Setelah mempertimbangkan itu semua, dalam mewawancarai korban hindari pertanyaan yang melukai atau menyudutkan korban seperti :
- Mengapa anda tidak melakukan perlawanan? Seharusnya bla bla bla
- Bagaimana anda berpakaian pada saat itu?
- Bagaimana perasaan anda sebagai perempuan yang direnggut kesuciannya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh menimbulkan kesesatan cara berpikir. Hilangkan mindset bahwa korban tidak berusaha untuk melawan saat dilecehkan secara seksual. Karena bisa saja korban mengalami tonic immobility.
Jangan menggali informasi tanpa bersikap peduli, pertanyaan yang memanusiakan korban dapat berupa :
- "Apakah anda bisa menceritakan yang sebelumnya terjadi dan sesudah terjadi kekerasan tersebut?"
- "Lalu apa yang anda lakukan setelah mengalami hal tersebut?"
- "Bantuan apa yang anda butuhkan?"
- "Adakah harapan yang ingin anda sampaikan setelah mengalami hal tersebut?"
Selanjutnya yang sama pentingnya adalah pemilihan judul berita, Judul berita yang seharusnya mencerminkan bagaimana media mendeskripsikan pelaku, korban, serta pemerkosaan tak jarang ditampilkan secara vulgar dan sensasional.
Seperti yang ditemukan dalam berita Palapanews.com dengan judul, "Gadis 14 Tahun Digagahi Empat Pria Secara Bergilir". Di sini, kata "digagahi" menunjukkan bahwa perkosaan adalah suatu tindakan yang menunjukkan kejantanan maskulin. Ditambah lagi kata "gadis" usia 14 tahun dan "secara bergilir", membangkitkan imaji pembaca pada suatu bayangan cabul tentang hubungan seksual beramai-ramai.Â
Fenomen tersebut sejalam dengan pendapat Michael Foucault, bahwa memahami bahasa atau teks sebagai alat kekuasaan. . Kekuasaan adalah strategi, ia tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui bahasa dan budaya. Strategi ini berupa "normalisasi" nilai-nilai dominan atau dengan melekatkan citra tertentu pada realitas sosial.
Dalam kasus kekerasan seksual, normalisasi ini bekerja dengan menggambarkan korban sebagai objek pasif yang lemah, namun dihasrati. Seperti dicontohkan pada judul berita diatas.
Penggambaran tersebut dengan melekatkan predikat seperti "cantik", "gadis", atau atribut yang dikenakan oleh korban, seperti "pakaian seksi", "baju terbuka" bahkan "berhijab" sekalipun. Predikat-predikat ini ditempelkan untuk menggambarkan bahwa korban "mengundang secara seksual" dan biasanya pelaku digambarkan sebagai subjek aktif yang dominan, dan dikendalikan oleh hasrat.
Hal-hal tersebut jangan sampai mendarah daging dan beranak pinak dalam media, yang dikhawatirkan nantinya menghasilkan budaya yang mewajarkan kekerasan seksual. Bahwa nafsu birahi laki-laki adalah sesuatu yang normal, sehingga apabila laki-laki memperkosa perempuan, maka itu adalah kenormalan seksualnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H