“Apakah kau tidak setuju bahwa dalam diriku, aku mempunyai semangat nubuat sebesar semangat yang dimiliki angsa-angsa? Karena angsa-angsa itu, ketika memersepsi bahwa mereka pasti akan mati, setelah bernyanyi sepanjang hayatnya, lantas mereka bernyanyi lebih riang lagi dari sebelumnya, bergembira karena akan segera pergi menuju Tuhan yang para menterinya adalah mereka sendiri. Tetapi manusia, karena mereka sendiri takut akan kematian, mulai menebarkan fitnah bahwa angsa-angsa menyanyikan ratapan menjelang akhir hidupnya. “
Tuturan bernada nubuat di atas, diungkapkan Socrates menjelang kematiannya—ia harus minum racun sebagai hukuman atas perbuatannya mengajarkan filsafat. Si lebah penyengat kuda-kuda malas Yunani ini, tanpa gentar sedikit pun menghadapi kematian. Karena, sang filsuf sejati—seperti tercatat dalam Dialog Phaedo karya Plato, sang murid terkasihnya—adalah mereka yang justru gembira dengan kematian. Melalui kematianlah Sang filsuf bisa dengan lebih leluasa membebaskan jiwanya dari pengaruh ragawi, kejahatan dan nafsu tubuh. Kerena berfilsafat, kata Socarets, adalah melatih diri untuk mati.
Gajah mati meningalkan gading, Socrates mati meninggalkan inspirasi. Memang benar, kematiannya memberi inspirasi bagi para muridnya. Sistem pemerintahan demokrasi adalah penyebab Socrates harus menjalani hukuman tersebut. Dengan suara terbanyak dari anggota Dewan Polis Yunani yang sakit hati akibat ulahnya, sudah cukup untuk membuat Socrates bungkam selamanya. Tapi ternyata orang bisa saja membungkam kata-kata yang keluar dari mulutnya , tapi tak pernah bisa menghentikan aliran ide-idenya. Ajaran Socrates terlanjur dikenal banyak orang, mengalir deras kepada mereka yang terbuka akal budinya.
Dan ajaran Socrates, sampai jaman ini, tetap abadi, bisa kita baca melalui tulisan tangan Plato. Kematiannya sendiri bukanlah suatu hal yang sia-sia, cukup membuat banyak orang tersentakkan kesadarannya. Cukup untuk membuat orang-orang bertanya secara lebih mendasar, gerangan kehidupan seperti apakah yang layak dilakoninya. Karena—lagi-lagi merujuk kata-kata Socrates—hidup yang tak terperiksa tak layak dilakoni.
Perasaan apakah yang hinggap merayap manakala seseorang dihentakkan begitu saja dari alunan kesehariannya? Manakala tiang sandaran diri dan penyangga hidupnya terlepas tiba-tiba, dengan sebab kematian seseorang yang dicintai, kehilangan mata pencaharian, atau keruntuhan ideologi yang dianutnya. Cemas, terasing dan takut. Perasaan-perasaan yang paling dasar pada diri manusia. Saat perasaan ini muncul, saat itu juga momen yang tepat bagi manusia untuk sejenak menyembul dari ketenggalam rutinitasnya, inilah saat yang tepat untuk bertanya dengan lebih mendasar, menengok ke palung paling dalam dirinya sendiri.
Ada sekian peristiwa besar dunia, yang membawa hembusan angin kematian. Bencana alam, perang dunia, wabah penyakit, setidaknya telah mengguncangkan kesadaran manusia terkait eksistensi dirinya. Pertanyaan eksistensial, adalah nama bagi aneka ragam lintasan teka-teki yang ingin dijawab terhadap apa dan bagaimana kehidupan yang harus dilakoninya. Pergulatan akan pertanyaan eksistensial ini, melahirkan sekian banyak filsuf, baik yang profan maupun yang profetik. Bukankah mereka yang disebut para filsuf, adalah mereka yang tanpa mengenal lelah bergulat dengan pertanyaan eksistensial ini.
Bolehlah kita beranggapan, tanpa kematian Socrates, guru terkasihnya, Plato tak mungkin menggubah sekian banyak dialog filosofis yang membongkar seluk beluk diri, keluarga, pengetahuan, kebenaran, kehidupan setelah mati, yang semunya diharapkan menjadi pegangan bagi manusia di masanya. Peristiwa kematian sang Guru, bagi Plato adalah palu godam yang menggedor kesadaran dirinya, hinga ia bisa mempunyai daya tahan untuk menyibak dan menelisik ragam pertanyaan ini.
Peperangan, adalah salah satunya. Kematian masal yang diakibatkannya, kengerian yang timbul, penderitaan dan rasa sakit, kehilangan dan ketercerabutan, setidaknya membuat orang-orang mulai memikirkan keberadaan, eksistensi dirinya di dunia ini. Ada sekian filsuf yang terlahir dari pengalaman genuine dirinya menghadapi peperangan, akrab dengan kematian demi kematian orang-orang disekitarnya. Descartes, umpamanya, sebagian besar masa hidupnya berada pada masa perang Bavaria.
Socrates, sudah dipastikan adalah seorang prajurit yang berani di peperangan Athena dan Sparta. Wittgenstein, menyusun filsafatnya dalam buku Tractatus-Logico-Philosophicus di parit-parit perlindungan pada kecamuk Perang Dunia I. Bertrand Russel, Sartre, dan bahkan para filsuf awal posmodernisme, adalah mereka yang menolak peperangan, mencoba mengadili para penjahatnya, kalaupun tidak, mereka adalah para demonstran yang gigih.
Setelah Perang Dunia II, di daratan Eropa sebagai arena peperangan, tempat adu jotos ideologi, pertarungan kebesaran rasial, dan nasionalisme yang cupet, bekembang dua aliran filsafat. Kedua aliran ini bersepakat untuk menggempur irasionalitas manusia yang telah menyebabkan kejahatan, peperangan dan penderitaan berkepanjangan.
Tapi keduanya berada pada jalur yang berseberangan. Pertama, aliran positivisme logis, yang mendasarkan diri pada filsafat awal Wittgenstein, yang bisa dilacak terus pada David Hume dan para penganut empirisme khas Inggris. Aliran ini membanggakan diri karena bijaksana dan praktis, ilmiah dan tidak mentolerir segala omong kosong. Aliran kedua adalah eksistensialisme, yang berakar pada Kierkgaard dan Nietzcshe, dan fenomenologi Husserl sebagai metodologinya.
Positivisme Logis cukup gigih menyerang segala yang irasional, meskipun dalam beberapa hal melenyapkan segudang apa yang paling penting dalam filsafat, yakni pernyatan-pernyataan etis yang tidak bisa diverifikasi secara ilmiah berdasar kaidahnya. Akibatnya, meskipun mereka menuntut keobjektifan terhadap semua hal, tapi untuk masalah etika, mereka justru terkesan sangat subjektif. Pada kondisi demikian, eksistensialisme hadir demi menandingi apa yang luput dari para penganut positivis logis. Mereka menaruh perhatian utama pada tanggung jawab dan keunikan pribadi, sangat menjunjung tinggi subjektivitas. Mereka hampir bisa dikatakan memandang curiga kerumunan, orang kebanyakan, sekawanan manusia, yang mengaburkan autensitas pribadi : diri yang sejati dan otentik.
Eksistensialisme adalah sebuah filsafat yang menyeruak dari eksplorasi yang tajam atas suasana psikologis manusia, terutama situasi-situasi yang negatif, semisal kecemasan dan rasa takut. Soren Kierkgaard, si peletak dasar eksistensialisme ini, lebih senang disebut sebagai psikolog dan seorang penyair tinimbang filsuf. Metode pencarian filosofis yang diriintisnya sebenarnya bisa kita telesuri, jauh di jaman sebelumnya kepada Plotinos. Gaya ala Plotinos adalah dengan mencoba menggali hakikat diri manusia yang positif—katakanlah jiwa, dimulai dengan ekplorasi dan analisa atas psikis manusia.
Di antara sekian penerus Eksistensialisme, barangkali Heidegger adalah yang kontroversoial. Perpaduan antara nihilisme Nietszce, dengan fenomenologi Husserl, dan mistik ala Eckhart, menjadikan filsafat Heidegger sebagai tonggak penting dalam sejarah peradaban Barat. “..Badai yang dihembuskan pemikiran Heidegger, sebagaimana badai karya Plato yang menerpa kita selama berabad-abad..” demikian tulis Hannah Arendt, murid, kekasih gelap, sekaligus inspirator bagi karya-karyanya.
Perkembangan pemkiran Heidegger tak bisa dilepaskan dari situasi jaman di kala itu. Pengalaman dirnya selama mengukuti perang dunia pertama, sangat membekas di benaknya. Apa yang dialaminya di medan tempur, di mana seorang manusia bukanlah apa-apa, seolah terlempar tanpa tahu dari mana asal dan ke mana tujuannya. Pengalaman negatif akan kecemasan dan keterlemparan inilah yang dianggap paling riil , yang oleh Heideggger diangkat sebagai motif utama, pijakan dasar bagi pemikiran filosofisnya.
Manusia dalam pandangan Heidegger adalah dasein, atau ada yang itu. Dasein disebut juga sebagai sosok yang tidak menyadari Ada, sebagai sumber eksistensinya. Persis saat manusia terlahir ke dunia, ia terlempar, hadir begitu saja dalam dunia ini (faktisitas). Manusia sebagai dasein ini terlarut dalam keseharian (besorgen), hadir bersama dengan yang lain, baik dengan perangkat teknologi yang siap pakai (zuhandenes), atau bersama dasein lainnya (mitdasein). Ia pada hakikatnya adalah sosok yang tidak mengenal dirinya sendiri yang otentik. Dari sinilah, eksistensialisme Heidegger nampak kental.
Jika eksistensialisme, mencoba menarik diri dari kerumunan orang, mencoba naik dari ketenggelaman keseharian yang banal, Heidegger pun demikian. Hanya saja, yang lebih utama dalam pandangan Heidegger, bukan lari dari kehidupan keseharian demi mencari diri yang otentik. Justru dari keseharian yang banal, seorang dasein secara sadar, harus bisa melihat Ada, sumber eksistensinya, harus bisa memandang keseharian dengan cermat, dalam, dan tembus pandang.
Tapi terkadang , ada masa di mana seorang dasein tersentakkan dengan cukup keras dri ketenggalaman kesehariannya. Momen di mana seorang dasein terputus dari rutinitas, sebagai dampak pengalaman yang menyakitkan, kehilangan sandaran diri, atau peristiwa yang mengguncang. Inilah momen yang tepat bagi seorang dasein untuk mulai mengakrabi stimmung (suasana hatinya sendiri) terutama yang berkaitan perasaan yang paling dasar ; keterasingan, kecemasan dan rasa takut, yang merangsang dirinya untuk bersegera mencari diri otentiknya, menyadari Wujud Ada sebagi sumber eksistensinya.
***
Jika Kierkgaard, beranggapan untuk mengatas kecemasan eksisensial, manusia harus melompat ke dalam iman, maka Heidegger sama sekali tidak menyentuh masalah keagamaan dalam filsafatnya. Ada, sebagai sumber eksistensi, juga tidak disebut sebagai Tuhan. Agama dalam pandangan Heidegger, justru seringkali mengaburkan keotentikan, karena agama yang dipahami adalah warisan dari kerumunan, pendapat orang tua, mapun sekadar opini publik. Lantas, kapan dasein bisa menyadari totalitas dirinya sendiri, mamahami diri yang otentik secara paripurna. Jawaban Heidegger, manakala seseorang mengalami kematian.
Saat inilah dasein mengalami totalitasnya sekaligus ketiadaannya. Tapi kematian di sini adalah kematian esistesnial, yang datang menghampiri berkali-kali, bergantung kerterbukaan dasein terhadap apa yang datang. Dasein mesti berupaya meraih otensitasnya, dengan menyadari kematian ini. dasein harus merasa cemas secara eksistensial, terhadapnya. Cemas yang menuntut sikap mengantsiipasi. Menyadari. Seperti sikap Socarets.
***
Kebanyakan manusia, hampir di segala masa, berteriak mengutuki jaman, “saat ini adalah jaman yang suram, bahaya, bobrok, penuh tipu daya”. Mereka terpenjara dalam ‘waktu’. Alih-alih mencoba mencari kedalaman dari keseharian yang banal dan dangkal, mencari dirinya yang otentik, malah mengangankan sebuah dunia lain yang ideal, baik di masa depan maupun di masa lalu.
Ada yang terpenjara dalam ‘waktu di masa lampau’, mengangankan sebuah kondisi ideal yang telah terjadi, dan berupaya keras menggapainya kembali, tanpa mempertimbangjkan perubahan jaman. Inilah sikap umum para fundamentalis. Ada juga yang berteriak lantang tentang keidealan di masa depan, kondisi yang seusai dengan konsepsi dibenaknya, dengan ideloginya, dan menganggap bobrok masa kini dan masa lampau. Inilah sikap umum dari para pembaharu.
Tentu saja dalam masa hiruk pikuk jaman yang tak tentu arahnya ini, cerita tentang globalisasi, pentas selebritis yang remeh temeh, ulah para politisi yang heroik, ragam perilkau yang banal dan dangkal, kita akan kesulitan untuk sekedar mencari keunikan diri, autensitas pribadi. Kita larut dan tengelam dalam kerumunan hasrat komunal yang tak kunjung habis-habisnya.
Apalagi untuk sekadar mengingat kematian. Tapi semua ada masanya, ada gilirannya, selau saja ada peristiwa besar dalam sejarah yang cukup mengguncangkan, secara masal. Dan pada momen inilah kita sebenarnya dituntut untuk sejenak menghentikan kerja kognitif kita yang terbawa arus besar jaman. Sejenak berpikir tentang bagaimana mengantisipasi kematian, sesuatu yang nisacaya dialami semua manusia. Bertanya pada diri: dari mana dan hendak ke mana.
Toh, ada banyak jalan untuk mencari keotentkan diri, kekhasan dan keunikan individu. Bisa dengan gaya dan cara para eksitensialis-humamnis, atau khas para mistikus, yang pasti apakah semua daya kognitif kita, semua perilaku dan gerak tubuh, segenap tindakan kita sudah diletakkan sebagai perisapan menghadapi kematian? Seberapa jauhkah kita menenmpatkan ‘pandangan terhadap kematian ini’ , dalam menentukan kualitas kehidupan?. Layaknya sikap seorang Socrates.
----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H