segi pengeluaran konsumsi atau daya beli saja. Dari indikator tersebut, kita mengetahui bahwa perbedaan daya beli ini dapat menunjukkan bahwa umumnya pria mendapatkan upah lebih besar sehingga memiliki daya beli yang lebih tinggi.Â
Hal selaras juga terjadi pada buruh/karyawan di Indonesia. Karyawan/buruh pria mendapatkan upah kurang lebih 400 ribu sampai 500 ribu rupiah lebih banyak dari karyawan/buruh wanita. Meskipun ada kenaikan upah di setiap tahunnya, selisih antara karyawan/buruh pria dengan wanita tidak mengalami banyak perubahan.
Solusi
Ketiga aspek di atas mengungkapkan bahwa kualitas hidup wanita Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan pria. Penyebab terbesar ketimpangan taraf hidup antargender karena adanya disparitas upah yang menyebabkan perbedaan daya beli masyarakat.Â
Disparitas ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari faktor kualitatif pekerja, lama bekerja, preferensi pekerjaan tiap individu dan lain sebagainya. Mengenai preferensi pekerjaan, laporan dari ILO (International Labour Organization) mengungkapkan bahwa wanita lebih banyak bekerja di sektor informal atau usaha keluarga. Pada tahun 2014, sebanyak kurang lebih 60 persen angkatan kerja wanita bekerja di sektor informal.
Sependapat dengan itu, Christine Lagarde, Managing Director International Monetary Fund, menyebutkan bahwa wanita cenderung bekerja di sektor informal atau pekerjaan-pekerjaan tanpa bayaran, sehingga produktivitas kerjanya sangat rendah yang diikuti dengan daya beli yang rendah pula.Â
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), dalam publikasinya juga menyatakan bahwa proporsi wanita yang bekerja di sektor informal sebesar 70% dari keseluruhan angkatan kerja wanita. Hal ini mengindikasikan setidaknya dua kemungkinan, bahwa wanita kekurangan kemampuan untuk mengakses sektor formal atau memilih secara sadar untuk bekerja di sektor informal dengan rata-rata penghasilan yang lebih rendah.