[caption caption="Kilang minyak BPM di Balikpapan tahun 1940-an. (sumber: Twitter @Bppn_Doeloe)"][/caption]
Apakah yang kita pikirkan tentang PKI? Pembunuh para jenderal dan mencoba merebut kekuasaan? Mereka yang membantai umat muslim dan melakukan beberapa rangkaian pemberontakan? Musuh dan penyakit masyarakat serta pembawa bahaya laten?
Semua benar. Sehingga ketika Presiden Jokowi berencana meminta maaf kepada keluarga PKI, itu terasa janggal atau menyakitkan. Meski rencana meminta maaf itu juga ditujukan kepada keluarga mereka yang dituduh sebagai PKI di masa lalu, tak mengurangi kadar kejanggalannya. Karena ada batas yang sangat samar antara mereka yang terbukti dan yang dituduh, apalagi menyangkut PKI yang kita anggap musuh bersama.
Tapi, apapun yang anda pikirkan tentang PKI, jangan lupakan kisah kakek saya ini.
KAPTEN DI ANTARA SERIKAT BURUH
Kakek saya adalah satu dari 15 kapten kapal di seluruh Indonesia yang bekerja untuk Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), perusahaan minyak Belanda yang memiliki konsesi di Balikpapan, Kaltim. Ismail namanya. Saya memanggilnya kai', sebutan kakek dalam Bahasa Banjar. Mengawali kariernya sebagai kelasi tahun 1940-an, ia naik pangkat jadi kapten alias nakhoda kapal barang dan minyak tahun 1950-an. Jabatan yang sangat elit ketika itu.
Sudah jadi kewajiban bagi setiap perusahaan di Eropa untuk membentuk serikat buruh. Akhir tahun 1940-an BPM membentuk serikat buruh pertamanya di Balikpapan bernama Serikat Kaum Buruh Minyak (SKBM). Campur tangan petinggi BPM dalam mengendalikan SKBM sangat tinggi ketika itu. Salah satunya adalah mendorong atau mempromosikan pribumi yang kooperatif terhadap mereka duduk di posisi pengurus SKBM. Etnis juga jadi pertimbangan penting. Kakek hanya jadi anggota biasa. Ia bukan aktivis, hanya seorang pelaut yang hidup bersama angin dan ombak.
Lama-lama SKBM makin elitis dan jadi perpanjangan tangan BPM saja, bukannya memperjuangkan hak-hak buruh. Petinggi SKBM sudah terlanjur nyaman dengan fasilitas dan jabatan tinggi hadiah dari BPM. SKBM dianggap sebatas kumpulan pekerja aristokrat dengan gaya hidup hedonis dan mementingkan etnis tertentu. Ketidakpuasan ini yang menyebabkan banyak buruh BPM mendirikan SKBM 'tandingan' bernama Perserikatan Buruh Minyak (Perbum) di akhir 1950-an. Kakek pindah keanggotaan dari SKBM ke Perbum seperti ribuan karyawan BPM lainnya. Ketika itu baik SKBM dan Perbum tidak berafiliasi dengan partai manapun. Di Perbum kakek juga anggota biasa.
Situasi berubah ketika PKI menggelar kongres Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) di Jakarta awal 1960-an. PKI makin menggencarkan misinya menguasai tani dan buruh. Misi ini sampai ke Balikpapan dimana petinggi Perbum dirayu PKI untuk berafiliasi dengan mereka sebagai sayap parpol. PKI juga menggunakan retorika anti-imperialis untuk memanaskan sentimen Perbum kepada SKBM. Mereka yang masih bergabung dengan SKBM dicap sebagai antek impreialis Belanda.
Tak tunggu lama sampai akhirnya Perbum benar-benar berafiliasi dengan PKI dan gerakannya jadi politis ketimbang memperjuangkan hak buruh seperti hak cuti, jam kerja, kenaikan upah dan tunjangan bahan pokok. Makin diperparah lagi ketika kepengurusan Perbum dikuasai etnis tertentu dan hanya memprioritaskan nasib sesama etnis mereka. Anggota Perbum jadi resah, termasuk kakek.
Di awal 1960-an Partai Nasional Indonesia (PNI) ikut mendirikan serikat buruh di Balikpapan bernama Kaum Buruh Marhaen (KBM). Berdiri juga Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) dan Serikat Buruh Minyak dan Tambang (SERBUMIT). Ayah saya, atau menantu kakek, adalah pengurus KBM dan juga karyawan di BPM. Sebelum 1965, jumlah anggota KBM menjadi nomor dua yang terbesar di Balikpapan setelah Perbum. Nama besar Soekarno di PNI sangat berpengaruh terhadap perkembangan KBM ini. Tapi Perbum memanaskan situasi dengan menyebut KBM sebagai antek kapitalis Amerika, lawan dari negara komunis.
