Mohon tunggu...
Hilda Rizqi Elzahra
Hilda Rizqi Elzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student of UIN KH. Abdurrahman Wahid

Experienced in teaching basic and advanced English for young learners) - A freelance writer on the topic of gender and women in Mubadalah.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Etika Menggali Data dan Memberitakan Korban Kekerasan Seksual

1 Agustus 2022   18:51 Diperbarui: 1 Agustus 2022   19:04 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Media merupakan sarana untuk menggali informasi yang memiliki tanggung jawab sangat besar dalam perlindungan korban kejahatan, tak terkecuali korban kejahatan seksual. 

Awak media dituntut untuk bertanggungjawab dari mulai berburu data sampai memberitakannya. 

Tak jarang media membombardir masyarakat dengan pemberitaan yang tidak memanusiakan korban dan tidak memperdulilan kode etik jurnalistik contohnya dengan memberikan judul atau tajuk berita secara klickbait. 

Alih-alih menginformasikan pengungkapan identitas ini malah membuat korban kejahatan seksual malah mengalami trauma karena masyarakat semakin mengetahui permasalahan yang dihadapi.

Menjadi korban atau penyitas kekerasan seksual saja sudah menyakitkan, oleh sebab itu media perlu menginplementasikan penggalian data yang tidak menyakiti korban secara langsung maupun tidak langsung dengan memastikan pendekatan, pertanyaan dan sikap ketika menggali informasi kepadanya terkesan peduli, mencerminkan rasa hormat, dan menjunjung martabat dan hak asasi korban.

Hal yang pertama adalah memastikan penggalian data dengan korban. Untuk menggali data dari kasus tersebut dengan memikirkan penggalian secara langsung atau tidak langsung dengan mempertimbangkan rasa trauma korban. 

Bahkan ketika dinyatakan sudah tidak trauma, masih perlu dipikirkan matang agar tidak terjadi retraumatisasi akibat cerita yang penuh penggambaran.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya persetujuan dari korban atau penyitas. Dengan mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan korban termasuk privasi korban dan bagian mana saja yang tidak diungkapkan dalam pengambilan data. 

Dengan mempertimbangksn hal tersebut, dapat menghindari ancaman keselamatan jika kemungkinan ada pihak yang merasa dirugikan akibat munculnya pengakuan korban ke ranah publik. Dengan demikian korban akan merasa dilindungi dan merasa berdaya kembali setelah berbagi kisahnya.

Pentingnya perlindungan privasi korban kejahatan seksual pun sudah tertuang dalam kode etik jurnalistik. Salah satu pasal di dalamnya berbunyi "Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan". (pasal 5).

Jika masih belum jelas akan pasal tersebut, ada tafsirannya mengenai identitas yang dimaksud dalam pasal tersebut, bahwa "Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak."  Artinya, identitas itu bisa berupa foto wajah, alamat rumah, nama  sekolah, nama kantor atau nama orang tuanya. Lain halnya jika telah mendapat perdetujuan.

Setelah mempertimbangkan itu semua, dalam mewawancarai korban hindari pertanyaan yang melukai atau menyudutkan korban seperti :

- Mengapa anda tidak melakukan perlawanan? Seharusnya bla bla bla
- Bagaimana anda berpakaian pada saat itu?
- Bagaimana perasaan anda sebagai perempuan yang direnggut kesuciannya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh menimbulkan kesesatan cara berpikir. Hilangkan mindset bahwa korban tidak berusaha untuk melawan saat dilecehkan secara seksual. Karena bisa saja korban mengalami tonic immobility.

Jangan menggali informasi tanpa bersikap peduli, pertanyaan yang memanusiakan korban dapat berupa :
- "Apakah anda bisa menceritakan yang sebelumnya terjadi dan sesudah terjadi kekerasan tersebut?"
- "Lalu apa yang anda lakukan setelah mengalami hal tersebut?"
- "Bantuan apa yang anda butuhkan?"
- "Adakah harapan yang ingin anda sampaikan setelah mengalami hal tersebut?"

Selanjutnya yang sama pentingnya adalah pemilihan judul berita, Judul berita yang seharusnya mencerminkan bagaimana media mendeskripsikan pelaku, korban, serta pemerkosaan tak jarang ditampilkan secara vulgar dan sensasional.

Seperti yang ditemukan dalam berita Palapanews.com dengan judul, "Gadis 14 Tahun Digagahi Empat Pria Secara Bergilir". Di sini, kata "digagahi" menunjukkan bahwa perkosaan adalah suatu tindakan yang menunjukkan kejantanan maskulin. Ditambah lagi kata "gadis" usia 14 tahun dan "secara bergilir", membangkitkan imaji pembaca pada suatu bayangan cabul tentang hubungan seksual beramai-ramai. 

Fenomen tersebut sejalam dengan pendapat Michael Foucault, bahwa memahami bahasa atau teks sebagai alat kekuasaan. . Kekuasaan adalah strategi, ia tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui bahasa dan budaya. Strategi ini berupa "normalisasi" nilai-nilai dominan atau dengan melekatkan citra tertentu pada realitas sosial.

Dalam kasus kekerasan seksual, normalisasi ini bekerja dengan menggambarkan korban sebagai objek pasif yang lemah, namun dihasrati. Seperti dicontohkan pada judul berita diatas.

Penggambaran tersebut dengan melekatkan predikat seperti "cantik", "gadis", atau atribut yang dikenakan oleh korban, seperti "pakaian seksi", "baju terbuka" bahkan "berhijab" sekalipun. Predikat-predikat ini ditempelkan untuk menggambarkan bahwa korban "mengundang secara seksual" dan biasanya pelaku digambarkan sebagai subjek aktif yang dominan, dan dikendalikan oleh hasrat.

Hal-hal tersebut jangan sampai mendarah daging dan beranak pinak dalam media, yang dikhawatirkan nantinya menghasilkan budaya yang mewajarkan kekerasan seksual. Bahwa nafsu birahi laki-laki adalah sesuatu yang normal, sehingga apabila laki-laki memperkosa perempuan, maka itu adalah kenormalan seksualnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun