Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024 Tidak Diperlukan karena Berdampak Bumerang bagi KPU dan Potensi Malpraktek Pemilu

25 Maret 2022   05:25 Diperbarui: 25 Maret 2022   05:48 1554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Menyederhanakan Surat Suara Pemilu Sama Dengan Merencanakan Sebuah Kegagalan Pemilu 2024 dan Berpotensi Menciptakan Legitimasi Yang Lemah Dari Publik"

A. Opsi Penyederhanaan dan Alasan KPU

Dikutip dari KOMPAS.com, Selasa (22/3/2022), Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan simulasi pemungutan dan penghitungan surat suara dengan desain surat suara dan formulir yang disederhanakan untuk Pemilu 2024 mendatang. Proses pemilihan masih dilakukan dengan cara mencoblos.

Simulasi tahap empat kali ini, terdapat dua jenis tempat pemungutan suara (TPS) yang dibedakan dari jumlah surat suara. TPS 1 untuk menguji coba desain surat suara lima jenis pemilihan dalam tiga lembar surat suara, sementara untuk TPS 2 dalam dua lembar surat suara.

Diketahui model ini berbeda dengan surat suara pada Pemilu 2019. Pada surat suara Pemilu 2019 KPU menggunakan lima surat suara, sesuai dengan jenis pemilihan masing-masing. Untuk diketahui, lima jenis pemilihan terdiri atas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/kota.

Sedangkan dalam penyederhanaan surat suara opsi yang sudah disiapkan adalah desain ulang surat suara lima lembar pada Pemilu 2019, digabungkan beberapa pemilu dalam beberapa surat suara, menjadi dua lembar atau tiga lembar.

1. Bagaimana Model Surat Suara Yang Disederhanakan Dalam Simulasi KPU?

KPU diketahui menyiapkan dua opsi model surat suara, berikut ini:

a. Model pertama berisi tiga surat suara dengan ukuran kertas  42 x 65 cm, yakni;

  1. Pada Lembar pertama, KPU menggabungkan kolom pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan kolom pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
  2. Pada Lembar kedua, KPU menggabungkan kolom pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
  3. Pada lembar surat suara ketiga, KPU menampilkan kolom pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

b. Model kedua berisi dua surat suara, yakni :

  1. Pada lembar pertama KPU menggabungkan kolom Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD, dengan ukuran kertas 51x84 cm.
  2. Pada lembar kedua KPU menggabungkan kolom pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, dengan ukuran kertas 42x65 cm.

2. Apa Alasan KPU Menyederhanaan Surat Suara?

Menurut pihak KPU menyederhanakan surat suara Pemilu 2024 dilakukan berdasarkan evaluasi pemilu 2019 yang memakan korban sakit, hingga meninggal dunia pada petugas selama proses pemilu. Juga penyederhanaan surat suara dilakukan untuk menghemat anggaran Pemilu, serta diharapkan dapat memudahkan proses pemilihan dan pemungutan suara.

KPU memperkirakan akan ada aspek efisiensi dalam penyederhanaan surat suara dengan menghemat anggaran dari belanja logistik kisaran 50 s.d 60 persen, serta dapat meminimalisasi penggunaan kertas (paperless).

Hal lainnya sebagai upaya KPU agar kemudian dimudahkan dalam proses pemilihan, pemungutan, dan proses penghitungan suara menjadi lebih simple, lebih sederhana yang juga berimplikasi pada desaian formulir yang juga disederhanakan untuk menghindari kesalahan dalam perhitungan formulir C, serta demi menghindari korban dari petugas yang sakit hingga tertekan.

B. Tanggapan Penulis

1. Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024 Berdampak Bumerang Bagi Penyelenggara Pemilu (KPU dan Jajaran Dibawahnya)

 Menyederhanakan surat suara Pemilu 2024 dengan opsi memangkas surat suara dari lima jenis pemilihan menjadi tiga lembar surat suara, dan opsi kedua menjadi dua lembar surat suara dengan alasan efisiensi anggaran akan menjadi bumerang bagi jajaran KPU sampai tingkat terbawah KPPS.

Penyederhanaan surat suara Pemilu 2024 tidak diperlukan, dan bukan pilihan terbaik karena dapat mengancam integritas penyelenggara pemilu itu sendiri. Surat suara Pemilu itu adalah komponen logistik pemilu yang sangat penting dalam proses konversi suara pemilih menjadi kursi dalam pemilu. 

Diperlukan perhitungan yang cermat, rinci, detail, serta untuk menjaga kesetaraan nilai suara pemilih atau One Person, One Vote, One Value (opovov) yang merupakan salah satu parameter utama dalam menilai derajat demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu.

Prinsip opovov sangat penting untuk diterapkan pada beberapa aspek dalam pemilu salah satunya dalam sistem penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi anggota DPR dan DPRD (electoral system). Hal ini tidak terpenuhi maka pelaksanaan pemilu terancam gagal dan tidak memiliki legitimasi yang kuat di mata publik.

Sementara Pemilu yang adil dan demokratis, sekurang-kurangnya memiliki tujuh kriteria (Ramlan Surbakti, Kompas, 14/02/2014), antara lain : kesetaraan antarwarga negara, kepastian hukum yang dirumuskan dengan asas Pemilu demokratis, persaingan bebas dan adil antar kontestan Pemilu, partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam tahapan Pemilu, penyelenggara Pemilu yang profesional, independen dan imparsial, integritas pemungutan, penghitungan, tabulasi dan pelaporan, serta penyelesaian sengketa Pemilu yang adil dan tepat waktu. 

Di antara tujuh kriteria tersebut, hadirnya regulasi yang paripurna merupakan keniscayaan untuk menjamin kepastian hukum. Manakala kepastian hukum absen dari penyelenggaraan Pemilu, hampir dipastikan akan terjadi kekacauan demokrasi.

Salah satu tahapan paling krusial bagi KPU,  pemilih dan peserta Pemilu adalah pemungutan dan penghitungan suara. Hal ini merupakan proses puncak dari tahapan panjang Pemilu, bahkan bagi sebagian peserta Pemilu merupakan malaikat maut yang menentukan hidup matinya nasib politik mereka di masa mendatang. 

Bagi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu dan seluruh jajarannya), tahapan inilah menentukan dan mempertaruhkan seluruh idealisme, profesionalitas dan integritas.  Pemilu dipertaruhkan pada tahapan ini. Beleid yang terang benderang, tidak multitafsir, tegas serta rinci akan memudahkan tahapan ini dilakukan.

Pada tahapan  pemungutan dan penghitungan suara akan melahirkan perwujudan sebuah kesetaraan nilai suara pemilih (yang merupakan bagian dari hak asasi manusia) dalam Pemilu. 

Terhadap Pemilu untuk memilih DPR dan DPRD yang menganut sistem proporsional dengan metode penghitungan kuota sebagaimana dianut di Indonesia, maka dalam proses penghitungan dan konversi suara menjadi kursi harus dipenuhi 2 (dua) prinsip yakni, pertama prinsip bahwa setiap suara pemilih diperlakukan setara dan dihitung hanya satu kali, dan kedua prinsip proporsionalitas.  

Apabila terdapat suara pemilih yang dihitung lebih dari satu kali, maka akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau ketidaksetaraan nilai suara pemilih, dan menimbulkan dampak berupa terjadinya under-representation maupun over-representation yang selanjutnya berimplikasi pada munculnya disproporsionalitas hasil pemilu.

Maka penyederhanaan surat suara Pemilu 2024 akan menimbulkan bumerang dengan permasalahan berupa maladministrasi pemilu yang dapat mengindikasikan terjadinya malpraktik pemilu. Hal ini terjadi pada pengakomodiran suara pemilih pindahan dalam daftar pemilih tambahan karena kondisi tertentu  dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS/TPSLN lain sebagaimana dalam pasal 348 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017  yang memiliki opsional memilih jenis pemilihan ketika mencoblos di TPS lain.

Apabila hanya diberi opsi satu jenis pemilihan tetapi dalam kertas surat suara terdapat dua jenis pemilihan dan baik disengaja atau tidak disengaja, maka salah satu pilihan pada jenis pemilihan harus sifatnya tidak sah atau suara batal. Tetapi karena asas kerahasiaan hasil pemilihan (coblos) kemudian akan menjadi sah dan dilegalkan suara tersebut secara otomatis dalam pehitungan suara. Maka akan terjadi selisih hasil perhitungan suara di TPS dalam satu atau dua jenis dari lima jenis pemilihan.

Karena prosesi pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan dalam kategori pemiliha tambahan ini yang menggunakan hak pilihnya di TPS/TPSLN lain dijelaskan secara gamblang dan terang benderang dalam Pasal 348 ayat (4) huruf a s.d huruf e UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, berbunyi; sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menggunakan haknya untuk memilih:

a. calon anggota DPR apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya;

b. calon anggota DPD apabila pindah  memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi;

c. Pasangan Calon apabila pindah memilih ke provinsi lain atau pindah memilih ke suatu negara;

d. calon anggota DPRD Provinsi pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya; dan

e. calon anggota DPRD Kabupaten/Kota pindah memilih ke kecamatan lain dalam satu kabupaten/kota dan di daerah pemilihannya

 

2. Penyederhanaan Surat Suara Berpotensi Maladministrasi Pehitungan Suara Akibat Malpraktek Pemilih.

Dari penjelasan point-point pasal diatas,  jika disimulasikan opsi penyederhanaan penggunaan tiga surat suara, maka ditemukan masalah, sebagai berikut:

  • Huruf c; "Pasangan Calon apabila pindah memilih ke provinsi lain atau pindah memilih ke suatu negara". Dalam model lembar pertama, menggabungkan kolom pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan kolom pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Ketika pemilih pindahan itu mencoblos Pasangan Calon (Capres dan Cawapres) dan kemudian secara sengaja atau tidak sengaja ikut mencoblos kolom dibawahnya pemilihan anggota DPR, lalu pemilih langsung melipatnya dan memasukkan dalam kotak suara.

Pada proses penghitungan suara maka kolom pemilihan anggota DPR tadi tercoblos akan terhitung sebagai satu nilai berarti satu suara, maka disinilah terjadi maladministrasi dengan menghitung satu suara menjadi satu nilai yang sah dari kesalahan coblos (malpraktek pemilih).

  • Huruf d; "calon anggota DPRD Provinsi pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya"; Dalam lembar kedua, KPU menggabungkan kolom pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Tindakan pemilih melakukan malpraktek yang sama seperti huruf c diatas, maka suara DPRD Kabupaten/Kota akan terhitung satu suara menjadi satu nilai yang sah dari kesalahan coblos (malpraktek pemilih).
  • Huruf e; "calon anggota DPRD Kabupaten/Kota pindah memilih ke kecamatan lain dalam satu kabupaten/kota dan di daerah pemilihannya"; Dalam lembar kedua, KPU menggabungkan kolom pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Tindakan pemilih melakukan malpraktek yang sama seperti huruf c dan d diatas, maka suara DPRD Provinsi akan terhitung satu suara menjadi satu nilai yang sah dari kesalahan coblos (malpraktek pemilih).

Dari opsi penyederhanaan tiga surat suara saja diatas sudah melahirkan multi pelanggaran maladministrasi petugas penyelenggara pemilu (KPPS) dan malpraktek (pemilih). Maka akan sama dan bahkan tingkat malpraktek pemilih dan maladministrasi penyelenggara semakin semrawut. Terjadi ketimpangan atau ketidaksetaraan nilai suara pemilih, dan menimbulkan dampak berupa terjadinya under-representation maupun over-representation yang selanjutnya berimplikasi pada munculnya disproporsionalitas dan delegitimasi hasil pemilu.

