Media merupakan sarana untuk menggali informasi yang memiliki tanggung jawab sangat besar dalam perlindungan korban kejahatan, tak terkecuali korban kejahatan seksual.Â
Awak media dituntut untuk bertanggungjawab dari mulai berburu data sampai memberitakannya.Â
Tak jarang media membombardir masyarakat dengan pemberitaan yang tidak memanusiakan korban dan tidak memperdulilan kode etik jurnalistik contohnya dengan memberikan judul atau tajuk berita secara klickbait.Â
Alih-alih menginformasikan pengungkapan identitas ini malah membuat korban kejahatan seksual malah mengalami trauma karena masyarakat semakin mengetahui permasalahan yang dihadapi.
Menjadi korban atau penyitas kekerasan seksual saja sudah menyakitkan, oleh sebab itu media perlu menginplementasikan penggalian data yang tidak menyakiti korban secara langsung maupun tidak langsung dengan memastikan pendekatan, pertanyaan dan sikap ketika menggali informasi kepadanya terkesan peduli, mencerminkan rasa hormat, dan menjunjung martabat dan hak asasi korban.
Hal yang pertama adalah memastikan penggalian data dengan korban. Untuk menggali data dari kasus tersebut dengan memikirkan penggalian secara langsung atau tidak langsung dengan mempertimbangkan rasa trauma korban.Â
Bahkan ketika dinyatakan sudah tidak trauma, masih perlu dipikirkan matang agar tidak terjadi retraumatisasi akibat cerita yang penuh penggambaran.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya persetujuan dari korban atau penyitas. Dengan mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan korban termasuk privasi korban dan bagian mana saja yang tidak diungkapkan dalam pengambilan data.Â
Dengan mempertimbangksn hal tersebut, dapat menghindari ancaman keselamatan jika kemungkinan ada pihak yang merasa dirugikan akibat munculnya pengakuan korban ke ranah publik. Dengan demikian korban akan merasa dilindungi dan merasa berdaya kembali setelah berbagi kisahnya.
Pentingnya perlindungan privasi korban kejahatan seksual pun sudah tertuang dalam kode etik jurnalistik. Salah satu pasal di dalamnya berbunyi "Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan". (pasal 5).
Jika masih belum jelas akan pasal tersebut, ada tafsirannya mengenai identitas yang dimaksud dalam pasal tersebut, bahwa "Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak."  Artinya, identitas itu bisa berupa foto wajah, alamat rumah, nama  sekolah, nama kantor atau nama orang tuanya. Lain halnya jika telah mendapat perdetujuan.