"Brukk!" Aku sedang tak fokus. Kakiku terantuk batu. Aku terjatuh di perjalanan menuju pasar. Dompetku ikut jatuh juga, kancingnya terbuka. Jelas terdengar gemerincing receh menggelinding ke berbagai penjuru. "Ya Allah...!" Aku berteriak segera berdiri lalu memburu receh yang berhamburan.Â
Berselang 5 detik. Bunyi ledakan terdengar keras dari arah pasar. Jerit tangis dan tolong memenuhi udara. Aku dan Dede terpaksa menepi. Puluhan orang berlari menjauhi pasar menginjak ceceran receh.
Tangisku pecah di pinggir jalan memeluk erat Dede. Menyaksikan harapan terakhir kami terinjak-injak. Ketika kekacauan mulai mereda aku memungut receh yang tersisa. Lima keping Rp 1000 dan sepuluh keping Rp 500 sisa yang kutemukan.Â
Kugenggam erat sisa uang kami sambil menggandeng tangan Dede. Dede terus menangis. Tangannya dingin dan gemetar. Begitu ketakutan dengan kejadian tadi.
Sedang aku sendiri, merasa tak karuan. Derap langkahku melayang. Tak menapak ke bumi. Bayang wajah kang Dadang membayang. Sungguh aku begitu rapuh....
***
Kumandang adzan dhuhur terdengar jelas dari mesjid. Dede di sampingku tak mau jauh-jauh. Sepertinya kejadian tadi masih membuatnya takut.Â
Sayup suara TV mengumumkan update jumlah penderita positif Corona. Mendengarnya, kepalaku makin cenut-cenut. Kuambil segelas air putih meneguknya perlahan untuk menyegarkan pikiran.Â
"Mah, Dede lapar...." Gemintang matanya menyejukkan hatiku namun permintaannya membuatku tercenung.Â
"Sebentar, mamah sholat dhuhur dulu." Aku beranjak ke kamar mandi untuk ambil wudhu. Rukuk dan sujudku begitu syahdu kali ini. Bibirku gemetar di penghujung sholat. Tangan tengadah dengan guyur air mata. Doaku tak muluk-muluk. Ya Rabb, mohon cukupkan makan kami hari ini.Â
"De, sebentar mama ke warung yaa. Dede di rumah aja." Aku berencana membeli mie instan untuk makan siang dan makan malam  dengan uang receh terakhir yang kupunya.