Mohon tunggu...
HIMA ESP FEB UNPAD
HIMA ESP FEB UNPAD Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran

Berdasarkan dengan surat keputusan pemerintah No 37 tahun 1957 pada tahun 1957, Program Studi Ekonomi di Universitas Padjadjaran berdiri pada 18 september tahun 1957 dibawah naungan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. Pada tahun 1981, dengan berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia terdapat perubahan penamaan dari jurusan Program Studi Ekonomi menjadi Program Ekonomi Studi Pembangunan yang didasarkan kepada surat keputusan pemerintah No 27 tahun 1981 tentang peraturan mengenai program studi di tingkat fakultas, yang juga di dukung oleh surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan No: 0133/U/1994 tentang kurikulum nasional. Himpunan Mahasiswa Ekonomi Studi Pembangunan (HIMA ESP FEB Unpad) sendiri berdiri didasarkan kepada kebutuhan mahasiswa akan wadah bagi mahasiswa di jurusan Ekonomi Studi Pembangunan untuk mengembangkan pola pikir, kepribadian serta penerapan yang berkaitan dengan ilmu yang dipelajari agar dapat diterapkan langsung ke masyarakat yang didasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa. HIMA ESP FEB Unpad sendiri memiliki sistem kerja yang didasarkan oleh rasa kekeluargaan dan juga profesional yang dijalankan secara beriringan agar tujuan serta visi dan misi dari HIMA ESP FEB Unpad tersebut dapat tercapai.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Suhu Naik, Harga Panen Naik: Nego ke Siapa?

18 September 2023   18:00 Diperbarui: 18 September 2023   18:43 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, suhu cuaca yang lebih tinggi akan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan tanaman sehingga tahap pengisian bulir padi menjadi lebih pendek dan menghasilkan panen yang lebih rendah. Kemudian, suhu yang lebih tinggi juga mengurangi hasil panen akibat defisit air dan uap yang lebih tinggi (Hertel & Lobel, 2014). 

Adapun curah hujan yang terdampak perubahan cuaca akan berakibat signifikan terhadap hasil pertanian dan harga-harga komoditas. Selain itu, suhu juga merupakan faktor penentu kualitas serta kuantitas pertanian.

Sejak tahun 1980-an, irigasi berlebihan dan penggunaan pestisida faktanya meningkatkan gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. Seiring dengan sektor lain, sektor pertanian sendiri turut menyumbang emisi gas rumah kaca yang merupakan agen utama perubahan iklim. Perubahan iklim ini sejatinya memicu kondisi cuaca yang tidak menentu dan ekstrim, yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan harga komoditas pertanian. 

Singkatnya, ditinjau dari sisi agrikultur, fluktuasi kondisi cuaca (kekeringan dan banjir) berdampak pada produktivitas pertanian. Suhu cuaca, tingkat curah hujan, dan adaptasi petani terhadap kondisi lingkungan yang terus berubah merupakan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat produksi pertanian, di mana semakin langka hasil pertanian maka semakin tinggi pula harga-harga komoditas pertanian tersebut.

Beberapa fenomena iklim yang berimbas pada sektor agrikultur sudah terjadi di berbagai belahan dunia. Kekeringan parah di Meksiko telah memangkas hasil panen cabai dan menyebabkan kelangkaan Sriracha. Suhu pada area perkebunan kopi pada Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Vietnam, dan Indonesia juga terlihat cenderung mengalami kenaikan yang membuat tanaman lebih sulit tumbuh.

IPCC dalam laporannya menegaskan jika terjadi kenaikan suhu bumi sebesar 1,5°C, sekitar 8 persen dari tanah pertanian diperkirakan akan tidak cocok digunakan untuk menanam komoditas pangan. Terkhusus di daerah Afrika, Australia, dan Mediterania, para ilmuwan memperkirakan bahwa panas dan kelangkaan air akan membebani pertanian. 

Jika suhu global naik sebesar 2°C di atas standar pra industri, IPCC memperkirakan akan terjadi peningkatan kekurangan gizi, sebagian besar di Sub-Sahara Afrika, Asia Selatan, Amerika Tengah dan Selatan, dan di pulau-pulau kecil. Banyak dari daerah-daerah ini sudah berjuang melawan kelaparan, bahkan berisiko untuk menjadi lebih buruk akibat terjadinya kenaikan suhu.

Apakah hal ini akan menyebabkan kenaikan harga-harga pangan? Tentu lingkungan hanya menjadi salah satu dari sekian banyak faktor yang memengaruhi harga pangan, seperti penawaran tenaga kerja, efisiensi dalam produksi, dan permintaan konsumen atas komoditas pangan. Namun, sektor pertanian yang amat terdampak pada perubahan iklim memegang kedudukan penting, khususnya bagi negara-negara yang dominan dalam sektor agraris. 

Sebanyak kurang lebih 38 juta penduduk Indonesia menggantungkan penghasilannya pada sektor pertanian. Kesejahteraan para petani juga ikut terancam sehingga berimbas pada potensi penurunan produktivitas akibat krisis iklim yang terjadi. Di Indonesia misalnya, panen padi Ciherang diprediksi turun 30% pada 2040 akibat krisis iklim. 

Dalam jangka panjang, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan bahwa krisis iklim akan mengakibatkan kenaikan harga beras menjadi 50% lebih mahal pada tahun 2050.

Perubahan iklim merupakan kerja sama kolektif yang perlu menjadi perhatian bagi berbagai pihak, tak hanya dari pelaku ekonomi, tetapi juga campur tangan pemangku kebijakan dan seluruh lapisan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun