Syaikh Alawi berada dalam garis Isawi---secara spiritual. Ada banyak kisah di mana, bahkan secara penampakan lahirian, Syaikh Alawi nampak seperti sosok Yesus. Ini diceritakan cukup panjang dalam biografi Syaikh Alawi, yang disusun Martin Lings (Abu Bakr Sirajudin): A Sufi Sint of The twentieth Century : Syaikh Ahmad Al-Alawi. Karakter Isawi ini yang menjadikan mulai dari sang Guru syaikh Alawi hingga sang murid, Fritjof Schuon, secara artikulasi pembahasaan sangat menarik para pemeluk Kristiani, mereka yang besar dalam tradisi Barat.Â
Seperti halnya tasawuf dalam Islam---sebagai dimensi bathin, ke-ihsan-an, dalam Addin---yang sering banyak disalahphami, demikian juga apa yang menjadi rintisan Schuon. Metafisika dalam pengertian tradisi adalah pengetahuan Ilahiah yang diartikulasikan dalam kerangka nalar dan bahasa pikiran, yang keduanya memiliki keterbatasan.
Apalagi gagasan Schuon yang melintas batas tradisi dan agama, akan lebih sangat disalahpahami. Kendati dalam semua bahasan dan bukunya, Schuon tidak bicara kesamaan agama-agama di level ajaran dan praktik, karena tanpa praktik syariat mustahil ada penggapaian pengetahuan Ilahiah lewat inteleksi--- 'aql jiwa yang dalam tahap lebih lanjut menggunakan dzauq /rasa jiwa. Tapi orang terlanjur salah menyematkan bahwa filsafat perenial kurang lebih sama dengan gerakan New Age yang eklektik, padahal sama sekali bertolak belakang.
Kerangka teoretis Schuon yang lintas batas ini, bahkan lintas terminologi, bisa ditelusuri dan disusur asal muasalnya dalam basis metafisika yang memang Schuon kuasai betul. Yakni basis metafisika ajaran Shankara dalam tradisi Advaita Vedanta, Plato dan Plotinus dalam khazanah Yunani dan Ibnu Arabi dalam khazanah tasawuf Islam. Dimana kesemua basis metafisika ini memiliki karakter khas yang kuat, yakni aspek pen-tauhid-an.
Sebagai juru bicara di dunia Barat, Schuon nampak lebih lembut dalam menelisik khazanah metafisika tradisi Kristen, terutama menyangkut tema-tema sensitif seputar trinitas dan inkarnasi. Ini berbeda dengan salah satu gurunya, Rene Guenon. Hal ini yang kemudian membuat terdapat dua persepektif berbeda dalam tradisi filsafat perenial dalam memandang ke Kristenan yakni perspektif Schuonian dan perspektif Guenonian.
Karakter demikian ini, sering dirujuk Schuon dikaitkan dengan nama muslimnya yang menjadi karakter dasar khasnya; yakni Isa Nuruddin Ahmad. Isa Ibn Maryam adalah nama lain Yesus, yang digunakan oleh orang Islam.
Nuruddin, bermakna cahaya agama, sebuah nama pemberian dari Syaikh Alawi. Sedangkan Ahmad adalah nama lain Muhammad SAW, nama Rasulullah yang dikenal betul dalam khazanah tasawuf. Nama yang seolah menggabungkan dua tradisi Abrahamik besar.Â
Pengaruh Schuon terhadap pengkajian tradisi tasawuf Islam di dunia Barat sangatlah signifikan. Ada deretan figur para perintis yang secara langsung dipengaruhi Schuon dalam telaah kajian ilmiah dan filosofisnya. Mulai dari Titus Burchkadt, Martin Lings, Gai Eaton, Syed Hossein Nasr, Victor Danner, Leo Schaya, Jean Louis Michon, Roger Dupaquier, William Chittick, Sachiko Murata, Vincent Cornell dan yang lainnya, adalah para pengkaji Islam dan penelaah tradisi-tradisi metafisika dunia Islam.Â
***
Akhir 1990-an, tepatnya antara 1997 atau 1998, Fritjof Schuon berkunjung ke Indonesia---Schuon sendiri wafat tanggal 5 Mei 1998. Tanpa berita gebyar, bahkan saya tak berhasil menelusuri jejak digital kunjungan tokoh ini ke Indonesia. Sepi sekali.
Saat itu saya masih di bangku mahasiswa, kendati memiliki beberapa koleksi Schuon sejak tingkat pertama, saya tak pernah bisa paham apa yang diutarakannya. Tulisannya yang padat, ringkas, sangat assertif dengan bahasan lintas tradisi dan banyak istilah, akan sangat menyulitkan pembaca awam.