by Friska Aulia Dewi Andini, Rafa Fayza Afrizal, Faticha Putri HardaÂ
Kondisi iklim yang mengalami perubahan secara cepat merupakan masalah kritis bagi dunia saat ini. Banyak negara berupaya melakukan tindakan pencegahan, baik secara mandiri maupun multilateral, untuk mencegah eksternalitas negatif dari perubahan iklim.Â
Perubahan iklim telah dikenal sebagai ancaman yang dapat mengganggu pembangunan dan keberlanjutan ekonomi negara di seluruh dunia. Oleh karenanya, dibutuhkan solusi sesegera mungkin yang mampu mengurangi dampak perubahan iklim. Upaya untuk mengendalikan masalah ini merupakan upaya yang kompleks dan memerlukan kerja sama semua masyarakat di muka bumi yang aktivitasnya berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Mengetahui kompleksitas dan inklusivitas yang luas, patut bahwa ada banyak kerja sama tertulis antar negara yang dapat mengadakan restriksi bagi rakyat masing-masing negara agar dapat menciptakan iklim yang lebih baik.Â
Contohnya Perjanjian Paris, PBB (2015) mendesak negara-negara untuk memperkuat arahan terkait pengendalian pengaruh negatif dari bahaya lingkungan ini dan menjaga tingkat pemanasan global abad ini agar di bawah 2°C, serta mengupayakan pembatasan peningkatan tidak lebih dari 1,5°C untuk menghindari dampak merugikan.
Saat ini, isu pemanasan global sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, laporan Badan Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan bahwa pada tahun 2022 tercatat kenaikan suhu bumi mencapai 1,15°C lebih tinggi dari suhu sepanjang periode pra industri (1850-1900), yakni rekor terpanas selama tren pemanasan global jangka panjang hampir satu dekade terakhir.
Salah satu alasan meningkatnya suhu tahunan bumi tersebut adalah konsentrasi gas rumah kaca yang semakin tinggi. Tiga gas yang paling bertanggung jawab terhadap pemanasan global antara lain karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O).Â
Menurut laporan terbaru WMO yang dikeluarkan pada Mei 2023, terdapat peluang sebesar 66% bahwa rata-rata tahunan suhu global antara tahun 2023 dan 2027 akan lebih dari 1,5°C di atas tingkat pra industri selama setidaknya satu tahun. Ada pula peluang sebesar 98% bahwa paling tidak satu dari lima tahun ke depan, dan periode lima tahun secara keseluruhan, akan menjadi rekor terpanas yang baru.Â
Selain akibat tingginya emisi hasil kegiatan manusia, hal ini disebabkan oleh adanya fenomena El Nino yang turut meningkatkan suhu global pada tahun setelah terjadinya, yakni 2024.Â
Peningkatan suhu 1,5°C dinilai sebagai ambang kritis iklim. Risiko iklim terkait sistem alam dan manusia akan lebih tinggi apabila pemanasan global mencapai 1,5°C, dan tentunya jauh lebih berbahaya jika sampai melebihi 2°C. Berkaca pada pengalaman di tahun kemarin dan mengantisipasi prediksi masa mendatang, seluruh pihak terkait perlu turun tangan.
Ancaman perubahan iklim ini sangat berdampak pada perekonomian suatu negara, utamanya sektor agrikultur. Pentingnya faktor iklim terhadap hasil ekonomi telah diakui oleh banyak ekonom dan peneliti serta pembuat kebijakan (Dell et al., 2014). Perubahan iklim berdampak pada hasil pertanian dalam banyak cara, yakni pertama, peningkatan suhu cuaca cenderung mengurangi waktu kerja petani di ladang (Kjellstorm et al., 2009).Â