Kalau dihubungkan ke Indonesia, bisa lebih prihatin lagi. Laporan UNESCO tahun 2012 menyebutindeks minat baca di Indonesia baru 0,001 atau peringkat ketiga terbawah di dunia. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Sementara di negara maju indeks minat membaca sampai 0,62, atau 62 dari 100 orang suka membaca.
KEBANGKITAN ERA HOAX
Apakah Neil Armstrong benar-benar mendarat di bulan? Apakah 9/11 murni aksi terorisme? Apakah pembalut berklorin itu berbahaya? Apakah ayah Jokowi seorang komunis? Jawaban ya atau tidak semua terserah anda. Informasi yang mendukung pro dan kontra jawaban pertanyaan di atas tersebar luas dan bebas di internet. Kita tinggal comot dan gunakan yang mau kita percayai atau pakai untuk kepentingan kita.
Internet sebagai The Great Equalizer memang membuat setiap orang bisa memproduksi dan mendapatkan informasi. Tapi juga sekaligus membuat kita kesulitan memisahkan yang benar dan yang bohong, yang fakta dan yang opini. Seperti yang saya tulis di Distorsi Kebenaran di Era Internet of Things, tak ada lagi salah-benar di internet. Yang ada adalah yang populer dan yang tidak.
Berita dan foto hoax atau bohong juga setiap hari seliweran di internet. Mulai dari foto jenazah, foto pengungsi sampai foto awan yang mirip ini-itu. Setiap informasi hoax pasti diimbangi dengan klarifikasinya, atau biasa disebut debunk. Tapi klarifikasi ini tidak jarang dibalas lagi dengan informasi hoax tambahan. Jadi, kalau urusannya berbalas informasi dan klarifikasi, internet adalah ladang pertempuran yang tak habis-habis.
Kata Aboujaoude, pengguna internet jauh lebih mudah terkesan dibanding curiga atau skeptis. Itu sebabnya hoax bisa sangat populer dan dipercaya. Pengguna internet cenderung kehilangan tantangan untuk menguji akurasi ketimbang bila informasi itu mereka terima di dunia nyata. Ditambah lagi dengan yang disebut Jakob Nielsen di atas bahwa pembaca online ingin jadi 'pengemudi'.Â
Mereka memutuskan sendiri mana yang mau mereka baca dan percaya. Soal kepercayaan ini tentu berhubungan dengan keyakinan, sentimen kelompok, ekonomi dan pilihan politik. Yang terjadi sebenarnya bukan cara kita menemukan kebenaran, melainkan pertempuran opini untuk kepentingan kelompok atau pribadi.
"Kalau anda menginginkan informasi yang sejati di internet, berarti anda punya masalah," tulis Ghel dan Douglas.
ANCAMAN E-LEARNING
"Anak-anak, perhatikan!"
Teriakan model begini sangat akrab di telinga kita saat masih sekolah dulu. Guru di sekolah mengajarkan kita untuk fokus dan memperhatikan penyampaian pelajaran. Tapi tantangan guru saat ini jauh lebih kompleks. Dari penelitian psikolog Inggris Susan Blackmore, murid saat ini lebih sulit untuk fokus. Model perhatian yang murid berikan di kelas mirip dengan cara mereka memperhatikan Facebook: mudah teralih, tidak fokus dan multi-tasking.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) perilaku seperti ini termasuk gangguan psikis Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Mereka yang mengidap ADHD akan punya masalah dalam pelajaran, hubungan sosial, bahkan karier. Gejala ADHD antara lain: sulit fokus, sulit berpikir detil, sulit memperhatikan, tidak mendengarkan ketika orang lain berbicara langsung, sulit mengikuti instruksi, tidak teratur, tidak sabar/telaten dan pelupa.
Penelitian di Korea Selatan menunjukkan 33% anak yang menderita ADHD adalah mereka yang kecanduan internet. Sementara, penelitian di Taiwan terhadap orang dewasa menunjukkan 32% pecandu internet menderita ADHD.
Hal ini, kata Blackmore, diperparah lagi dengan sistem pengajaran e-learning. Dalam pendidikan, pendidik akan menanamkan pengetahuan ke dalam otak murid. Tapi e-learning bukan menanamkan, tapi mengajarkan navigasi cara mencari informasi digital. Otak bekerja dengan cara sangat berbeda antara menerima informasi yang coba ditanamkan dan navigasi. Hal ini mengancam daya ingat. Itu sebabnya informasi yang kita baca dari internet cenderung mudah terlupakan. Bukan saja karena kita hanya melakukan pemindaian, tapi informasi itu tak tertanam kuat dalam otak. Kita tahu, tapi belum tentu ingat. Kita ingat, tapi belum tentu paham. Kita paham, tapi belum tentu komprehensif. Kita komprehensif, tapi belum tentu skeptis.