Kebanyakan manusia, hampir di segala masa, berteriak mengutuki jaman, “saat ini adalah jaman yang suram, bahaya, bobrok, penuh tipu daya”. Mereka terpenjara dalam ‘waktu’. Alih-alih mencoba mencari kedalaman dari keseharian yang banal dan dangkal, mencari dirinya yang otentik, malah mengangankan sebuah dunia lain yang ideal, baik di masa depan maupun di masa lalu.
Ada yang terpenjara dalam ‘waktu di masa lampau’, mengangankan sebuah kondisi ideal yang telah terjadi, dan berupaya keras menggapainya kembali, tanpa mempertimbangjkan perubahan jaman. Inilah sikap umum para fundamentalis. Ada juga yang berteriak lantang tentang keidealan di masa depan, kondisi yang seusai dengan konsepsi dibenaknya, dengan ideloginya, dan menganggap bobrok masa kini dan masa lampau. Inilah sikap umum dari para pembaharu.
Tentu saja dalam masa hiruk pikuk jaman yang tak tentu arahnya ini, cerita tentang globalisasi, pentas selebritis yang remeh temeh, ulah para politisi yang heroik, ragam perilkau yang banal dan dangkal, kita akan kesulitan untuk sekedar mencari keunikan diri, autensitas pribadi. Kita larut dan tengelam dalam kerumunan hasrat komunal yang tak kunjung habis-habisnya.
Apalagi untuk sekadar mengingat kematian. Tapi semua ada masanya, ada gilirannya, selau saja ada peristiwa besar dalam sejarah yang cukup mengguncangkan, secara masal. Dan pada momen inilah kita sebenarnya dituntut untuk sejenak menghentikan kerja kognitif kita yang terbawa arus besar jaman. Sejenak berpikir tentang bagaimana mengantisipasi kematian, sesuatu yang nisacaya dialami semua manusia. Bertanya pada diri: dari mana dan hendak ke mana.
Toh, ada banyak jalan untuk mencari keotentkan diri, kekhasan dan keunikan individu. Bisa dengan gaya dan cara para eksitensialis-humamnis, atau khas para mistikus, yang pasti apakah semua daya kognitif kita, semua perilaku dan gerak tubuh, segenap tindakan kita sudah diletakkan sebagai perisapan menghadapi kematian? Seberapa jauhkah kita menenmpatkan ‘pandangan terhadap kematian ini’ , dalam menentukan kualitas kehidupan?. Layaknya sikap seorang Socrates.
----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H