BPM tidak mempermasalahkan karyawannya bergabung dengan serikat manapun. Setiap serikat mewajibkan anggota untuk membayar iuran bulanan serikat yang langsung dipotong lewat gaji bulanan. Potongan iuran ini tercatat rapi di setiap slip gaji karyawan BPM.
Bagi pekerja di masa itu, bergabung ke serikat buruh sangat besar artinya bagi karier dan ekonomi. Mereka yang bisa naik pangkat diprioritaskan dari anggota serikat karena dianggap paham cara berorganisasi. Serikat juga akan membela dan mengadvokasi anggotanya bila bersengketa dengan perusahaan. Serikat jadi tempat berlindung. Kala itu BPM sangat cemas bila datang surat protes dari serikat kerja. Masing-masing serikat juga punya koperasi dimana anggota bisa membeli barang kebutuhan sehari-hari secara mencicil. Banyak pula kegiatan ekstra yang dibentuk serikat. Ayah saya adalah anggota marching band KBM yang amat tenar di masa itu. Gagah betul bila sedang pawai. Tak sedikit pekerja yang bergabung ke KBM karena ingin jadi anggota marching band.
TRAGEDI DOKUMEN PERBUM
Lahirnya serikat-serikat buruh baru dan keresahan anggota Perbum membuat mereka hengkang. Tahun 1964 kakek menyatakan keluar dari Perbum dan bergabung ke KBM sebagai anggota. Ia langsung diterima KBM, tapi Perbum belum menyatakan secara tertulis keluarnya kakek dari Perbum. Padahal surat tersebut sangat dibutuhkan untuk administrasi iuran bulanan yang dipotong dari gaji. Sehingga secara administrasi keuangan di BPM kakek tercatat sebagai anggota KBM dan Perbum. Jadi bayar iurannya dobel. Kakek sudah berulangkali minta surat keluar dari Perbum, tapi selalu dihambat. Perbum menolak mengeluarkan surat itu karena mengharapkan adanya pemasukan dari iuran bulanan anggota. Hal ini juga terjadi pada ribuan anggota Perbum yang hengkang ke serikat lain. Kakek jengah sendiri dan membiarkan begitu saja. Apalagi kakek sering berada di luar daerah untuk berlayar.
Sampai akhirnya pemberontakan PKI pecah di Jakarta, 30 September 1965.
Sebenarnya tidak ada gejolak besar di Balikpapan sebagai susulan G30S di Pulau Jawa. Hanya ada sebuah kebakaran pada 15 Oktober dimana PKI dituduh sebagai dalangnya. Tak lama, Komando Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) mendarat di Balikpapan untuk melakukan sapu bersih, seperti yang mereka lakukan di seluruh Indonesia.
Semua pengurus dan anggota aktif PKI di Balikpapan langsung ditangkap dan dipenjara. Begitu pula dengan semua pengurus Perbum, langsung masuk sel tanpa sidang. Tak cuma sampai di situ, semua anggota Perbum juga dibersihkan. Kopkamtib melakukan penelusuran dokumen lewat slip gaji karyawan BPM. Bila ditemukan ada iuran bulanan Perbum, maka dia anggota Perbum. Bila ia Perbum, artinya ia PKI. Tak peduli bila ada iuran ganda seperti kakek saya. Penelusuran dokumen makin mudah di tahun 1966 ketika BPM menyerahkan semua asetnya kepada Perusahaan Minyak Negara (PERMINA) milik RI.
Pada masa itu Kopkamtib menemukan ribuan karyawan BPM yang di slip gajinya terdapat iuran Perbum, ganda maupun tidak. Semua disikat. Kopkamtib membaginya para karyawan PERMINA (eks BPM) ini menjadi 3 kategori: A, B dan C1 dan C2.
Kategori A adalah karyawan yang menjadi anggota atau pengurus PKI. Kategori B adalah karyawan yang menjadi pengurus dan anggota aktif Perbum. Sementara kategori C adalah karyawan yang namanya tercatat sebagai pembayar iuran Perbum di slip gajinya, karenanya dianggap anggota Perbum meski tidak aktif. Karyawan kategori A dan B langsung ditangkap dan dipenjarakan tanpa sidang.
C1 adalah karyawan tingkat rendah dan menengah. Mereka boleh tetap bekerja, tapi tidak akan naik golongan, pangkat dan jabatan. Mereka akan diberhentikan selambatnya tahun 1982 tanpa pesangon tapi dapat tunjangan pensiun bulanan. Sedangkan C2 adalah karyawan berpangkat tinggi. Mereka tetap akan dipekerjakan sampai 1972 tapi tak akan naik pangkat. Setelahnya diberhentikan tanpa pesangon tapi dapat tunjangan pensiun bulanan. Kakek masuk golongan C2 dan di KTP-nya diberi kode 30965 seperti semua orang yang dicap PKI oleh rezim Soeharto saat itu.
DIPAKSA MENGAKU ATAU DITANGKAP
Kakek bukan yang paling naas. Ratusan pekerja BPM yang tidak ikut serikat apapun ikut jadi korban karena membeli barang di toko-toko milik Perbum secara mencicil. Kebanyakan sembako. Data catatan cicilan barang itu digunakan Kopkamtib untuk mengklasifikasi para pembeli sebagai anggota Perbum. Bayangkan, seseorang dianggap PKI karena membeli sembako di toko milik sayap PKI!
Mati-matian kakek membantah bahwa ia masih anggota Perbum. Tapi Kopkamtib tak peduli karena tak ada surat pernyataan keluar dari Perbum. Ayah saya yang juga suami dari putri keduanya, setengah mati coba meyakinkan Kopkamtib bahwa kakek sejak 1964 tercatat sebagai anggota KBM dimana ayah saya jadi pengurus. Tapi Kopkamtib tak peduli dan mengancam akan memenjarakan kakek dan ayah bila mereka masih bersikeras.
Sambil menangis dan di bawah tekanan kakek harus menandatangani Surat Bebas Hukuman di depan Kopkamtib. Surat ini menyatakan bahwa ia adalah anggota PKI dan menerima pembebasan hukuman dari pemerintah. Bila ia menolak tandatangan akan langsung dipenjara. Ribuan karyawan BPM kategori C1 dan C2 harus menandatangani surat yang sama. Ribuan orang dipaksa mengaku sebagai PKI.
DOSA KETURUNAN KELUARGA C
Yang otomatis menyertai karyawan C adalah pencabutan hak, diskriminasi dan melekatnya stigma negatif di masyarakat sebagai orang PKI.
Kehilangan kesempatan berkarier dan dipensiunkan lebih cepat tanpa pesangon hanya salah satu penderitaan dari karyawan C. Anak mereka tak boleh jadi PNS, ABRI, dan yang kuliah di universitas negeri diberhentikan. Dari delapan anak yang kakek miliki, hanya si bungsu yang bisa kuliah di awal 1990-an. Masih ditambah dengan stigma negatif dari masyarakat sekitar yang menganggap para C adalah musuh negara.
Cukup sampai situ? Tidak. Menantu dan cucu pun jadi korban.
Tahun 1978 rezim Soeharto menjalankan program Bersih Lingkungan. Yang dibersihkan adalah 'pohon kekerabatan' orang yang telah dinyatakan sebagai PKI: anak, menantu, cucu, keponakan, paman, bibi, adik, kakak. Semua kena. Mereka tak boleh jadi PNS, ABRI, tak boleh diterima universitas negeri, bahkan tak boleh naik haji. Bagi yang sudah jadi pegawai pemerintah atau PNS, tak boleh ada kenaikan pangkat. Anak dan cucu mereka yang kuliah di universitas negeri mesti rela dikeluarkan.
Ayah saya adalah pegawai Pertamina (metamorfosis PERMINA DAN BPM), begitu juga seorang paman saya. Paman yang lain seorang PNS. Karier mereka terhenti sejak 1978. Ayah dan dua paman ini statusnya menantu. Keluarga pernah frustasi berat gara-gara Bersih Lingkungan ini. Bersih Lingkungan baru dihentikan Soeharto 1988 karena desakan PBB. Karenanya saya dan seorang kakak bisa mengenyam pendidikan di UGM tahun 1992 dan 1998.
Di sisa hidupnya, kakek begitu membenci PKI, BPM/Pertamina dan rezim Soeharto. Ia ditawari banyak perusahaan sebagai kapten kapal setelah diberhentikan tahun 1972, termasuk perusahaan migas asing. Tapi ia menolak karena traumanya atas tragedi yang ia alami. Kakek juga tak mau keruntuhan karier terjadi lagi di perusahaan baru karena ia seorang C2, tak ada yang bisa menjamin ketenangan hidup seorang C ketika itu. Sebegitu bencinya kakek sampai tidak mau menggunakan fasilitas berobat yang disediakan untuk pensiunan Pertamina yang sebenarnya gratis ia gunakan. Ia lebih memilih berobat di rumah sakit umum dan membayar. Baru tahun 1992 kakek diizinkan pemerintah naik haji. Beberapa minggu sebelum keberangkatan haji, beliau wafat.
Kakek meninggal ketika saya berusia 12 tahun, belum paham apapun saat itu. Tak pernah mendengar kisah tragedi ini secara langsung dari mulutnya. Tapi waktu kecil saya pernah bertanya kepada ibu, anak kedua kakek: "Kenapa kai' tinggal di rumah sangat sederhana hanya berdagang sembako kecil-kecilan padahal kai' dulu kapten kapal?"
Ibu tak menjawab apapun. Tak mungkin ibu menceritakan kepada seorang bocah soal orangtuanya yang dituduh sebagai PKI. Kisah ini saya dapatkan ketika sudah dewasa dari ayah dan ibu yang saat ini berusia 76 dan 68 tahun. Secara administratif di catatan negara, saya adalah cucu seorang PKI. Tak peduli status itu didapat dengan atau tanpa tekanan. Mungkin itu akan membuat orang merasa berhak untuk mencacimaki saya seperti yang mereka lakukan terhadap keturunan PKI atau yang dituduh sebagai PKI. Itu sebabnya ribuan atau jutaan orang seperti saya di Indonesia memilih diam karena cemas atas perlakuan diskriminatif dan stigma negatif yang mesti ditanggung sebagai dosa keturunan.
SELAMANYA DINYATAKAN PKI
Kakek saya bukan PKI. Tapi tak ada satu orangpun yang pernah minta maaf dan membersihkan nama baiknya di masyarakat sampai ia masuk liang lahat. Tak pernah ada yang minta maaf kepada ayah saya atas 10 tahun terhentinya karier karena ia menikahi putri seorang yang dipaksa mengaku sebagai PKI. Tak ada yang minta maaf kepada ibu, bibi dan paman saya atas gagalnya rencana pendidikan tingginya karena mereka anak seorang C2.
Apakah kakek masih membawa kemarahan itu sampai ia wafat? Saya tidak tahu. Tapi sebagai cucu, saya merasakan kegeraman itu. Pastilah kegeraman ini sangat kecil dibandingkan yang dialami kakek, nenek, ibu, bibi dan paman, terutama di masa-masa sulit.
Saya yakin ada jutaan orang lain di Indonesia yang bernasib seperti kakek. Di Balikpapan, ada ribuan karyawan C dan puluhan ribu anak-keturunan serta kerabatnya. Saya tak punya hak mewiliki suara mereka. Tapi saya yakin penderitaan mereka tidak lebih kecil dibanding kakek dan keluarga besarnya. Seseorang mestinya memang minta maaf karena tragedi yang sangat menyakitkan ini.
Apakah permintaan maaf akan membuat arwah kakek saya tenang di alam baka? Saya tidak tahu.
Bisa mengubah realita masa lalu akan stigma negatif masyarakat terhadap kakek yang seorang C? Tidak.
Apakah akan membuat 10 tahun karier ayah saya yang terhenti jadi dikembalikan? Tidak.
Apa bisa membuat ibu saya sekolah lagi? Tidak.
Bisa membuat kakek menerima pesangonnya dan naik haji? Tidak.
Tapi bangsa yang besar adalah mereka yang bersedia mengakui kesalahan-kesalahannya di masa lampau. Selamanya orang seperti kami tetap tercatat sebagai keluarga atau keturunan PKI sampai negara menyatakan sebaliknya.
Saya bukan ahli sejarah, apalagi ahli politik. Saya hanya seseorang cucu dan anak yang menuliskan kembali tragedi yang terjadi di keluarga besarnya dari apa yang ia lihat, dengar dan rasakan. Kakek saya selamanya akan tetap tercatat sebagai PKI oleh negara, begitu pula seluruh anak-keturunannya -- anak-cucu PKI. Selamanya saya akan menjadi cucu seorang yang dinyatakan sebagai C atau PKI. Begitu pula anak saya -- cicit seorang PKI. Apakah itu berarti sesuatu bagi anda?
Saya sadar tulisan ini bukan kategori kisah yang umum disampaikan secara terbuka. Ini adalah kisah yang diceritakan secara bisik-bisik di ribuan keluarga Indonesia, atau dikubur dalam-dalam selama puluhan tahun. Namun ada saatnya ketika seseorang harus mengungkapkan kebenaran soal leluhurnya. Tidak lagi di ruang makan atau sudut-sudut kecil dalam rumah. Tapi di tempat terbuka dalam sebuah negara yang telah 70 tahun merdeka -- negara yang memberi ruang untuk pencarian dan pengungkapan kebenaran.
PKI bukan hanya Muso, Aidit, Letkol Untung atau mereka yang membantai ratusan ribu orang. Orang-orang yang menurut saya tak layak mendapatkan maaf. Tapi, apapun yang anda pikirkan tentang PKI, jangan lupakan kisah kakek saya ini.(*)
*Untuk kai' Ismail yang perut besarnya jadi tempat para cucu biasa terlelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H