"Tadi saya lupa ngasih amplopnya. Ini dari kelurahan untuk keluarga terdampak Corona." Tangan Bu RT mengulurkan sepucuk amplop.
Aku tak bisa berkata-kata. Mataku berlinang. Hatiku sungguh haru. Kudekap erat amplop itu ke dada. Wajah Bu RT kelihatan kaget. Ia terlihat ingin mendekatiku namun tertahan ingat aturan sosial distancing.
Bu RT hanya memandangku dengan sorot iba lalu menyatukan kedua telapaknya di depan dada.Â
Aku masih tergugu kala Bu RT melangkah menjauhi teras rumah. Ya Allah, sungguh Engkau Maha Pengasih.
Dengan tangan dan bahu penuh dengan jemuran aku masuk ke dalam rumah. Dede sedang menempel gambar dengan cangkang telur. Cangkang telur dari telur rebus lauk nasi kotak tadi. Nampaknya ia punya ide mengganti tugas kolase kacang hijau dengan kulit telur. Dede begitu khusu dengan pekerjaannya.
Aku masuk ke kamar. Menaruh baju kering di dalam keranjang lalu duduk di atas kasur. Aku penasaran berapa isi amplop dari kelurahan. Tanganku segera mengambil amplop dari dalam saku. Merobek tepiannya dan menemukan lima lembar Soekarno Hatta. Alhamdulillah ....
Adzan Ashar berkumandang. Aku kembali rukuk dan sujud dengan syahdu. Air mataku terus menerus turun. Wajah kang Dadang terbayang jelas. Ya Rabb mohon selamatkan akang. Kembalikan akang ke rumah....
"Mah, lihat ini bagus kan?" Dede menerobos masuk kamar memperlihatkan hasil kolasenya. Aku terhenyak sejenak lalu menatap gemintang matanya.Â
"Sini mamah lihat...." Aku menggenggam kolase gambar bus dengan wajah sopir yang sedang tersenyum. Aku tak bisa menahan tangisku. Kupeluk erat Dede, kubelai rambut hitamnya. Mulutku terbata mengucap, "Mamah rindu ayah!" Dede ikut terisak air matanya membasahi mukena.
***
Selepas Ashar, aku habiskan waktu untuk menyetrika baju. Sedang Dede kembali sibuk menyusun balok-baloknya. Rumah begitu sunyi.Â