Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kakekku Bukan PKI dan Negara Harus Minta Maaf

10 Agustus 2015   10:18 Diperbarui: 10 Agustus 2015   10:18 7024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang otomatis menyertai karyawan C adalah pencabutan hak, diskriminasi dan melekatnya stigma negatif di masyarakat sebagai orang PKI.

Kehilangan kesempatan berkarier dan dipensiunkan lebih cepat tanpa pesangon hanya salah satu penderitaan dari karyawan C. Anak mereka tak boleh jadi PNS, ABRI, dan yang kuliah di universitas negeri diberhentikan. Dari delapan anak yang kakek miliki, hanya si bungsu yang bisa kuliah di awal 1990-an. Masih ditambah dengan stigma negatif dari masyarakat sekitar yang menganggap para C adalah musuh negara.

Cukup sampai situ? Tidak. Menantu dan cucu pun jadi korban.

Tahun 1978 rezim Soeharto menjalankan program Bersih Lingkungan. Yang dibersihkan adalah 'pohon kekerabatan' orang yang telah dinyatakan sebagai PKI: anak, menantu, cucu, keponakan, paman, bibi, adik, kakak. Semua kena. Mereka tak boleh jadi PNS, ABRI, tak boleh diterima universitas negeri, bahkan tak boleh naik haji. Bagi yang sudah jadi pegawai pemerintah atau PNS, tak boleh ada kenaikan pangkat. Anak dan cucu mereka yang kuliah di universitas negeri mesti rela dikeluarkan.

Ayah saya adalah pegawai Pertamina (metamorfosis PERMINA DAN BPM), begitu juga seorang paman saya. Paman yang lain seorang PNS. Karier mereka terhenti sejak 1978. Ayah dan dua paman ini statusnya menantu. Keluarga pernah frustasi berat gara-gara Bersih Lingkungan ini. Bersih Lingkungan baru dihentikan Soeharto 1988 karena desakan PBB. Karenanya saya dan seorang kakak bisa mengenyam pendidikan di UGM tahun 1992 dan 1998.

Di sisa hidupnya, kakek begitu membenci PKI, BPM/Pertamina dan rezim Soeharto. Ia ditawari banyak perusahaan sebagai kapten kapal setelah diberhentikan tahun 1972, termasuk perusahaan migas asing. Tapi ia menolak karena traumanya atas tragedi yang ia alami. Kakek juga tak mau keruntuhan karier terjadi lagi di perusahaan baru karena ia seorang C2, tak ada yang bisa menjamin ketenangan hidup seorang C ketika itu. Sebegitu bencinya kakek sampai tidak mau menggunakan fasilitas berobat yang disediakan untuk pensiunan Pertamina yang sebenarnya gratis ia gunakan. Ia lebih memilih berobat di rumah sakit umum dan membayar. Baru tahun 1992 kakek diizinkan pemerintah naik haji. Beberapa minggu sebelum keberangkatan haji, beliau wafat.

Kakek meninggal ketika saya berusia 12 tahun, belum paham apapun saat itu. Tak pernah mendengar kisah tragedi ini secara langsung dari mulutnya. Tapi waktu kecil saya pernah bertanya kepada ibu, anak kedua kakek: "Kenapa kai' tinggal di rumah sangat sederhana hanya berdagang sembako kecil-kecilan padahal kai' dulu kapten kapal?"

Ibu tak menjawab apapun. Tak mungkin ibu menceritakan kepada seorang bocah soal orangtuanya yang dituduh sebagai PKI. Kisah ini saya dapatkan ketika sudah dewasa dari ayah dan ibu yang saat ini berusia 76 dan 68 tahun. Secara administratif di catatan negara, saya adalah cucu seorang PKI. Tak peduli status itu didapat dengan atau tanpa tekanan. Mungkin itu akan membuat orang merasa berhak untuk mencacimaki saya seperti yang mereka lakukan terhadap keturunan PKI atau yang dituduh sebagai PKI. Itu sebabnya ribuan atau jutaan orang seperti saya di Indonesia memilih diam karena cemas atas perlakuan diskriminatif dan stigma negatif yang mesti ditanggung sebagai dosa keturunan.

SELAMANYA DINYATAKAN PKI

Kakek saya bukan PKI. Tapi tak ada satu orangpun yang pernah minta maaf dan membersihkan nama baiknya di masyarakat sampai ia masuk liang lahat. Tak pernah ada yang minta maaf kepada ayah saya atas 10 tahun terhentinya karier karena ia menikahi putri seorang yang dipaksa mengaku sebagai PKI. Tak ada yang minta maaf kepada ibu, bibi dan paman saya atas gagalnya rencana pendidikan tingginya karena mereka anak seorang C2.

Apakah kakek masih membawa kemarahan itu sampai ia wafat? Saya tidak tahu. Tapi sebagai cucu, saya merasakan kegeraman itu. Pastilah kegeraman ini sangat kecil dibandingkan yang dialami kakek, nenek, ibu, bibi dan paman, terutama di masa-masa sulit.

Saya yakin ada jutaan orang lain di Indonesia yang bernasib seperti kakek. Di Balikpapan, ada ribuan karyawan C dan puluhan ribu anak-keturunan serta kerabatnya. Saya tak punya hak mewiliki suara mereka. Tapi saya yakin penderitaan mereka tidak lebih kecil dibanding kakek dan keluarga besarnya. Seseorang mestinya memang minta maaf karena tragedi yang sangat menyakitkan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun