Mohon tunggu...
Hilmi LasmiyatiMiladiana
Hilmi LasmiyatiMiladiana Mohon Tunggu... Guru - Laksmi Purwandita

Guru bahasa Indonesia Penulis belasan antologi bersama Penulis antologi puisi solo DARI NOL HINGGA ANANTA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kang Dadang Pasti Pulang

2 Mei 2020   23:02 Diperbarui: 3 Mei 2020   12:10 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


KANG DADANG PASTI PULANG
Karya: Hilmi Lasmiyati Miladiana

Pagi ini kutengadah kepala menatap bentang langit. Jelas biru muda terhampar. Hari ini cerah bersit hatiku. Pakaian akan cepat kering. Lenganku mencapit pakaian basah ke tali jemuran. 

Benakku mengembara. Biasanya ketika aku menjemur baju, kang Dadang selalu membantu mengangkat ember cucian dari kamar mandi ke teras depan. Ah ... Kapan akang pulang?

"Mah, Dede ada tugas bikin kolase pakai kacang hijau ...." Permintaan dede membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk, membelai rambut hitam Dede kemudian masuk ke dalam rumah.

Segera aku membuka pintu kamar tidur. Mencari celengan receh di atas lemari. Terdengar bunyi gemerincing ketika aku menumpahkan seluruh isi celengan ke atas lantai. Menghitung dan menumpuk uang logam satu persatu. Aku menarik nafas dalam-dalam sambil terisak. Terbayang jelas wajah Kang Dadang. 

"Neng, Alhamdulillah akang dapat rute jauh sekarang. Jadi bayarannya lebih banyak. Besok akang berangkat ke Brawijaya. Ada tour pariwisata, penumpangnya orang bule semua. Doakan ya neng, dapat tipnya besar." Mata Kang Dadang berbinar mengabarkan itu.

Mataku basah mengingat itu, akang tidak bisa kembali pulang. Kabar terakhir yang kuterima dari PO bus tempat akang bekerja. Seluruh rombongan tour ke Brawijaya harus diisolasi karena salah seorang penumpangnya positif Corona. 

Ini hampir 3 minggu sejak kang Dadang pergi. Persediaan uang sudah menipis. Aku pernah mencoba menawarkan jasa buruh cuci untuk menyambung hidup namun kini sudah tak laku. Mereka memilih mencuci di laundry kiloan dari pada menggunakan buruh cuci.

Kuhapus air mataku. Fokusku kembali  menghitung receh di tabungan. Kuselotip tumpukan receh itu. Alhamdulillah ada 38.000 bisa sekalian belanja buat masak hari ini. Namun bersit khawatir mengembus kencang. Ini uang terakhir, bagaimana besok? Air mataku berlinang lagi.

"De, mamah mau beli kacang hijau untuk tugasmu. Dede mau ikut ke pasar atau di rumah aja?"  Tanyaku pada Dede yang sedang main balok di ruang tengah. Dede bergegas membereskan balok mainannya lalu ikut denganku ke pasar.

Jarak dari rumahku ke pasar hanya 3 menit berjalan kaki. Ramai sekali di sana. Aku kepit dompet di lengan sedang telapak tangan menggandeng Dede. 

"Brukk!" Aku sedang tak fokus. Kakiku terantuk batu. Aku terjatuh di perjalanan menuju pasar. Dompetku ikut jatuh juga, kancingnya terbuka. Jelas terdengar gemerincing receh menggelinding ke berbagai penjuru. "Ya Allah...!" Aku berteriak segera berdiri lalu memburu receh yang berhamburan. 

Berselang 5 detik. Bunyi ledakan terdengar keras dari arah pasar. Jerit tangis dan tolong memenuhi udara. Aku dan Dede terpaksa menepi. Puluhan orang berlari menjauhi pasar menginjak ceceran receh.

Tangisku pecah di pinggir jalan memeluk erat Dede. Menyaksikan harapan terakhir kami terinjak-injak. Ketika kekacauan mulai mereda aku memungut receh yang tersisa. Lima keping Rp 1000 dan sepuluh keping Rp 500 sisa yang kutemukan. 

Kugenggam erat sisa uang kami sambil menggandeng tangan Dede. Dede terus menangis. Tangannya dingin dan gemetar. Begitu ketakutan dengan kejadian tadi.

Sedang aku sendiri, merasa tak karuan. Derap langkahku melayang. Tak menapak ke bumi. Bayang wajah kang Dadang membayang. Sungguh aku begitu rapuh....

***

Kumandang adzan dhuhur terdengar jelas dari mesjid. Dede di sampingku tak mau jauh-jauh. Sepertinya kejadian tadi masih membuatnya takut. 

Sayup suara TV mengumumkan update jumlah penderita positif Corona. Mendengarnya, kepalaku makin cenut-cenut. Kuambil segelas air putih meneguknya perlahan untuk menyegarkan pikiran. 

"Mah, Dede lapar...." Gemintang matanya menyejukkan hatiku namun permintaannya membuatku tercenung. 

"Sebentar, mamah sholat dhuhur dulu." Aku beranjak ke kamar mandi untuk ambil wudhu. Rukuk dan sujudku begitu syahdu kali ini. Bibirku gemetar di penghujung sholat. Tangan tengadah dengan guyur air mata. Doaku tak muluk-muluk. Ya Rabb, mohon cukupkan makan kami hari ini. 

