[caption caption="Iklan Kompasiana di KRL yang merupakan salah satu terobosan Kompasiana di 2015. (Sumber Gambar: Josephus Primus)"][/caption]
Tahun 2015 adalah salah satu masa terpenting Kompasiana dengan telah menjangkau milestone besar bagi komunitasnya dan blogger nasional. Dua kali ramai-ramai makan siang dengan Presiden Jokowi tak hanya membuktikan bahwa Kompasiana punya posisi strategis bagi para pengambil keputusan puncak di Indonesia. Tapi juga sebagai endorsement besar bagi industri konten digital nasional. Endorsement ini akan berimbas langsung ke popularitas, pengaruh, jumlah user dan konten, dan nilai bisnis Kompasiana dalam industri. Di 2015 popularitas Kompasiana juga kian moncer di mata industri lain yang kemudian kita lihat dalam bentuk lomba blogging, blogtrip dan Nangkring. Bagaimana kira-kira pengelola Kompasiana dan seluruh komunitasnya akan menghadapi ini?
Berikut ini adalah prediksi saya pribadi tentang apa yang akan terjadi di Kompasiana tahun 2016 yang datang besok.
PLATFORM
Lupakan final platform. Era dimana orang membutuhkan sesuatu yang selalu diperbaharui ketimbang versi revolusioner membuat final platform tak relevan lagi. Platform akan selamanya 'beta' seperti aplikasi ponsel yang update minimal 2 kali per bulan. Begitu juga dengan Kompasiana 2016 dimana kita akan bisa melihat beberapa pembaruan fitur atau diversifikasi platform.
Pertemuan terakhir saya dengan COO Kompasiana Pepih Nugraha di Kompasianival 12 Desember lalu di Jakarta, ia menyebut sedang menggenjot pengembangan mobile application Kompasiana. Bukan barang baru dan Kompasiana lambat mengadopsi teknologi itu untuk menjaring user dalam ekosistem mobile device. But late is better than never. Setelah melakukan lompatan besar pada platform website di tahun 2015, kemungkinan besar Kompasiana versi mobile app akan hadir di 2016.
Namun sebagai bagian dari sebuah korporasi besar, Kompasiana akan dihadapkan dengan pertanyaan atau tantangan ini: dengan cara apa agar investasi pengembangan mobile app Kompasiana menjadi menguntungkan dari aspek bisnis?
Pengelola Kompasiana harus bisa menjawab pertanyaan ini di lingkungan internalnya. Membangun mobile app tidak murah, apalagi mengembangkan, merawat dan memperbaharuinya terus-menerus. Ia harus bisa menjadi produk digital yang menguntungkan dan bisa dimonetisasi (monetize). Mobile app akan menjadi sebuah entitas baru, tak sekedar meningkatkan user experience dan menaikkan skalabilitas (menjaring) user.
Tapi justru di situ masalahnya. Kompasiana yang dari dulu hingga sekarang merupakan produk digital, dibangun oleh perusahaan yang core business-nya bukan produk digital, tapi konten. Begitu pula orang-orang di dalamnya. Saya berani bertaruh, jumlah platform developer di Kompasiana jumlahnya tidak lebih dari 20% (bahkan 10%?) dari total workforce Kompasiana. Itu sebabnya kita melihat fitur-fitur Kompasiana lambat di-update. User experience-nya begitu-begitu saja. Web versi baru ini pun baru hadir di tahun ke-7. Di tahun 2016-pun sebaiknya kita tak perlu berharap banyak soal web platform.
Tanpa perubahan paradigma dan kultur internal Kompasiana, Kompas Digital atau Kompas Group, lompatan terbesar di sisi platform 2016 'sekedar' rilisnya mobile app. Itu pun dalam bentuk yang sederhana. Sekedar 'menggugurkan kewajiban' Kompasiana harus hadir dalam ekosistem mobile app.
Dalam perbincangan dengan Kang Pepih, saya memintanya mengantisipasi betul kehadiran Facebook Instant Articles. Fitur baru yang telah dijajal Kompas.com tersebut meletakkan konten langsung di mesin Facebook sehingga user bisa membuka halaman 10 kali lebih cepat dibandingkan mengakses halaman web. Facebook memang 'tidak mau' user-nya keluar dari ekosistem Facebook. Kemungkinan, di 2016 Kompasiana akan turut menjajal Instant Articles ini dengan menghadirkan tulisan-tulisan headline di sana.
POPULARITAS DAN PENGARUH
Kompasiana akan makin gilang-gemilang di 2016. Dua kali pertemuan para Kompasianer dengan Presiden Jokowi menjadi milestone teramat penting. Terlebih lagi pertemuan rutin dengan Presiden akan diadakan tiap 3 bulan sekali dan 2 Kompasianer akan selalu ikut kunjungan kerja Presiden. Di tahun 2015 Kompasiana telah mendudukkan dirinya pada popularitas tertinggi komunitas konten digital di ring-1 pengambilan keputusan teratas negeri ini. Popularitas itu akan makin kuat di 2016.
Kekuatan itu juga yang akan menaikkan pengaruh Kompasiana di lingkungan Istana. Karakter kerja Jokowi yang terbuka menerima saran, memperhatikan suara netizen serta cepat mengambil keputusan, adalah pintu masuk bagi Kompasiana memperkuat pengaruhnya. Sebagai Ideagoras nomor wahid di Indonesia, Kompasiana tidak akan pernah miskin gagasan. Dengan akses langsung ke Presiden, gagasan-gagasan besar dari Kompasianer bisa langsung disampaikan ke Presiden. Harapannya agar Presiden bisa langsung menindaklanjutinya dalam bentuk keputusan. Hal ini saya tulis dalam artikel berjudul Usai Makan dengan Jokowi, Lalu Apa?.
Popularitas di ring-1 pemerintahan akan turut menaikkan popularitas di luar. Kompasiana atau kegiatannya akan makin sering mendapat porsi pemberitaan di media mainstream. Pertumbuhan jumlah user akan lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Akhirnya, jumlah voice -- termasuk noise -- akan lebih banyak. Di 2016 kita akan makin banyak melihat konten-konten kontroversial di Kompasiana seperti yang sudah-sudah. Seperti kasus Sudirman Said dan Gayus Tambunan di 2015.
Popularitas dan pengaruh ini akan berdampak langsung di lingkungan industri. Akan makin banyak industri yang menggandeng Kompasiana dalam kegiatan key opinion leader, mencari gagasan sampai hard selling. Lomba blogging dan nangkring akan makin banyak di 2016.
PENGELOLAAN KOMUNITAS
Seperti disebut di atas, pertumbuhan jumlah user akan surplus dibanding tahun sebelumnya. Komunitas akan semakin besar dan akan bermunculan komunitas-komunitas internal baru. Namun bukan itu yang penting, tapi bagaimana kelak komunitas ini dikelola dengan cara berbeda di tahun 2016?
Percayalah, Pepih Nugraha dan awaknya telah belajar banyak dari peristiwa bubarnya komunitas Kampret yang keberatan dengan cara main komunitas yang baru. Mereka dapat pelajaran cara mengelola komunitas melalui pendekatan horisontal, bukan hierarki vertikal layaknya industri yang dijalankan secara command control. Saya setuju bila Kompasiana belajar dari cara Kaskus mengelola komunitasnya. Sampai sekarang saya masih melihat Kaskus sebagai role model terbaik dalam mengelola komunitas digital di Indonesia.
Di tahun 2016 kemungkinan kita akan melihat cara-cara baru pengelolaan komunitas dari segi konten. Bila sekarang beberapa rubrik komunitas telah memiliki admin, kelak kurator, editor dan moderator Kompasiana akan dipegang oleh Kompasianer sendiri. Secara bertahap dan melalui mekanisme tertentu. Ini sebenarnya bukan gagasan baru, beberapa awak Kompasiana sepengamatan saya pernah menyampaikan soal ide ini.
Tapi community based content management seperti ini adalah prediksi 2016 yang sangat berani. Karena Kompasiana tidak lahir dari rahim komunitas, tapi dari korporasi besar sebagai ibu kandung. Kompas sebagai korporasi berdiri di atas kultur hierarki vertikal dan command control. Korporasi selalu ingin punya kendali penuh. Kontrol ini yang bisa jadi bola liar bila manajemen konten diserahkan ke komunitas; mereka tak lagi punya kontrol penuh. Kultur dan paradigma kontrol ini kita lihat ketika pengelola Kompasiana terpaksa harus menghapus artikel-artikel kontroversial karena ada 'perintah dari atas'.
Namun seberapapun besarnya resistensi internal Kompasiana dan Kompas akan ide ini, community based content management adalah syarat terpenting berkembangnya komunitas crowd sourcing ke arah yang sehat. Cepat atau lambat akan terjadi. Tapi dibutuhkan pergeseran besar paradigma dan kultur internal.
Prediksi kedua soal pengelolaan komunitas adalah berkembangnya interest group menjadi focus group atau work group yang terlembaga. Selama ini kita hanya kenal komunitas internal Kompasiana yang didirikan berdasarkan minat. Prediksi saya di 2006 akan hadir komunitas yang dibangun secara resmi oleh Kompasiana berdasarkan kompetensi dan untuk dikomersialisasi.
Contoh focus group ini adalah para Kompasianer dengan spesialisasi reportase lapangan akan dikumpulkan dan diberi proyek komersial hasil kerjasama Kompasiana dengan perusahaan rekanan. Begitu pula dengan Kompasianer yang spesialisasi dan reputasi tulisannya di bidang lingkungan hidup, akan menjadi focus group spesifik dengan pola kerja proyek komersial yang sama.
Focus group adalah cara memonetisasi komunitas Ideagoras dengan target output yang spesifik, bukan sekedar menghasilkan voice atau noise secara sporadis lewat hard selling dalam bentuk lomba blogging. Focus group ini adalah hal yang diterapkan Ideagoras di dunia seperti Innocentive yang kliennya mulai dari DuPont sampai White House. Kompasiana memiliki potensi yang sangat besar menjalankan ini seperti yang pernah saya tulis dalam artikel Kompasiana dan Kejeniusan Kolektif Indonesia.
KEGIATAN OFFLINE
Hari-hari yang teramat sibuk di lapangan akan dialami awak Kompasiana seiring dengan meningkatnya popularitas, pengaruh dan jumlah user di 2016. Lomba blogging dan Nangkring akan makin banyak, begitu juga dengan blogtrip. 3 bulan sekali akan 'rutin ribut' soal siapa yang harus ke Istana dan siapa yang akan ikut kunjungan kerja Presiden.
Komunitas interest group akan makin sering mengadakan kegiatan offline, termasuk aksi sosial. Sementara bila focus group sudah terbentuk, pertemuan dengan industri atau klien akan jadi rutin.
Puncaknya, Kompasianival 2016 kelak akan benar-benar berbeda: dari segi ukuran, tempat, pengelolaan, kemeriahan, pembicara, aktivitas dan sebagainya.
MONETISASI
Siapapun yang mengira Kompasiana banyak duitnya (baca: besar labanya) salah besar. Kompas memang banyak uangnya, tapi Kompasiana tidak. Sebagai produk digital, cara monetisasi Kompasiana selama ini hanya 2: iklan online dan event. Sebagai orang yang juga berkecimpung dalam industri media dan digital yang melihat Kompasiana dari luar, saya yakin laba Kompasiana tidak sebesar namanya.
Orang dalam Kompasiana (yang informasinya A-1) pernah menyebut angka pendapatan per bulan Kompasiana dari iklan online. Jumlahnya membuat saya 'hampir meneteskan air mata'. Tapi nilainya tak jauh dari prediksi saya sebelumya. Prediksi itu dibuat atas dasar sangat tidak agresifnya Kompasiana memonetisasi platform mereka dari periklanan online. Saya juga ikut berdosa karena memasang ad-block pada browser sehingga Kompasiana tak mendapatkan penghasilan dari Google Ads. Kompasianer seperti saya ini banyak. Jadi, kualat bila ada yang bilang Kompasiana dapat banyak uang dari iklan online. Betulan, kualat!
Dari segi bentuk perusahaan, saya juga melihat Kompasiana tidak memiliki pengalaman, kemampuan serta organisasi yang ideal dalam monetisasi produk digital. Mereka adalah orang-orang dengan kompetensi mengelola konten yang berada dalam ekosistem perusahaan cetak. Langkah-langkah besar hanya bisa dicapai bukan sekedar lewat peningkatan pengetahuan atau kompetensi, tapi pergeseran atas paradigma industri.
Saat ngobrol berdua bersama Kang Pepih sambil ngopi di Gandaria City saat Kompasianival, saya mengusulkan beberapa cara lain memonetisasi Kompasiana sebagai produk digital. Cara yang saya usulkan itu bukan hanya bisa menaikkan pendapatan iklan bagi Kompasiana, tapi juga memberi keuntungan finansial bagi Kompasianer si pemilik artikel. Meski Kang Pepih sangat tertarik dan katakan akan segera mencari cara mewujudkannya, namun saya tidak terlalu yakin bisa dilaksanakan 2016 karena butuh perubahan besar pada platform.
Pendapatan iklan Kompasiana 2016 otomatis bisa naik bila mereka merilis mobile app sebagai channel baru distribusi iklan. Namun jangan anggap bisa segera surplus karena biaya investasi, pengembangan dan pemeliharaan mobile app bisa lebih besar ketimbang penghasilan atas iklan. Komersialisasi data menjadi model bisnis yang perlu diterapkan seperti yang saya tulis dalam artikel Mata Uang Baru Itu Bernama Data. Tapi lagi-lagi ini perubahan paradigma.
Satu-satunya sumber pendapatan yang membuat Kompasiana bisa bernafas, menurut saya adalah kerjasama event: lomba blogging, nangkring dan blogtrip. Tapi saya yakin jumlahnya tidak besar-besar amat berhubung bisnis content marketing, khususnya lewat blog, belum dapat porsi anggaran yang besar dari industri nasional. Namun di tahun 2016 dengan meningkatnya popularitas Kompasiana, tumbuhnya ekosistem digital serta endorsement dari Istana, 'kue pendapatan' bagi Kompasiana akan makin besar dari kegiatan event.
Tapi tetap saja kualat betul bagi mereka yang beranggapan Kompasiana sudah untung besar dari penghasilan event dan membuat mereka jadi perusahaan tajir. Biaya operasional mereka sangat besar. Mulai sewa gedung, gaji karyawan (saya dengar sekitar 40 orang), pemeliharaan infrastruktur, tagihan, pajak dan sebagainya.
Tapi bagaimana kalau saya salah dan ternyata Kompasiana sudah profit belasan atau puluhan miliar per tahun? Ya bagus, dong. Saya lebih suka kalau saya salah dalam hal ini.
HUBUNGAN DENGAN KOMPAS GROUP
Ketegangan akan makin sering. Bukan berita baru kalau Kompas Group, dalam hal ini manajemen industri cetak, sering berselisih dengan Kompasiana. Utamanya adalah soal gaya konten yang jauh standar Kompas yang jadi golden standart jurnalistik Indonesia. Membuat heboh bukan gaya jurnalistik Kompas. Tapi alangkah seringnya Kompasiana bikin heboh jagad Indonesia. Dari akun anomin pula. Makin pusinglah orang-orang di news room Kompas. Kompas tak bisa tutup mata karena Kompasiana adalah bagian dari mereka, ada nama 'Kompas' di nama 'Kompasiana'. Orang luar hanya tahu bahwa Kompasiana adalah milik Kompas. Sehingga segala komplain dan sentimen pasti ikut ditujukan ke Kompas. Kepusingan ini lalu dilampiaskan ke dalam bentuk permintaan (atau perintah?) kepada Pepih cs menghapus artikel heboh. Padahal, menghapus artikel dianggap 'haram' bagi komunitas kita ini, dan Kang Pepih pun banyak setuju dengan itu.
Dengan naiknya popularitas, pengaruh dan jumlah user Kompasiana 2016, kepusingan dan ketegangan ini akan bertambah. Situasi ini akan terus terjadi selama Kompas Group masih menganggap Kompasiana mesti dikelola secara business as usual, bukannya dengan prinsip pengelolaan crowd sourcing.
MAINAN BARU
"Mas Hilman, saya perlu mainan baru, nih! Tidak bisa begini-begini terus," kata Kang Pepih kepada saya yang ditraktirnya kopi siang itu.
Gagasan soal produk baru, khususnya digital, yang bisa dihadirkan Kompas Digital -- ibu kandung Kompasiana -- tentu sangat banyak. Tapi belum tentu cocok dengan industri Kompas. Bila pun cocok, misal masih dalam industri konten, model bisnisnya juga belum tentu disetujui para pengambil keputusan. Susahnya berada dalam korporasi besar itu adalah terbatasnya kemampuan manuver dan banyaknya orang yang harus dimintai persetujuannya. Meski uang bukan masalah, tapi birokrasi dan standar complience-nya rumit dan berlapis-lapis.
Saya menyampaikan beberapa gagasan soal 'mainan baru' yang masih dalam lingkup industri konten dan terhubung langsung dengan komunitas Kompasiana. Kang Pepih antusias. Namun perwujudannya di 2016 lebih seperti berharap mukjizat ketimbang prediksi. Kecuali bila.........
***
2016 akan jadi tahun yang sangat sibuk bagi Kompasiana: para awak maupun anggota komunitas seperti kita. Ini adalah tahun dimana Kompasiana memanen popularitas, pengaruh serta sumber pendapatan. Terlebih, dengan popularitas dan akses langsung ke Presiden, Kompasiana kali ini bisa berbuat lebih nyata bagi masyarakat luas. Semuanya akan makin memperkokoh posisi Kompasiana sebagai Ideagoras nomor satu di Indonesia, bahkan role model dalam industri blog crowd sourcing nasional.
Bila pun ini dinilai terlalu lancang sebagai prediksi Kompasiana 2016, bolehlah kiranya dianggap sebagai harapan. Yang pasti, terima kasih banyak kepada seluruh awak Kompasiana yang telah berhasil menghadirkan serta merawat platform crowdsourcing dan Ideagoras yang hebat sepanjang 2015.Â
Sampai jumpa lagi tahun depan! (***)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI