Apa itu Narasi Provokasi?
Arti kata provokatif menurut KBBI provokatif [pro*vo*ka*tif] Kata Adjektiva (kata sifat) Arti: bersifat provokasi; merangsang untuk bertindak; bersifat menghasut contoh: "dalam suasana seperti sekarang ini, sebaiknya setiap pihak menjauhkan diri dari perbuatan provokatif".
Jadi provokasi yang merupakan bentuk dari kata sifat yang maknanya adalah tindakan seseorang atau pun individu yang dapat saja menyebabkan bangkitnya kemarahan orang lain untuk terpancing marah, emosi, dan lainnya sehingga akan menjadi suatu permasalahan yang sangat rumit. Sedangkan individu atau orang yang terpancing amarah dan emosinya bangkit disebut terprovokasi.
Sebagai contoh kecil mewakili pembahasan ini, misal;
- Unjuk rasa para orang tua siswa terjadi karena ada seseorang yang memprovokasi bahwa bagi anak yang tidak vaksin oleh pemerintah tidak diizinkan masuk ruang belajar. Tentu saja informasi ini membuat para orang tua marah dan berunjuk rasa, padahal kebijakan pemerintah dan bukti-bukti belum ada alias masih seputar isu dan wacana.
- Atau ada seseorang yang melakukan klarifikasi atas suatu masalah yang antara kenyataan dan klarifkasi jauh berbeda hanya untuk melindungi sesuatu walau buruk atau melakukan pembenaran-pembenaran agar kelihatan baik tapi fakta tidak baik.
Berdasarkan dua contoh diatas maka provokasi dapat juga dikatakan sebagai perkataan dengan narasi yang melebih-lebihkan, padahal apa yang disampaikan itu belum tentu kebenarannya.
Apa itu Narasi Analisis?
Sedangkan pengertian analisis adalah aktivitas yang memuat sejumlah kegiatan seperti mengurai, membedakan, memilah sesuatu untuk digolongkan dan dikelompokkan kembali menurut kriteria tertentu kemudian dicari kaitannya dan ditafsirkan maknanya.
Dalam pengertian yang lain, analisis adalah sikap atau perhatian terhadap sesuatu (benda, fakta, fenomena) sampai mampu menguraikan menjadi bagian-bagian, serta mengenal kaitan antarbagian tersebut dalam keseluruhan.
Analisis dapat juga diartikan sebagai kemampuan memecahkan atau menguraikan suatu materi atau informasi menjadi komponen-komponen yang lebih kecil sehingga lebih mudah dipahami.
Jadi, dari pengertian analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa analisis adalah sekumpulan aktivitas dan proses. Salah satu bentuk analisis adalah merangkum sejumlah besar data yang masih mentah menjadi informasi yang dapat diinterpretasikan.
Semua bentuk analisis berusaha menggambarkan pola-pola secara konsisten dalam data sehingga hasilnya dapat dipelajari dan diterjemahkan dengan cara yang singkat dan penuh arti.
Narasi provokatif tidak akan pernah linear dalam dunia analisis. Provokatif tidak memiliki pendekatan obyektif akademis. Kalau narasi hasil analisis yang bersumber dari ketajaman dan kemerdekaan berfikir seseorang yang menghubungan antar fakta dan antar variabel maka lahirlah variabel penduga atau hipotesa (dugaan sementara), yang sama sekali belum bisa dituntut buktinya.
Sehingga narasi analisis sangat dibutuhkan dalam komunikasi dialektika untuk meretas lahirnya suatu hipotesa atau dugaan untuk saling mengisi sesama anak bangsa.
Jika semua yang kita narasikan harus ada buktinya terlebih dahulu maka tidak ada lagi rancang bangun (ilmu rekayasa). Olehnya itu narasi dalam bentuk hipotesa atau dugaan sementara tidak bisa disejajarkan dengan narasi provokatif.
Bagaimana Kondisi Media Sosial Kita?
Saya sering menulis atau diwawancara pihak media dan semua saya sampaikan dengan narasi-narasi analisis, kalaupun ada sedidkit sentuhan provokasi itu berangkat hipotesa-hipotesa untuk umpan balik tanggapan atau menunggu respons dari pihak berkompoten mengklarifikasinya.
Hanya saja belakangan ini dengan semakin meluasnya akses media sosial (medsos) dan menjamurnya media online, maka konten dan narasi-narasi provokatif bahkan sampai kepada hoax dan menyesatkan bisa tayang di media sosial.
Bahkan semua narasi provokatif itu merubah adab dan sopan santun dalam berkomunikasi seolah-olah sudah bukan peradaban manusia bumi lagi yang penuh akhlak yang diajarkan nabi dan rasul. Kita seolah-olah sudah berhadapan dengan "alien" bagai makhluk ruang angkasa seperti yang ada di film-film yang kacau dalam narasi, tidak tertata, tetapi berisik.
