Ia masih ingat, sedari kecil, di lemari ayahnya terdapat aneka buku-buku klasik, disamping Bhagawad Gita dan Alquran. Keluarganya sendiri adalah penganut katolik yang taat.Â
Recollection, anamnesis, pengingatan kembali adalah fitrah jiwa, konsep perenial bahwa manusia sejatinya adalah mahluk langit, celestial creature, yang terjatuh ke dalam dunia jasadiah. Perkara untuk menggapai ingatan jiwa yang terbenam dalam pekatnya lumpur psikis adalah sebuah perjalanan ke dalam diri; nafs yang bathini.
Mujahadah sepanjang hayat di mana kisah drama pertarungan antara diri yang sejati dan hawa nafsu yang menyertainya terjadi; ibarat kisah pertempuran abadi antara kebaikan kejahatan dalam kisah-kisah mitologis.
Perjalanan ke dalam diri ini sejatinya dikondisikan oleh dua hal: kerinduan Ilahiah yang timbul dari rasa Cinta atas keindahan dan keagungan Ilahi; serta rasa terasing dan gamang dalam perangkap jasadiah yang duniawi. Ini adalah karakter psikis dari orang tipe Pneumatic, sepertihalnya Schuon. Maka wajar, sedari kecil Schuon merupakan seorang yang memiliki kepekaan kuat akan keharuman pengetahuan Ilahiah (metafisika).Â
Di usia relatif muda; ia sudah bicara dan merindukan kelahiran kembali dirinya secara spiritual. Surat-menyuratnya dengan banyak sahabat, kawan-kawan seperjalanan, maupun suadara-saudaranya tampak menggambarkan peta dan arah jalan hidupnya.
Ada nada kegetiran, ada kegelisahan yang tampak kuat di sana. Artikulasi kalimatnya bernada puitis, sekaligus tampak mistis dan sarat perenungan. Keindahan masa kecil, serta merta harus tergantikan dengan rasa kehilangan dan gambaran nestapa masyarakat dunia. Setelah kehilangan ayahnya di usia 13 tahun, Schuon juga menyaksikan nestapa dunia akibat perang dunia pertama dan kedua; dimana ia malah terlibat dalam kecamuk perang tersebut.
Masa remaja Schuon dihabiskan di Paris, setelah ayahnya wafat. Di kota ini ia menemukan suasana lain yang lebih modern dan hiruk pikuk. Di kota inilah, kemuraman dan kecenderungan intuitifnya disalurkan lewat hobi membaca, menulis dan menggubah puisi, sembari bekerja sebagai desainer pada pabrik tekstil.
Masa itu, Prancis adalah negeri kolonial bagi wilayah-wilayah Afrika Utara, maka kehidupan di Paris menghantarkannya bersinggungan dengan dunia Arab gurun, Islam dan orang-orang muslim. Kecenderungan metafisikanya disalurkan lewat belajar segi-segi ajaran advaita vedanta dari Shankara, memampukan dirinya untuk belajar bahasa sanskrit. Ketertarikan dan persentuhannya dengan Arab, menariknya lebih jauh ke dalam. Ia mulai belajar membaca, menulis dan berbicara bahasa Arab.
Paris 1932, saat itu Schuon tidak bisa lagi menahan hasrat kuat bathinnya. Diceritakan bahwa ia mengalami pengalaman spiritual yang menghantarnya untuk memeluk agama Islam.
Tanpa menyalahkan kekristenan, bagi Schuon secara personal, Kristen mengajarkannya untuk mencintai Tuhan. Tapi ia menginginkan lebih dari itu. Ia menginginkan mengetahui, mengenali dan mengakrabi Tuhan. Islam menyediakan hal tersbebut, di samping kesederhanaan aspek praktis di level spiritual yang sangat personal, bukan lewat institusi kepausan.
Demikian ungkapannya dalam surat menyurat dengan banyak sahabatnya, seputar mengapa ia menjadi muslim. Maka di kota Paris ini, ia mengikrarkan syahadat, sebagai ungkapan resmi menjadi muslim. Setelah itu, secara busana dan ornamen, Schuon lebih sering menggunakan khas Arab, sambil belajar surah-surah Alquran dari seorang Persia, Sayyid Hasan Imami.