Berdasarkan evaluasi dari Pemilu ke Pemilu dari semua jenis pemilihan dimana lembaran surat suara terpisah-pisah sesuai jenis pemilihan saja, banyak suara yang rusak atau batal. Apalagi ketika dilakukan penyederhanaan, maka tingkat kesalahan (kekeliruan) coblos ditambah malpraktek pemilih yang berdampak pada maladministrasi hasil perhitungan suara Pemilu.

Alasan kelelahan akibat beban petugas dan tekanan (KPPS) hasil evaluasi Pemilu 2019 bukan karena proses pemungutan suara, karena pemungutan suara sudah memiliki batas waktu jam 07.00 s.d 13.00 waktu setempat yang disediakan waktu untuk pemilih TPS.

Yang melelahkan sesungguhnya pada rangkaian proses dengan peristiwa sejak diterimanya logistik dan didistribusi ke TPS, serta proses penghitungan suara dan rekapitualasi suara dalam lembar formulir dan rangkap yang banyak sehingga perhitungan dan pengisian untuk dituliskan dalam formulir itu yang dilakukan sampai subuh dini hari atau bahkan melewati dari batas waktu satu hari dari ketentuan.

Termaksud juga soal usia penyelanggara badan adhok PPK, PPS terutama KPPS yang banyak diatas usia senja (50 tahun keatas). Pun juga tidak ada proses penapisan terhadap aspek kesehatan dan usia penyelenggara adhock tersebut.

Penutup

Jadi filosofi pemungutan suara dan proses rekapitulasi hasil pemilu bukan hanya sekedar persoalan angka yang ditulis dipapan tulis dari angka-angka hasil pemungutan suara oleh pemilih, dan bukan pula hanya sekedar angka-angka yang ditulis (dituangkan) dalam formulir, tetapi makna angka (nilai suara) dalam Pemilu adalah proses mengganti suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara baik eksekutif maupun legislative, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.

Maka memaknai surat suara bukan hanya sarana materil yang harus dihitung untung rugi dari aspek biaya maupun belanja logistik, tetapi untuk menghitung angka-angka yang mengkonversikan suara rakyat (kedaulatan) menjadi kursi.

Termaksud formulir sertifikat hasil yang merupakan legalitas administrasi pemindahan konversi suara rakyat (kedaulatan) untuk siapa pemimpin dan wakil rakyat yang diamanahkan sebagai penyelenggara negara dalam mengelola bangsa ini.

KPU harusnya memikirkan terobosan dalam membuat sejumlah beleid atau kebijakan rentang kedali dari tingkat pusat sampai daerah. Pemilu itu sama dengan manajemen perang, semua diperhitungkan secara proporsionalitas baik sumber daya manusia, fasilitas, sarana dan prasarana termaksud anggaran bukan sedikit atau banyaknya tetapi pengelolannya harus efektif dan efisien agar tidak terjadi pemborosan.

Maka tantangannya harus dihadapi oleh KPU. Beleid baru dalam hal inovasi yang efektif untuk mengurangi beban penyelenggara dibawah KPPS, PPS dan PPK, bagaimana inovasi pemanfaatan teknologi informasi yang mutakhir dan modern dalam penyelenggaraan Pemilu seperti yang sudah dilakukan oleh negara lain, maka ini yang sangat ditunggu publik. "KPU Melayani"

Demikian, semoga dapat memberikan makna dalam menata mozaik demokratisasi dibangsa ini.

Oleh : Hidayatullah*

Wassalam,

Bumi Anoa, 25 Maret 2022

 *Penulis : Praktisi Hukum/Ketua Presidium JaDI Sultra/Ketua KPU Provinsi Sultra Periode 2013-2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun