Pesta pernikahan diadakan seminggu setelahnya. Aku canggung? Ya ...
Kami bahkan diam saja satu sama lain. Aku sendiri sungkan melihat wajah istriku. Begitupun ia, setiap kali kami berpapasan mata, tidak ada suara yang terrdengar keluar dari mulut kami berdua, selain detak jantungku yang hampir menembus kepala.
Seorang pria harus berani, selalu itu yang kudengungkan di telingaku. Kalau perlu ... NEKAT, tapi tetap pakai perhitungan.
"Selamat, Lit. Jadi juga Kau menikahi Seruni, ya!!" Ucapan selamat dari Rasyid.
"Menyusul ya. Sepertiku," jawabku.
"Kutunggu jodohan Mamak sajalah sepertimu. Jadi gak usah capek-capek cari calon," bisik Rasyid kemudian.
"Iya lah. Daripada cari sendiri patah hati terus. Hahaha ...."
Pesta pernikahan dibuat sederhana, demi modal buat bangun rumah selepasnya. Karena Seruni tidak ingin satu rumah dengan Mama. Jadi terpaksa kuiyakan permintaannya. Membuatkan ia rumah sederhana di samping rumah Mama. Agar aku bisa tetap menjaga Mama, meskipun telah menikah.
Duduk di pinggir ranjang. Wanita yang sudah menjadi istriku ini menundukkan kepala. Rasa canggung belum hilang dari aura wajahnya.
Aku memperhatikan sosoknya. Mata, hidung, bibir, alis, pipi dan semua kelengkapan yang melekat di sana. Seruni memang gadis yang sangat cantik.
"Jadi sekarang?" tanyaku.
Seruni masih tertunduk malu. Aku melepaskan satu per satu perhiasan pengantin di tubuhnya. Terakhir kubuka jilbab yang menutupi mahkotanya.