Namun segala kemudahan yang ditawarkan internet memang mengubah perilaku manusia dalam menggunakan ingatannya. Buat apa diingat kalau bisa di-bookmark atau diunduh untuk dibaca lagi kemudian? Buat apa diingat kalau bisa dicari lagi di Google kapan saja? Mengingat jadi tak relevan lagi ketika informasi itu bisa akses kapan saja lewat sentuhan jari.
Kunjungan kita beberapa detik ke sebuah situs informasi dan memindai konten bukan waktu yang cukup untuk mendapatkan pengetahuan yang dalam. Bisakah kita mempelajari sesuatu dari Wikipedia? Tentu saja bisa. Bisakah kita menguasai sebuah subjek hanya lewat informasi di internet? Tidak. Terlebih, banjir informasi di internet dengan perspektif yang berbeda-beda akan membuat kita bagai minum air asin: makin diminum makin haus. Kata Gehl dan Douglas, alih-alih bisa membuat kita paham, justru bikin bingung, salah kaprah dan keblinger. Bukan sekali-dua kali kita menemukan orang yang (tampaknya) jadi lebih bodoh karena internet.
"Internet is devolving us into mindlessness," tulis Gehl dan Douglas.
Tentu saja internet memberikan sangat banyak manfaat dan kebaikan. Tapi tulisan ini tak membahas itu, melainkan sisi gelapnya. Internet menyamaratakan kita. Ia adalah mesin demokrasi paling nyata yang memberikan kita hak dan kesempatan yang sama. Namun, psikologi transfer informasi 140 karakter ala Twitter justru bisa merusak kualitas demokrasi. Hal ini akan mempermudah pembawa pesan -- pemimpin politik, figur, brand -- menciptakan retorika dan slogan.
Sebagai The Great Equalizer, internet memberikan kita hak dan kesempatan yang sama. Termasuk kesempatan sama-sama bodoh.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H