Lalu apa yang di ubah dari gerakan provokasi kedua belah pihak ini? Tidak ada. Justru akhlak dan moral bergeser dimana didunia nyata bagai malaikat tetapi didunia maya berubah menjadi iblis. Sehingga ada guyonan bahwa iblis sekarang lebih betah bertengger di medsos ketimbang membujuk manusia didunia nyata.
Akhirnya sedikit-sedikit riuh dan media sosial semakin berisik dan gaduh. Kehadiran buzzer-buzzer ini dengan narasi dan konten-konten menyesatkan menjadi salah satu penyebab lahirnya provokatif. Mereka tiap hari mendengungkan apapun untuk mengacaukan sebuah gagasan maupun isu tertentu.
Saya mengutip seorang analis media sosial Drone Emprit, Abdi Halim Munggaran, mengartikan bahwa buzzer adalah orang yang mendengungkan suatu isu atau informasi tertentu. Dan sesungguhnya hakikat buzzer itu untuk keperluan bisnis sama hal dengan influencer karena diawali dari akun endorser suatu produk yang ditawarkan.
Katakanlah untuk buzzer sebuah produk, bisa dipastikan dia mendapat bayaran atas jasanya. Itu yang selama ini dilakukan para artis di media sosial menjadi bintang iklan.
Ketika fenomena buzzer masuk diwilayah politik, maka ini yang menjadi masalah. Seringkali survey elektabilitas dalam kompetisi pemilihan baik Pemilu termaksud dibeberapa Pilkada menjadi bulan-bulanan buzzer-buzzer ini. Padahal Lembaga survey basisnya ilmu pengetahuan dan analisisnya berbasis akademik sehingga dari segi jasa dapat diukur dengan kerja-kerja intelektual dari sumber keilmuan.
Lalu dengan buzzer harus bagaimana membuktikan adanya bayaran atas jasa mereka? bagaiamana cara mengukurnya dalam dunia politik?
Coba lihat ulah para buzzer ini di media sosial terkait isu politik. Jika ada narasi yang mengagungkan pemerintah seolah satu komando buzzerRp0 maka akun itu langsung dibully dan penuh cacian. Hal yang sama narasi yang menyudutkan pemerintah maka buzzerRp sesuai komando menyerang akun yang melontarkan isu tersebut.
Pada akhrinya kita semua lelah dan prihatin dengan keadaan ini, bukan perubahan yang didapatkan tetapi generasi kedepan akan kehilangan keadaban yang luhur dan attitude yang baik.
Sampai kapan terjadi kecerdasan bermedsos yang memiliki penetrasi masif yang lebih bermanfaat. Padahal medsos sangat multimanfaat kalau masyarakat bijak dalam menggunakannya. Media sosial bisa menjalin pertemanan, bisa berjualan secara daring ("online"), bahkan dapat mengekspresikan ide, gagasan dan pandangan politik. Termaksud medsos merupakan wadah untuk memperoleh berita-berita dari media massa.
Pada akhirnya saya sepakat dengan salah satu pengamat Komunikasi Massa, Agus Sudibyo, melihat fenomena buzzer di media sosial perlu ada tindakan lebih keras.Â
Harus diakui banyak yang sudah melalukan penyerangan. Mereka mengganggu kebebasan berpendapat di Indonesia sebagai negara demokrasi.