Setelah Check In, kurang lebih sejam kami diminta menunggu di ruang tunggu, saat itu penumpang tujuan Bandara Haluoleo kota Kendari lumayan banyak, di antara para penumpang mungkin saya termasuk salah satu penumpang yang baru pertama berkunjung ke daerah yang cukup dikenal dengan "bumi Anoa" itu.
Seperti biasanya jika berada di ruang tunggu, saya tetap memanfaatkan waktu senggang dengan membaca. Sementara, para penumpang lainnya menyibukan diri dengan gawai mereka, sedangkan yang lainnya asyik ngobrol dengan kerabat mereka,
Di tengah asyik melahap buku, terdengar dari pengeras suara bahwa pesawat tujuan Bandara Haluoleo sudah ada, sehingga kami diminta untuk siap. Dan, tak menunggu lama para pesawat Lion Air dengan flight number JT 986 tujuan Kendari, diminta untuk boarding.
Sesuai boarding, ada kejadian yang mengundang gelak tawa, di mana saya dan beberapa penumpang yang terlebih dahulu boarding bergegas menuju ke pesawat. Namun, rupanya kami tergesa-gesa, sehingga salah pesawat. Sebab, pesawat tujuan bandara Haluoleo memang berdekatan dengan pesawat tujuan bandara Juanda Surabaya.
Sehingga, seteleh menuruni tangga dan hendak menuju ke pesawat, kami diberitahu petugas Gate Officer/Boarding Gate bahwa pesawat yang kami tuju ternyata salah, untuk itu diminta naik kembali ke terminal, dan menaiki pesawat melalui garbarata. Sehingga dengan cekatan kami pun balik dan menuju ke pesawat tujuan bandara Haluoleo.
Jika penerbangan dari Ternate ke Makassar, saya menempati posisi paling tengah. Maka, penerbangan menuju bandara Haluoleo, saya menempati posisi paling belakang dekat ekor pesawat. Karena penumpang tujuan Kendari sangat banyak, sehingga setelah menempati posisi duduk sesuai boarding pass, saya meraih telepon seluler dan mencatat waktu yakni tepat pukul 7.41 wita adalah waktu naik pesawat.
Dan, setelah para penumpang terkonfirmasi Gate Officer/Boarding Gate semuanya telah berada di dalam pesawat. Barulah, pramugari melontar arahan untuk memastikan para penumpang memakai sabuk pengaman. Kata pramugari, tidak lama lagi pesawat Lion Air dengan flight number JT 986 tujuan Kendari akan diterbangkan.
Pramugari mulai melontar arahan, memeragakan cara memakai sabuk pengaman, cara membuka pintu darurat, hingga penggunaan masker saat kondisi darurat dan memakai  pelampung. Dan, saat roda pesawat mulai bergulir melintasi landasan pacu, dan perlahan pesawat beranjak naik -- take off, saya kembali meraih telepon seluler mencatat tepat pukul 8.29 wita yakni waktu take off menuju Kendari.
Perjalanan ke Kendari memang tak membutuhkan waktu lama. Sebab, berdasarkan waktu yang saya catat, yakni take off pukul 8.29 wita, dan landing tepat pukul 9.42 wita. Penerbangan yang tak banyak membutuhkan waktu ini, mengingatkan saya pada penerbangan Ternate-Manado, yang hampir sama persis dengan Makassar-Kendari.
Sambil menikmati bacaan selama penerbangan, sesekali saya melempar pandangan ke luar menikmati indahnya panorama alam di atas ketinggian. Kondisi seperti inilah yang membuat saya saat check in selalu memilih posisi yang berdekatan dengan jendela pesawat. Karena selain hoby memotret, kita dapat bercerita kepada kerabat tentang panorama alam yang kita saksikan sepanjang perjalanan.
Dijemput Panitia Kegiatan
Setelah pesawat landing tepat pukul 9.24 wita, saya dan semua penumpang mulai bergegas menuju ke terminal bandara. Namun, kondisi ini saya manfaatkan dengan memperlambat langkah kaki, dengan tujuan agar saya dapat memotret setiap momen yang saya saksikan.
Selain itu, kondisi ini membuat kita dengan mudah menceritakan perihal apa yang kita saksikan yang tak lain merupakan pengalaman berharga. Terlebih ini merupakan momen pertama kali saya berkunjung ke kota Kendari.
Asyik melempar pandangan ke kiri maupun ke kanan, tiba-tiba telepon seluler berdering. Saya meraih dan melihat ternyata ada panggilan dari nomor baru. Sebelum, menjawab telepon saya sudah pastikan bahwa ini merupakan telepon dari penitia.Â
Sebab, ketika berada di bandara Hasanuddin Makassar, seorang teman bernama Lily yang tak lain sebagai staf humas IAIN Kendari, sudah mengabari saya bahwa nanti ada panitia bakal jemput di Bandara.
Untuk itu, saat menjawab telepon, terdengar suara di balik telepon, suara seorang pria "maaf saya, Abdillah dari IAIN Kendari, saya berada di depan terminal," katanya sambil meminta saya berjalan keluar dan melihat sebuah mobil Inova berwarna Silver yang diparkir tepat sisi kiri terminal.
Dan, begitu kami mengakhiri obrolan telepon, teman bernama Abdillah itu melambaikan tangan ke memanggil saya, rupanya dia tak menunggu di mobil melainkan berada bersama sejumlah warga yang hendak menjempu teman maupun kerabat mereka.
Sambil bersalaman kami bergegas menuju mobil dan menaruh tas ransel saya, dan tak menunggu lama kami kemudian bermobil menuju ke sebuah hotel bintang 4 Â yang ada di kota Kendari. Perjalanan dari Bandara Haluoleo ke hotel memang tidak membutuhkan waktu lama, terlebih dengan kecepatan di atas rata-rata.
Saya hendak mencapai hotel, saya kembali mendapat pesan WhatsApp dari teman bernama Lily, ia menyarankan jika sudah menaruh tas di hotel, kembali lagi ke mobil dan mengikuti sejumlah panitia kegiatan ke pantai Toronipa.
Sebab, hari itu, jumat (24/2/2023) pagi merupakan aktivitas refreshing di pantai Toronipa bersama para wakil rektor dari Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia Timur, yang juga melangsungkan kegiatan pada waktu yang bersamaa di kota Kendari. Sehingga, setelah menaruh tas, saya bersama teman yang bernama Abdillah, dan dua panitia lainnya menuju ke pantai Toronipa di kabupaten Konawe.
Menyantap Ikan Bakar di Pantai Toronipa
Perjalanan ke pantai Toronipa dari kota Kendari memang tak membutuhkan waktu yang begitu lama, walaupun pantai ini letaknya di Kabupaten Konawe. Namun, menempuh perjalanan darat sangat mudah. Saat itu, kami membutuhkan waktu kurang dari satu jam untuk tiba di pantai yang menjadi obyek wisata unggulan di kabupaten Konawe itu.
Sepanjang perjalanan, saya merasa cukup puas menikmati panorama pantai di sepanjang pesisir pantai, terlebih sangat takjub melihat rumah makan yang berjejer rapih di kampung bakau di jalan Z A Sugianto Anduonohu, kata salah seorang teman bernama Hamzah bahwa di tempat ini, sangat ramai dikunjungi pada sore hingga malam hari.
Karena, keberadaan rumah makan terapung di kampung bakau, dengan menawarkan menu makanan yang sangat spesial membuat warga selalu berkunjung dan menikmati makanan dan pemandangan teluk Kendari.
Selain, kampung Bakau saya dibuat takjub dengan pemandangan pantai di dekat kota lama Kendari. Sebab, berada tak jauh dari kota lama, sejumlah kapal ditambatkan di Pelabuhan membuat pikiran saya melayang jauh ke Ternate maupun di pulan Bacan Halmahera Selatan.
Sebab, kapal-kapal yang melayari laut Maluku Utara, memang rata-rata dari kota Kendari, untuk itu saya melihat kapal yang ditambatkan tersebut, saya menoleh ke teman bernama Hamzah sambil berujar "rupanya kapal-kapal ini juga dikirim ke Maluku Utara, sebab rata-rata kapal yang melayari rute Ternate - Bacan-Obi, maupun Ternate - Morotai dan Ternate - Jailolo pemiliknya adalah warga suku Buton dari Sulawesi Kendari."
Setelah menyaksikan panorama pesisir pantai, mobil yang kami tumpangi melaju menuju arah Kabupaten Konawe. Ada yang cukup memanjakan mata adalah jembatan Kuning Bungkutoko, jembatan dengan sepanjang 130 meter itu, kata Hamzah sebagai penghubung kelurahan Talia dan Pulau Bungkutoko kecamatan Abeli, kota Kendari.
"pemadangan pada sore hari yakni saat senja jatuh menghadirkan pemandangan yang cukup memanjakan mata, sehingga pada akhir pekan kebanyak warga memilih datang dan berswafoto di sini (jembatan kuning), kata Hamzah.
Saat melewati jembatan kuning, pemandangan yang cukup menarik yang saya saksikan saat memasuki kabupaten Konawe, tepatnya di kecamatan Soropia. Di sini, mata seakan dimanjakan dengan berjejer rapih pemukiman suku Bajo, yang paling unik dari pemukiman tersebut adalah atapnya semua berwarna biru.
Selain memiliki warna atap yang sama, posisi jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya pun diatur, sehingga terlihat sangat rapih. Kata Hamzah, pemukiman warga Bajo tersebut direnovasi oleh pemerintah. Sehingga, diatur dengan rapih terlebih memiliki warna atap yang sama.
Sambil ngobrol, mobil yang dikemudi Hamzah akhirnya mencapai lokasi pantai Toronipa. Ini merupakan salah destinasi wisata unggulan di kabupaten Konawe, pantai yang memiliki pasir putih tersebut, cukup membuat pengunjung berdecak kagum.
Pasalnya, selain pasir putih yang menjadi ciri khas, keberadaan pohon Cemara dan pohon Kepala di pantai Toronipa menghadirkan pesona yang cukup menakjubkan. Karena berada di pantai ini, terlebih ketika memboyongg keluarga dan menikmati hembusan angin pantai dengan pemandangan laut yang teduh cukup memanjakan mata.
Ketika kami mencapai pantai Toronipa, terlihat sejumlah peserta maupun para wakil rektor sedang asyik ngobrol sambil menikmati sajian-sajian yang telah disediakan panitia. Untuk itu, kami dipersilahkan bergabung dengan peserta lainnya.
Di tengah menikmati hidangan yang disajikan panitia, saya mulai bercekrek ria pada segala sisi pantai, karena ini merupakan kunjungan pertama, sehingga saya tak ingin melewati momen penting tersebut tanpa miliki galeri di ponsel.
Sebab, dalam hati saya sudah bertekad sekembali dari kegiatan di kota Kendari, biar sibuk dengan aktivitas kantor, saya bakal memanfaatkan waktu untuk menulis soal pantai Toronipa. Untuk itu, selain memotret, saya menghapiri sejumlah warga yang berada di tepi pantai, maupun yang baru saja pulang melaut dengan membawa hasil tangkapan mereka.
Pantai Toronipa, memang terlihat cukup istimewa. Hal ini dapat dilihat dari fasilitas yang tersedia yakni gazebo dan tempat mandi. Walaupun cara pengelolaan pantai berbeda dengan pantai-pantai yang berada di daerah lain yang dikenal cukup maju dari sektor pariwisata.
Namun, pantai yang namanya sama persis dengan nama kelurahan itu, menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di kecamatan Soropia kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Pantai Toronipa, seperti dituturkan salah seorang warga yang ditemui, mengatakan pantai yang panjangnya kurang lebih 4 kilometer tersebut memiliki sejarah yang dikaitkan dengan warga suku Bugis, Sulawesi Selatan.
Walaupun tidak dapat menjelaskan secara detail soal sejarah pantai yang menjadi tujuan warga pada akhir pekan tersebut. Namun, katanya nama Toronipa berasal dari bahasa Bugis yakni Toro Nipa, kata Toro Nipa yang memiliki arti Pohon Nipah yang turun.
Setelah menyaksikan panorama pantai Toronipa, saya dan teman lainnya diminta menuju ke Gazebo untuk menikmati makanan siang. Kebetulan tema-nya adalah refresing di pantai. Sehingga, panitia memanjakan kami dengan menu spesial yang merupakan ciri khas masyarakat Sulawesi Tenggara, yakni ikan bakar segar.
Kata salah seorang panitia, ikan bakar segar ini selain dapat dinikmati di pantai Toronipa, pada sejumlah warung makan yang berada di pesisir pantai kota Kendari pun sama, menyajikan menu ikan bakar. Bahkan, lebih lengkap jika harus berkunjung ke rumah makan kampung bakau Kendari.
Walaupun begitu, sejumlah warung makan yang berada di pantai Toronipa pun menawarkan menu makanan khas pantai seperti sate kerang, ikan bakar, goreng, dan ada cukup spesial yakni disajikan dengan kuah.
Menu-menu yang disajikan inilah, yang membuat para pengunung di pantai Toronipa sangat betah berada di pantai hingga sore hari, terlebih keberadaan fasilitas yang ada di pantai membuat mereka merasa nyaman sepanjang menikmati waktu liburan di pantai.
Sekitar tiga jam kami berada di pantai Toronipa, menyaksikan pesona pantai, dengan kondisi laut yang tenang, terlebih hamparan pasir putih yang memanjakan  mata, serta angin pantai yang sepoi. Memberi kesan yang cukup kuat tentang keindahan pantai Toronipa.
Walupun ingin berlama-lama di pantai, namun berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan pihak panitia, akhirnya kami diminta kembali ke hotel untuk melangsungkan kegiatan yang telah terjadwal pihak panitia.
Walaupun tidak berlangsung lama di pantai Toronipa, Kabupaten Konawe, namun berdasarkan amatan-amatan saya di pantai cukup menghadirkan kepuasan tersendiri sebagai orang yang baru pertama kali berkunjung ke kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
Sebab, di kota Kendari, terdapat banyak sekali objek wisata yang dijadikan spot foto landscape. Untuk itu, jika nanti ditugaskan kembali mengikuti kegiatan di kota Kendari, saya akan memboyong kamera, tripod, filter dan fasilitas lainya untuk melangsungkan hunting foto di kota Kendari. Karena, selain memotret sunset, keberadaan jembatan Kuning Bungkutoko sangat representatif untuk memotret sunrise. Maupun berburu foto human interest (HI) di kampung Bajo, semoga ada waktu untuk kembali lagi ke kota Kendari. Semoga!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H