Karena kesediaan Tiongkok untuk meminjamkan uang ke negara-negara yang sebenarnya tidak dapat diandalkan, banyak ahli menyebut BRI sebagai rencana berisiko. Pada akhirnya, negara-negara ini harus membayar kembali ke Tiongkok, tetapi korupsi dan konflik membuat pengembalian itu tidak mungkin. Sebuah laporan baru-baru menemukan bahwa banyak negara yang berhutang budi kepada Tiongkok justru adalah negara yang rentan, termasuk 8 negara yang berisiko tinggi tidak mampu membayar.
Jadi mengapa Tiongkok terus memberikan pinjaman?
Karena BRI lebih dari sekadar ekonomi. Orientasinya bukan hanya keuntungan ekonomi semata. Di Sri Lanka, Tiongkok meminjamkan sekitar 1,5 miliar dolar untuk pelabuhan laut dalam yang baru. Pelabuhan itu adalah perhentian utama di Jalur Sutera Maritim. Tetapi pada 2017 Sri Lanka tidak dapat membayar kembali pinjaman, jadi alih-alih, mereka memberi Tiongkok kendali atas pelabuhan sebagai bagian dari kontrak 99 tahun.Â
Tiongkok juga mengendalikan pelabuhan strategis di Pakistan, yang memiliki kontrak sewa selama 40 tahun, Ia mendorong perjanjian serupa di Myanmar, dan ia bahkan baru saja membuka pangkalan angkatan laut di Djibouti.
Peristiwa ini aplikasi dari apa yang disebut teori String of Pearls. Teori ini memprediksi bahwa Tiongkok sedang mencoba untuk membangun serangkaian pangkalan angkatan laut di Samudra Hindia yang akan memungkinkannya untuk menempatkan kapal dan menjaga rute pengiriman yang bergerak melalui wilayah tersebut. Jadi, sekalipun Tiongkok tidak mendapatkan kembali uangnya, Tiongkok berhasil mendapatkan beberapa tujuan strategis yang sangat penting.
Indonesia menyikapi Rencana Tiongkok
Dalam menyikapi masalah pinjaman asing, Indonesia sudah memiliki aturan-aturan yang apabila ditaati sebenarnya dapat menjaga kondisi Indonesia dalam keadaan aman. Undang-undang No 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara secara tegas memperbolehkan rasio utang hingga menyentuh 60% dari PDB.Â
Utang Indonesia hingga kini, berada pada kisaran 30% dari PDB. Angka ini masih jauh di bawah rasio utang Malaysia (51%), Filipina (41,9%), Thailand (41,8%) serta India (69,6%).
Hanya saja, sebagaimana seorang wirausahawan, pinjaman modal harus dijadikan keuntungan berlipat ganda. Dana pinjaman dari Tiongkok, harus disalurkan kepada proyek-proyek yang dapat menstimulus ekonomi masyarakat. Pinjaman yang digunakan pada proyek-proyek produktif, akan cepat memberikan keuntungan untuk membayarnya kembali.
Proyek seperti Infrastruktur dan Sarana Transportasi termasuk ke dalam investasi produktif tadi. Jalan-jalan baru, Rel kereta Api, hingga pelabuhan dapat menstimulus ekonomi masyarakat, disamping ia ambil bagian juga dalam pemerataan pembangunan. Jangan sampai dana pinjaman yang sudah kita investasikan bernasib sama dengan Pelabuhan di Pakistan dan Sri Langka yang kini dikuasai Tiongkok.
Selanjutnya mengenai keharusan Tiongkok ikut serta dalam proyek pembangunan. Apabila Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing diterapkan secara baik dan benar, maka itu sudah cukup.