Seperti keadaan kekinian ada klaim tentang peran buzzer yang sering dituding mengacaukan orang dalam dialektika intelektual dan dianggap buzzer ada dikubu pemerintah. Tetapi semakin kesini keberadaan buzzer itu sudah melebur bersama yang anti pemerintah (oposisi). Kedua-duanya berubah menjadi buzzer dengan narasi yang sama "provokatif".
Akhirnya medsos dan sebahagian berita-berita media online sudah kurang diskursus analisis atau hadirnya kaum kritis. Keadaan menjadi sama dimana buzzer berhadapan dengan buzzer yang dengan terang-terangan menindas intelektualisme dan keadaban komunikasi yang baik umat manusia.
Darimana budaya komunikasi saling bully, nyinyir dan cacian ini?, karena Indonesia dari kultur, budaya komunikasi dan bahkan kita memiliki warisan bangsa berupa puisi rakyat, syair, pantun, dan gurindam, yang memiliki nilai pesan moral, agama, dan budi pekerti.
Kemudian pula kaum kritis dan analitis kita kemana keberadaan mereka? Hanya sedikit yang nampak mengutarakan ide dan gagasannya, itupun pada moment-moment tertentu saja. Banyak yang memilih bertapa dan asyik dengan dunianya dalam tembok menara gading. Mungkin saja mereka merasa diluar berisik dan sudah tidak menghargai komponen intelektualisme lagi.
Kapan Buzzer-Buzzer Ini Hadir?
Seingat saya buzzer-buzzer ini diciptakan pada masa kampanye Pemilu yang mulai trand di Pemilu 2019, dan tetap saja hadir dimasa setelah pemilihan berakhir. Akhirnya lahir istilah "buzzerRp" dianggap memback up pemerintah dan "buzzerRp0" istilah untuk buzzer oposisi. Yang menyematkan istilah "buzzerRp" adalah pihak oposisi mengganggap bahwa pemerintah yang melindungi para buzzer dengan jasa tertentu.
Sedangkan "buzzeRp0" disematkan para netizen karena melihat pendukung opisisi juga ikut berubah layaknya buzzer walau tidak ada nilai jasa atau bersifat spontanitas. Keduanya saling mendiskreditkan, menyudutkan dan saling merusak reputasi baik tokoh, pemimpin bangsa atau siapa saja yang dianggap saling berseberangan dalam pertahanan dua kubu masing-masing.
Kehadiran buzzer ini mengacaukan suatu masalah menjadi debat kusir dan keluar topik karena tidak hadirnya diskusi dan dialektika analitis disana. Kalau dalam debat tersudutkan maka melakukan penyerangan pada konteks privacy, yang bagian salah satu ciri debat kusir para buzzer. Akhir dari perdebatan itu akan berujung pada provokasi, hoaks dan konten-konten yang menyesatkan.
Akhirnya kehadiran buzzer-buzzer ini baik dipihak calon yang menang untuk mempertahankan diri, maupun lahir karena balas dendam politik akibat calonnya kalah. Dampaknya menjadi penghalang orang untuk cerdas dan kritis.
Debat para buzzerRp dan buzzerRp0 ini menghalangi terciptanya masyarakat yang cerdas dan demokratis untuk melakukan kritik yang konstruktif termaksud dalam hal pilihan politik yang cerdas.
Dipihak buzzerRp apapun dari pemerintah semua baik, dan sebaliknya dipihak buzzerRp0 apapun dari pemerintah semua dianggap jelek. Lalu kedua belah pihak ini ricuh di medsos tapi damai-damai saja dikehidupan nyata.
Pokoknya analisis intelektual menjadi lumpuh. Yang menonjol adalah interst politik posisi dan oposisi. Kaum kritikus sangat sedikit sekali, itupun ingin selalu ditarik-tarik kemedan laga pada wilayah kaum oposisi. Bahkan sebahgaian sudah bergabung.
Padahal hakikat kaum oposisi berbeda dengan kaum kritis. Kalau kaum oposisi apapun itu dari pemerintah akan dipastikan ditolak paling tidak didebat.
Beda hal dengan kaum kritis yang menyampaikan gagasan, pandangan berbeda baik melalui media massa maupun media sosial atau bahkan sampai harus dilakukan dengan unjuk rasa penyampaian pendapat apabila ada sesuatu yang menyimpang dari pemerintah. Tetapi yang baik dari pemerintah dipastikan akan didukung.
Beberapa kaum oposisi juga ada yang tampak dengan narasi ilmiah dan analitisnya, tetapi ketika sampai pada diskursus pengikut setia menjelma menjadi buzzer juga, yang tiap hari kalau bukan bully, nyinyir dan kontra wacana penuh dengan narasi-narasi provokatif kering dengan nilai intelektual, padahal sumber narasinya ilmiah dan analitis. Tetapi digoreng terus sampai menjurus pada konten-konten yang bias intelektual.
Lalu apa yang di ubah dari gerakan provokasi kedua belah pihak ini? Tidak ada. Justru akhlak dan moral bergeser dimana didunia nyata bagai malaikat tetapi didunia maya berubah menjadi iblis. Sehingga ada guyonan bahwa iblis sekarang lebih betah bertengger di medsos ketimbang membujuk manusia didunia nyata.
Akhirnya sedikit-sedikit riuh dan media sosial semakin berisik dan gaduh. Kehadiran buzzer-buzzer ini dengan narasi dan konten-konten menyesatkan menjadi salah satu penyebab lahirnya provokatif. Mereka tiap hari mendengungkan apapun untuk mengacaukan sebuah gagasan maupun isu tertentu.
Saya mengutip seorang analis media sosial Drone Emprit, Abdi Halim Munggaran, mengartikan bahwa buzzer adalah orang yang mendengungkan suatu isu atau informasi tertentu. Dan sesungguhnya hakikat buzzer itu untuk keperluan bisnis sama hal dengan influencer karena diawali dari akun endorser suatu produk yang ditawarkan.
Katakanlah untuk buzzer sebuah produk, bisa dipastikan dia mendapat bayaran atas jasanya. Itu yang selama ini dilakukan para artis di media sosial menjadi bintang iklan.
Ketika fenomena buzzer masuk diwilayah politik, maka ini yang menjadi masalah. Seringkali survey elektabilitas dalam kompetisi pemilihan baik Pemilu termaksud dibeberapa Pilkada menjadi bulan-bulanan buzzer-buzzer ini. Padahal Lembaga survey basisnya ilmu pengetahuan dan analisisnya berbasis akademik sehingga dari segi jasa dapat diukur dengan kerja-kerja intelektual dari sumber keilmuan.
Lalu dengan buzzer harus bagaimana membuktikan adanya bayaran atas jasa mereka? bagaiamana cara mengukurnya dalam dunia politik?
Coba lihat ulah para buzzer ini di media sosial terkait isu politik. Jika ada narasi yang mengagungkan pemerintah seolah satu komando buzzerRp0 maka akun itu langsung dibully dan penuh cacian. Hal yang sama narasi yang menyudutkan pemerintah maka buzzerRp sesuai komando menyerang akun yang melontarkan isu tersebut.
Pada akhrinya kita semua lelah dan prihatin dengan keadaan ini, bukan perubahan yang didapatkan tetapi generasi kedepan akan kehilangan keadaban yang luhur dan attitude yang baik.
Sampai kapan terjadi kecerdasan bermedsos yang memiliki penetrasi masif yang lebih bermanfaat. Padahal medsos sangat multimanfaat kalau masyarakat bijak dalam menggunakannya. Media sosial bisa menjalin pertemanan, bisa berjualan secara daring ("online"), bahkan dapat mengekspresikan ide, gagasan dan pandangan politik. Termaksud medsos merupakan wadah untuk memperoleh berita-berita dari media massa.
Pada akhirnya saya sepakat dengan salah satu pengamat Komunikasi Massa, Agus Sudibyo, melihat fenomena buzzer di media sosial perlu ada tindakan lebih keras.Â
Harus diakui banyak yang sudah melalukan penyerangan. Mereka mengganggu kebebasan berpendapat di Indonesia sebagai negara demokrasi.
Untuk itu, bukan hanya pemerintah yang harus menertibkan. Masyarakat juga diminta aktif jika ada buzzer-buzzer yang keterlaluan. Jangan dibiarkan. Publik harus gunakan aturan yang ada untuk mempersoalkan itu.
Pun pemerintah yang memiliki sumber daya yang baik dan memiliki hirarki manajerial terus dapat mengedukasi publik agar media sosial digunakan secara sehat, tidak untuk saling serang maupun menebar hujatan dan kebencian.
Hanya saja saat ini ada asumsi bahwa pemerintahlah yang membiayai buzzer untuk menekan para kaum oposan yang menyudutkan pemerintah. Tetapi secara logika apa iya pemerintah mau mengacaukan sendiri pemerintahannya lewat keriuhan dimedia sosial? Sebaliknya apa iya oposisi membentuk buzzer pula? tentu tidak masuk akal karena bagaimana membiayai dan mengontrolnya.
Sampai saat ini penulis tidak dapat menarik kesimpulan siapa sebenarnya buzzer- buzzer ini? karena mereka ikut menyumbang sebagai pemakai medsos dan internet di Indonesia yang paling tidak sopan. Hal Ini berdasarkan riset tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020. Hasilnya, Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei.
Lalu kita "Indonesia" harus bagaimana? Bagaimana peran negara dalam memberi edukasi sejak dini? apakah pemerintah lengah mengawasi medsos? kontrol orang tua, peran sekolah, dan lingkungan sekitar bagaimana?
Ini PR kita semua, PR bangsa ini...
Wallahu a'lam bish-shawab,
Bumi Anoa, 20/03/2022
Penulis: Hidayatullah/Ketua Presidium JaDI Sultra
Referensi: Diolah dari berbagai sumber
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI