Hari-hari yang teramat sibuk di lapangan akan dialami awak Kompasiana seiring dengan meningkatnya popularitas, pengaruh dan jumlah user di 2016. Lomba blogging dan Nangkring akan makin banyak, begitu juga dengan blogtrip. 3 bulan sekali akan 'rutin ribut' soal siapa yang harus ke Istana dan siapa yang akan ikut kunjungan kerja Presiden.
Komunitas interest group akan makin sering mengadakan kegiatan offline, termasuk aksi sosial. Sementara bila focus group sudah terbentuk, pertemuan dengan industri atau klien akan jadi rutin.
Puncaknya, Kompasianival 2016 kelak akan benar-benar berbeda: dari segi ukuran, tempat, pengelolaan, kemeriahan, pembicara, aktivitas dan sebagainya.
MONETISASI
Siapapun yang mengira Kompasiana banyak duitnya (baca: besar labanya) salah besar. Kompas memang banyak uangnya, tapi Kompasiana tidak. Sebagai produk digital, cara monetisasi Kompasiana selama ini hanya 2: iklan online dan event. Sebagai orang yang juga berkecimpung dalam industri media dan digital yang melihat Kompasiana dari luar, saya yakin laba Kompasiana tidak sebesar namanya.
Orang dalam Kompasiana (yang informasinya A-1) pernah menyebut angka pendapatan per bulan Kompasiana dari iklan online. Jumlahnya membuat saya 'hampir meneteskan air mata'. Tapi nilainya tak jauh dari prediksi saya sebelumya. Prediksi itu dibuat atas dasar sangat tidak agresifnya Kompasiana memonetisasi platform mereka dari periklanan online. Saya juga ikut berdosa karena memasang ad-block pada browser sehingga Kompasiana tak mendapatkan penghasilan dari Google Ads. Kompasianer seperti saya ini banyak. Jadi, kualat bila ada yang bilang Kompasiana dapat banyak uang dari iklan online. Betulan, kualat!
Dari segi bentuk perusahaan, saya juga melihat Kompasiana tidak memiliki pengalaman, kemampuan serta organisasi yang ideal dalam monetisasi produk digital. Mereka adalah orang-orang dengan kompetensi mengelola konten yang berada dalam ekosistem perusahaan cetak. Langkah-langkah besar hanya bisa dicapai bukan sekedar lewat peningkatan pengetahuan atau kompetensi, tapi pergeseran atas paradigma industri.
Saat ngobrol berdua bersama Kang Pepih sambil ngopi di Gandaria City saat Kompasianival, saya mengusulkan beberapa cara lain memonetisasi Kompasiana sebagai produk digital. Cara yang saya usulkan itu bukan hanya bisa menaikkan pendapatan iklan bagi Kompasiana, tapi juga memberi keuntungan finansial bagi Kompasianer si pemilik artikel. Meski Kang Pepih sangat tertarik dan katakan akan segera mencari cara mewujudkannya, namun saya tidak terlalu yakin bisa dilaksanakan 2016 karena butuh perubahan besar pada platform.
Pendapatan iklan Kompasiana 2016 otomatis bisa naik bila mereka merilis mobile app sebagai channel baru distribusi iklan. Namun jangan anggap bisa segera surplus karena biaya investasi, pengembangan dan pemeliharaan mobile app bisa lebih besar ketimbang penghasilan atas iklan. Komersialisasi data menjadi model bisnis yang perlu diterapkan seperti yang saya tulis dalam artikel Mata Uang Baru Itu Bernama Data. Tapi lagi-lagi ini perubahan paradigma.
Satu-satunya sumber pendapatan yang membuat Kompasiana bisa bernafas, menurut saya adalah kerjasama event: lomba blogging, nangkring dan blogtrip. Tapi saya yakin jumlahnya tidak besar-besar amat berhubung bisnis content marketing, khususnya lewat blog, belum dapat porsi anggaran yang besar dari industri nasional. Namun di tahun 2016 dengan meningkatnya popularitas Kompasiana, tumbuhnya ekosistem digital serta endorsement dari Istana, 'kue pendapatan' bagi Kompasiana akan makin besar dari kegiatan event.
Tapi tetap saja kualat betul bagi mereka yang beranggapan Kompasiana sudah untung besar dari penghasilan event dan membuat mereka jadi perusahaan tajir. Biaya operasional mereka sangat besar. Mulai sewa gedung, gaji karyawan (saya dengar sekitar 40 orang), pemeliharaan infrastruktur, tagihan, pajak dan sebagainya.
Tapi bagaimana kalau saya salah dan ternyata Kompasiana sudah profit belasan atau puluhan miliar per tahun? Ya bagus, dong. Saya lebih suka kalau saya salah dalam hal ini.