"De, sebentar mama ke warung yaa. Dede di rumah aja." Aku berencana membeli mie instan untuk makan siang dan makan malam  dengan uang receh terakhir yang kupunya.

"Teh, beli mie instan 4 bungkus."  Kataku sambil menyerahkan uang receh dengan wajah menunduk karena malu.

Kujinjing kresek hitam berisi 4 bungkus mie instan berjalan menuju rumah. Ketika pintu rumah kubuka, ada pemandangan di luar dugaanku. Dede sedang menyantap nasi kotak begitu lahap. Dalam kecepatan cahaya hatiku hangat melihat pemandangan itu. 

Dede begitu khusu dengan makanannya hingga tak sadar aku sudah masuk ke rumah. Kutatap lekat bagaimana setiap suap begitu nikmat ia kunyah. 

"Eh mah, tadi Bu RT kesini. Ngasih ini." Dede menjawab dengan mulut penuh. Matanya berbinar bahagia. Aku hanya diam menyimak sambil tersenyum.

"Iya, Dede habiskan yaa ... Mamah mau bikin mie dulu." Sahutku sambil berjalan menuju dapur meninggalkan Dede yang masih lahap mengunyah nasi kotaknya.

Hatiku basah, hatiku haru tak henti-henti kuucap hamdallah dalam hati. Pagi tadi rasanya tak ada harapan. Namun ternyata bagi Allah segala hal mudah. Setiap makhluk punya rezekinya masing-masing.

Kutuang mie instan ke mangkuk. Aroma ayam bawang menusuk hidung menerbitkan air liur. "Mah, ini buat mama." Dede menghampiriku sambil menyodorkan sepotong telur lauk dari nasi kotak. Aku tersenyum hatiku kembali basah. 

"Makasih sayang, ini kan kesukaan Dede. Buat Dede aja ya ...." Aku menerima telur itu lalu mengulurkan kembali untuk Dede. Anak semata wayangku itu tak menjawab. Ia hanya menggeleng dan menaruh telurnya ke mangkuk mie instan lalu melangkah menjauh. 

Kulahap mie instan dengan tergesa mendengar bunyi geluduk dari langit. Benakku langsung teringat jemuran yang belum diangkat. 

"Bu Dadang, tadi nasi kotaknya sudah diterima kan?" Suara Bu RT mengagetkanku kala mengambil jemuran.

"Eh iya, terima kasih Bu" jawabku. 

"Tadi saya lupa ngasih amplopnya. Ini dari kelurahan untuk keluarga terdampak Corona." Tangan Bu RT mengulurkan sepucuk amplop.

Aku tak bisa berkata-kata. Mataku berlinang. Hatiku sungguh haru. Kudekap erat amplop itu ke dada. Wajah Bu RT kelihatan kaget. Ia terlihat ingin mendekatiku namun tertahan ingat aturan sosial distancing.

Bu RT hanya memandangku dengan sorot iba lalu menyatukan kedua telapaknya di depan dada. 

Aku masih tergugu kala Bu RT melangkah menjauhi teras rumah. Ya Allah, sungguh Engkau Maha Pengasih.

Dengan tangan dan bahu penuh dengan jemuran aku masuk ke dalam rumah. Dede sedang menempel gambar dengan cangkang telur. Cangkang telur dari telur rebus lauk nasi kotak tadi. Nampaknya ia punya ide mengganti tugas kolase kacang hijau dengan kulit telur. Dede begitu khusu dengan pekerjaannya.

Aku masuk ke kamar. Menaruh baju kering di dalam keranjang lalu duduk di atas kasur. Aku penasaran berapa isi amplop dari kelurahan. Tanganku segera mengambil amplop dari dalam saku. Merobek tepiannya dan menemukan lima lembar Soekarno Hatta. Alhamdulillah ....

Adzan Ashar berkumandang. Aku kembali rukuk dan sujud dengan syahdu. Air mataku terus menerus turun. Wajah kang Dadang terbayang jelas. Ya Rabb mohon selamatkan akang. Kembalikan akang ke rumah....

"Mah, lihat ini bagus kan?" Dede menerobos masuk kamar memperlihatkan hasil kolasenya. Aku terhenyak sejenak lalu menatap gemintang matanya. 

"Sini mamah lihat...." Aku menggenggam kolase gambar bus dengan wajah sopir yang sedang tersenyum. Aku tak bisa menahan tangisku. Kupeluk erat Dede, kubelai rambut hitamnya. Mulutku terbata mengucap, "Mamah rindu ayah!" Dede ikut terisak air matanya membasahi mukena.

***

Selepas Ashar, aku habiskan waktu untuk menyetrika baju. Sedang Dede kembali sibuk menyusun balok-baloknya. Rumah begitu sunyi. 

Biasanya kang Dadang menyanyi lagu dangdut meramaikan suasana. Ia lelaki penuh humor. Terbayang ia berjoget lalu mengedipkan mata mengajakku ikut menari. Aku selalu tersipu malu menyambut tangannya namun lalu ikut larut dalam suasana.

Kutepis bayangan sedih di benak. Aku melangkah mendekati radio tape kesukaan Kang Dadang. Memencet tombol on. Mengiang lagu dangdut kesukaannya. 

Raut wajah Dede kaget mendengarnya. Aku mendekati Dede lalu mengulur tangan, "Yuk, kita menari!" Senyum mengembang di bibirku. Hatiku berbisik Kak Dadang pasti pulang.

Bandung, 24 April 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun