"Waduhh sejak kapan kamu punya sayap? kok bisa aku ga tau," jawab Diva tak tau arah.
"Harapan maksudnya," jawab Melisa pelan. Diva terlihat merasa bersalah telah membuat lelucon tidak lucu, dan malah membuat Melisa semakin menunduk.
"Kenapa?" tanya Diva lembut.
"Aku kalah diperlombakan itu," jawab Melisa sambil memandang bintang kecil di atas sana. Melisa dan Diva kini saling terdiam. Diva tau, Melisa menaruh harapan dalam perlombaan ini cukup besar, dan kini tergagalkan.Â
"Brati emang bukan jalan kamu. Kalau itu jalan kamu, ga mungkin pindah ke tangan orang lain," jawab Diva berusaha realistis.Â
"Aku tau," jawab Melisa singkat lagi dan lagi.
"Udahh gapapa, kita coba cara lain. Sayap boleh patah. Harapan boleh hancur. Tapi semangat ga boleh turun. Hayok kita terbang bebas bareng-bareng lagi. Ini baru satu langkah mundurmu. Kita masih butuh 10 kali langkah majumu. Tenang, nanti sayapmu bisa sembuh sendiri seiiring dengan kamu tersenyum," jelas Diva sambil tersenyum. Melisa melihat itu lalu ikut tersenyum. Wajahnya manis, hanya saja pipinya masih memerah dan matanya masih terlihat sembab. Beruntung emosi Melisa kian stabil dan membaik. Ia tak takut lagi untuk kalah, ia siap untuk menerima kenyataan, dan berusaha mencoba lagi dan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H