Mohon tunggu...
Hilman Gufron
Hilman Gufron Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Upaya Tiongkok untuk Menjadi Negara Adikuasa, Ikuti atau Jauhi?

24 Agustus 2019   16:54 Diperbarui: 24 Agustus 2019   16:59 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Status sebagai negara Super Power silih berganti dari waktu ke waktu. Namun, sebelum era globalisasi, status ini tidak bisa dimbel-embeli sebagai status tunggal dunia. 

Romawi misalnya, dapat disebut sebagai negara Super Power, hanya saja status itu berlaku di wilayah mediteranian saja, tempatnya berkuasa penuh. Tempat lain di dunia tidak terpengaruh sedikit pun oleh kekuatan politik Romawi.

Semuanya berubah pada era eksplorasi bangsa Eropa. Mulai dari ditemukannya benua Amerika dan timbulnya kolonialisme, sebuah negara dapat memiliki pengaruh terhadap sebuah wilayah yang bahkan jaraknya ribuan mil darinya.

Setelah perseteruan kolonialisme antara Inggris, Perancis, Spanyol dan Portugis, dunia menyaksikan penguasa terbesar lautan, Inggris. Ia menjadi negara super power yang memiliki jajahan paling luas dan pengaruh paling besar di dunia. Ia bahkan mendapat julukan "Negara dimana matahari tidak terbenam" karena wilayahnya yang berada di seantero dunia.

Pasca Perang dingin, Amerika muncul sebagai penguasa tunggal dunia dengan runtuhnya Uni Soviet. Hingga saat ini Ia masih tetap pemilik pengaruh terbesar dalam baik dalam kegiatan politik, sosial, budaya maupun ekonomi dunia.

Namun, kini ada penantang baru. Negara yang dulunya memang berstatus Super Power di wilayahnya, dan sudah berhubungan ekonomi dengan negara-negara lain di dunia sejak dahulu. Tiongkok.

Rencana besar Tingkok Menjadi Negara Adikuasa

Apa persamaan dari jalan raya baru di Pakistan, stasiun kereta baru di Kazakhstan, pelabuhan laut di Sri Lanka yang baru-baru ini dibuka serta jembatan di pedesaan Laos. Semua proyek di atas adalah bagian dari proyek satu negara yang mencakup 3 benua dan menyentuh lebih dari 60% populasi dunia. Tiongkok.

Jika menghubungkan titik-titiknya, tidak sulit untuk melihat negara mana yang dimaksud. China Belt and Road Initiative contohnya, proyek infrastruktur paling ambisius dalam sejarah modern yang dirancang untuk mengalihkan rute perdagangan global. Inilah rencana Tiongkok untuk menjadi negara adikuasa berikutnya di dunia.

Pada tahun 2013 presiden Tiongkok, Xi Jinping memberikan pidato di Kazakhstan di mana ia menjelaskan sejarah Jalur Sutra Kuno: "Jaringan rute perdagangan yang menyebarkan barang, ide, dan budaya di seluruh Eropa, Timur Tengah, dan Tiongkok sejak 200 SM". Dia kemudian berkata: "Kita harus mengambil pendekatan inovatif dan bersama-sama membangun sabuk ekonomi di sepanjang Jalur Sutra ini".

Sebulan kemudian, Xi ada di Indonesia: "Kedua belah pihak harus bekerja sama untuk membangun jalan sutra maritim untuk abad ke-21". Dua frasa ini adalah pertama kali disebutkannya proyek besar Xi, Belt and Road Initiative bernilai jutaan dolar, atau BRI.

Ada dua komponen rencana. Pertama Jalur Darat. Terdapat 6 koridor jalur sabuk ekonomi yang berfungsi sebagai rute baru untuk barang masuk dan keluar dari Tiongkok. Seperti rel kereta api yang menghubungkan Tiongkok ke London, pipa gas dari laut Kaspia ke Tiongkok serta jaringan kereta api berkecepatan tinggi di Asia Tenggara.

Lalu ada jalan sutra maritim, rantai pelabuhan yang membentang dari Laut Tiongkok Selatan ke Afrika yang juga mengarahkan perdagangan ke dan dari China. BRI juga menguasai kilang minyak, taman industri, pembangkit listrik, tambang, dan jaringan serat optik, semuanya dirancang untuk memudahkan dunia untuk berdagang dengan Tiongkok. 

Sejauh ini, lebih dari 60 negara dilaporkan telah menandatangani perjanjian untuk proyek-proyek ini. Dan daftarnya terus bertambah, karena Tiongkok mempromosikannya sebagai win-win untuk semua orang.

Ambil, misalnya, proyek unggulan BRI: Pakistan. Seperti banyak negara di Asia Tengah dan Selatan, Pakistan memiliki ekonomi yang stagnan serta ditambah masalah korupsi. Itu bukan tempat yang cocok untuk investasi asing, setidaknya sampai Tiongkok datang. Sejak 2001, Tiongkok menawarkan untuk membangun pelabuhan baru di kota nelayan kecil Gwadar. Pada tahun 2018, pelabuhan serta jaringan jalan raya dan kereta api Koridor senilai $ 62 miliar menjadi milik BRI.

Di sinilah Economic Belt bertemu dengan Matiritime Silk Road. Proyek tersebut tampaknya menguntungkan kedua negara. Pakistan menyaksikan sendiri pertumbuhan PDB tertinggi dalam 8 tahun dan ditambah bonus menjalin hubungan yang erat dengan salah satu kekuatan utama dunia. Tiongkok, di sisi lain, berhasil mengamankan rute alternatif baru untuk barang, terutama, minyak dan gas dari Timur Tengah.

Melalui proyek-proyek seperti ini, Tiongkok juga menemukan cara untuk meningkatkan ekonominya. Perusahaan-perusahaan konstruksinya yang memiliki lebih sedikit peluang di negara mereka sendiri mendapat dorongan besar dari kontrak BRI. 7 dari 10 perusahaan konstruksi terbesar di dunia sekarang adalah Tiongkok.

Efek Negatifnya bagi Indonesia

Indonesia termasuk dalam 60 negara yang telah menandatangani perjanjian untuk proyek besar Tingkok ini. Sebut saja misalnya proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Indonesia lebih memilih untuk bekerja sama dengan Tiongkok dibanding dengan Jepang. Hal ini bukan tanpa dasar. Tiongkok lebih memberikan keringanan dan nilai investasi yang lebih besar dibanding Jepang.

Sayangnya, yang membuat kesepakatan lebih menguntungkan Tiongkok adalah keharusan agar ia terlibat dalam membangun proyek-proyek ini. Di Pakistan misalnya, pekerja Tiongkok telah secara langsung membangun proyek, seperti jalan raya. Pula sebuah perusahaan Tiongkok telah bekerja dengan penduduk setempat pada proyek kereta api di Serbia. Begitu juga di Indonesia. Setiap proyek pembangunan yang diberi modal oleh Tiongkok, selalu disertai dengan pekerjanya.

Keterlibatan langsung Tiongkok dalam proyek adalah salah satu dari sedikit tuntutannya yang membuat kesepakatan ini menjadi berbeda. Keharusan untuk dilibatkannya pekerja Tiongkok hanya lah tuntutan kecil. Biasanya, untuk mendapatkan investasi dari Negara Barat, negara-negara harus memenuhi standar, ketentuan dan etika yang ketat. Tetapi Tiongkok menawarkan miliaran dolar, sebagian besar dalam bentuk pinjaman, dengan persyaratan yang jauh lebih ringan. Jadi, tidak mengherankan BRI menjadi populer di negara-negara yang kurang demokratis.

Tiongkok telah menandatangani perjanjian dengan pemerintah otoriter, rezim militer, dan beberapa negara paling korup di dunia. Bahkan ia berafiliasi dengan, Afghanistan, Ukraina, Yaman, dan Irak; yang semuanya saat ini sedang terpecah oleh konflik.

Karena kesediaan Tiongkok untuk meminjamkan uang ke negara-negara yang sebenarnya tidak dapat diandalkan, banyak ahli menyebut BRI sebagai rencana berisiko. Pada akhirnya, negara-negara ini harus membayar kembali ke Tiongkok, tetapi korupsi dan konflik membuat pengembalian itu tidak mungkin. Sebuah laporan baru-baru menemukan bahwa banyak negara yang berhutang budi kepada Tiongkok justru adalah negara yang rentan, termasuk 8 negara yang berisiko tinggi tidak mampu membayar.

Jadi mengapa Tiongkok terus memberikan pinjaman?

Karena BRI lebih dari sekadar ekonomi. Orientasinya bukan hanya keuntungan ekonomi semata. Di Sri Lanka, Tiongkok meminjamkan sekitar 1,5 miliar dolar untuk pelabuhan laut dalam yang baru. Pelabuhan itu adalah perhentian utama di Jalur Sutera Maritim. Tetapi pada 2017 Sri Lanka tidak dapat membayar kembali pinjaman, jadi alih-alih, mereka memberi Tiongkok kendali atas pelabuhan sebagai bagian dari kontrak 99 tahun. 

Tiongkok juga mengendalikan pelabuhan strategis di Pakistan, yang memiliki kontrak sewa selama 40 tahun, Ia mendorong perjanjian serupa di Myanmar, dan ia bahkan baru saja membuka pangkalan angkatan laut di Djibouti.

Peristiwa ini aplikasi dari apa yang disebut teori String of Pearls. Teori ini memprediksi bahwa Tiongkok sedang mencoba untuk membangun serangkaian pangkalan angkatan laut di Samudra Hindia yang akan memungkinkannya untuk menempatkan kapal dan menjaga rute pengiriman yang bergerak melalui wilayah tersebut. Jadi, sekalipun Tiongkok tidak mendapatkan kembali uangnya, Tiongkok berhasil mendapatkan beberapa tujuan strategis yang sangat penting.

Indonesia menyikapi Rencana Tiongkok

Dalam menyikapi masalah pinjaman asing, Indonesia sudah memiliki aturan-aturan yang apabila ditaati sebenarnya dapat menjaga kondisi Indonesia dalam keadaan aman. Undang-undang No 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara secara tegas memperbolehkan rasio utang hingga menyentuh 60% dari PDB. 

Utang Indonesia hingga kini, berada pada kisaran 30% dari PDB. Angka ini masih jauh di bawah rasio utang Malaysia (51%), Filipina (41,9%), Thailand (41,8%) serta India (69,6%).

Hanya saja, sebagaimana seorang wirausahawan, pinjaman modal harus dijadikan keuntungan berlipat ganda. Dana pinjaman dari Tiongkok, harus disalurkan kepada proyek-proyek yang dapat menstimulus ekonomi masyarakat. Pinjaman yang digunakan pada proyek-proyek produktif, akan cepat memberikan keuntungan untuk membayarnya kembali.

Proyek seperti Infrastruktur dan Sarana Transportasi termasuk ke dalam investasi produktif tadi. Jalan-jalan baru, Rel kereta Api, hingga pelabuhan dapat menstimulus ekonomi masyarakat, disamping ia ambil bagian juga dalam pemerataan pembangunan. Jangan sampai dana pinjaman yang sudah kita investasikan bernasib sama dengan Pelabuhan di Pakistan dan Sri Langka yang kini dikuasai Tiongkok.

Selanjutnya mengenai keharusan Tiongkok ikut serta dalam proyek pembangunan. Apabila Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing diterapkan secara baik dan benar, maka itu sudah cukup.

Tuntutan Tiongkok dalam keikutsertaan pada proyek dapat kita balas dengan tuntutan juga. Tuntutan itu dapat berupa pembatasan izin tinggal, penggunaan bahasa Indonesia, pengawasan yang lebih ketat, serta larangan bagi pekerja kasar atau buruh kasar. Cukup Tenaga Ahli saja yang dapat digunakan. Posisi-posisi lain dalam proyek bisa kita jadikan sebagai daya serap bagi masyarakat kita sendiri.

Tumbuhnya pengaruh Tiongkok menantang status yang dimiliki Amerika Serikat, yang telah menjadi kekuatan super tunggal dunia selama beberapa dekade terakhir. Pendekatan yang berbeda antara Tiongkok dan AS memberikan hasil yang berbeda. Pendekatan Militeristik dan Intelijen ditambah Isolasi yang sedang tren di AS menunjukan ia berinvestasi lebih sedikit dan karenanya kehilangan pengaruh di seluruh dunia.

Bagi Indonesia sendiri: Ikuti, namun jangan turuti.

Saduran


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun