Latar Belakang Munculnya Qadariah
Qadariah berasal dari bahasa Arab qadara, tang artinya kemampuan dan kekuatan (Luwis Ma'luf Al-Yusu'i, 1971:745). Menurut pengertian terminologi, Qadariah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi tangan tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendir (Al-Yusu'i, 436).Â
Menyatakan bahwa tingkah laku manusia baik itu perbuatan baik maupun perbuatan jahat atas kehendak sendiri. Karena itu berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.Â
Berdasarkan pengertian tersebut,dapat dipahami bahwa qadariah digunakan untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dankeuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.Â
Dalam hal ini, Harun Nasution turut menegaskan bahwa kaum Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar tuhan.
Seharusnya, sebutan Qadariah diberikan pada aliran yang berpendapat bahwa qadar telah menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Sebutan tersebut telah melekat pada aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Demikian pemahaman kaum sunni pada umumnya (W. Montgomery Watt, 1992:25). Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut paham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk pada hadis yang membuat negatif nama Qadariah (Ahmad Amin, 1924;284). Hadis itu berbunyi.
Artinya:
"kaun Qadariah adalah majusinya umat ini."(hadis ini terdapat dalam Sunan Abu Daud, "kibat As-Sunnah, bab 16)
Kapan Qadariah munculdan siapa tokoh tokohnya merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada para ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariah pertama dimunculkan oleh Ma'bad Al-Jauhani (w. 80 H) dan Ghailan Ad-Dimasyqy (Ahmad Amin:284). Ma'bad adalah seorang tabi'i yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al-Bisri (ibid). Sementaran Ghailan adalah seorang oratir yang berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Utsman bin Affan (ibid).
Ibnu Nabatah dalam kitabnya syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin (1886-1954 M), memberi informasi lain bahwa yang pertama kali munculnya Qadariah adalah orang Irak yang beragama Kristen kemudian masuk islam dan kembali ke agama Kristen. Dari orang inila, Ma'hab dan Ghalian mengambil paham ini (ibid). Orang irak yang dimaksud, sebgaimana yang dikatakan Muhammad Ibnu Syu'ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzi dalah Susan.
Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan paham Qadariah yang terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah seorang anak yang bersyatus tahanan di Irak, lahir di Madinah, tetapi pada tahun 657 pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri orang Qadariah atau bukan, hal ini memang terjadi perdebatan.
Ma'bad Al-jauhani dan Ghalian Ad-Dimasyqi, menurut Watt adalah penganut Qadariah yang hidup setelah Hasan Al-Basri (ibid:28). Seperti dikutip dari Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma'bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Basri. Paham Qadariah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras terhadap paham Qadariah. Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat sebelum islam dipengaruhi olehpaham fatalis. Ketika itu kehidupan bangsa arab sangat sederhana dan jauh dariilmu pengetahuan. Mereka selalu mengalah pada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah yang gersang dan gunungnya gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alasan sekelilingnya.paham itu terus dianut meskipun mereka sudah beragama islam. Oleh karena itu, ketika paham Qadariah dikembangkan, mereka tidak dapat diterimanya. Paham Qadariah dianggap bertentangan dengan doktrin islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah. Tantangan ini mungkin sangat bisa terjadi karena para pejabat pada masa itu menganut paham Jabariah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan paham Qadariah merupakan suatu usaha menyebarkan paham dinamis dan daya kritis rakyat, yang mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
Tokoh aliran Qadariah
Tokoh ajaran Qadariah adalah ma'bad Al-Juhani (tokoh utama Qadariah) dan Ghalian al Dimasyqi.
Ajaran Ajaran Aliran Qadariah
Allah tidak menciptakan amal perbuatan bagi manusia. Manusia bebas menentukan amal perbuatannya. Sebagai balesannya, manusia diberi pahala surga da siksa neraka.
Allah itu Esa dan tidak memuliki sidat.
Pelaku dosan besar adalah fasik, nukankafir, dan bukan pula orang mukmin. Mereka akan kekal di neraka.
2. Doktrin-diktrin Pokok Qadariah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, masalah Qadariah disatukan pembahasannya dengan bahasan tentang doktrin-doktrin Mu'tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang jelas (Al-Syahrastani:85). Ahmad Amin menjelaskan bahwa doktrin qadar kiranya lebih luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah. Sebab, paham ini dijadikan salah satu diantara diktrin Mu'tazilah, sehingga orang sering menamakan Qadariah denga Mu'tazilah karena mereka sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan (Ahmad Amin:287)
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin Qadariah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya; manusia yang melakukan, baik atas kehendak maupun kekuasaannya, dan manusia pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan jahat atau kemauan dan dayanya (Harun Nasution, teologi islam:31).
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa doktrin Qadariah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Oleh karena itu ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah diperbuat. Dalam kaitan ini, apabila seseorang diberi pahala atau hukuman maka itu berdasarkan pilihan pribadinya, bukan takdir Tuhan.
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Diktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam. Banyak ayat A-Qur'an yang dapat merndukung pendapat ini, misalnya surat Al-Kahf ayat 29.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H