Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Menyelamatkan Koran dari Kiamat

5 Januari 2016   09:58 Diperbarui: 2 Januari 2018   21:10 20609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang tak mau lagi terpaku seperti patung dicekoki informasi yang dipilihkan penyedia konten. Setiap orang ingin suaranya didengarkan, mereka ingin 'menjadi ada'. Maka, minimal mereka akan ikut berkomentar atas sebuah berita. Lebih dari itu, mereka bisa menulis berita mereka sendiri dan membuatnya jadi lebih populer daripada berita content provider sekalipun. Media telah masuk dalam era prosumer dimana pembaca tak lagi hanya ingin duduk pasif.

Web 2.0 tak hanya menjadi mesin demokrasi informasi paling masif.Ia juga adalah bentukkemerdekaan kita terhadap informasi serta kekuatan kerumunan berkolaborasi memenuhi kebutuhaan tersebut.Kontrol dan tenaga berpindah dari pemerintah atau korporasi ke tangan kerumunan. Demokrasi ini dijalankan dalam semangat openess (keterbukaan), peering (kebersamaan), sharing (berbagi) dan acting globally (bertindak global). 

Media digital bukanlah sekedar tren atau entitas baru media. Ia adalah revolusi atas pemenuhan hak-hak dasar manusia dalam informasi. Inilah alasan pertama mengapa media digital membunuh koran: karena ia berhasil menyelesaikan masalah dasar manusia yang sebelumnya tak bisa dipecahkan media tradisional.

Dikatakan Don Tapscott dalam buku international best sellingMacro Wikinomic: Solution For A Connected Planet, 'pembunuhan' atas media tradisional ini terjadi secara sistemik dan mengakar.

Media apakah yang saat ini paling banyak dibaca manusia? Facebook dan Twitter. Keduanya tak punya wartawan.

CARA MEMBACA TAK LAGI SAMA

Masa dimana orang berjalan ke kios dan membeli koran sudah selesai. Berlangganan koran hanya dilakukan oleh Ayah dan kantor kita. Sementara kita sendiri sudah tidak lagi mengetik alamat web berita. Masa-masa berita jadi sesuatu yang dicari sudah usai. Kini, berita yang mencari kita.

"If news is important to me, it will find me".

Darimana anda sehari-hari membaca berita atau membuka tautan? Dari Facebook dan Twitter. Ia tayang di newsfeed dan timeline anda dari kawan-kawan, grup atau fanpage yang anda ikuti. Kemungkinan besar anda membaca tulisan saya di Kompasiana ini berawal dari tautan dari akun media sosial salah seorang kawan. Muncul begitu saja tanpa pernah dicari.

Begitulah adanya berita di era ini. Ia tak hanya harus mendatangi pembaca, tapi juga tak cukup lagi hanya dibaca. Berita harus bisa dibagikan (menjadi viral) dan bisa diinteraksikan (engagement). Semua itu berlangsung dalam jejaring masif serta ekosistem komoditas yang tak berbayar.

Salah kaprah yang amat parah juga terjadi pada media tradisional dalam melakukan diversifikasi atau penganekaragaman produk untuk menjangkau pembaca online. Mereka berpikir dengan mempublikasikan tulisan versi cetak ke versi online lewat website sudah cukup. Tapi kenyataannya pembaca cetak dan pembaca online punya perilaku sangat berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun