Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Buzzer Politik di Media Sosial Kaya Narasi Provokatif Minim Narasi Analisis

20 Maret 2022   10:15 Diperbarui: 20 Maret 2022   10:18 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Narasi provokatif tidak akan pernah linear dalam dunia analisis. Provokatif tidak memiliki pendekatan obyektif akademis. Kalau narasi hasil analisis yang bersumber dari ketajaman dan kemerdekaan berfikir seseorang yang menghubungan antar fakta dan antar variabel maka lahirlah variabel penduga atau hipotesa (dugaan sementara), yang sama sekali belum bisa dituntut buktinya.

Sehingga narasi analisis sangat dibutuhkan dalam komunikasi dialektika untuk meretas lahirnya suatu hipotesa atau dugaan untuk saling mengisi sesama anak bangsa.

Jika semua yang kita narasikan harus ada buktinya terlebih dahulu maka tidak ada lagi rancang bangun (ilmu rekayasa). Olehnya itu narasi dalam bentuk hipotesa atau dugaan sementara tidak bisa disejajarkan dengan narasi provokatif.

Bagaimana Kondisi Media Sosial Kita?

Saya sering menulis atau diwawancara pihak media dan semua saya sampaikan dengan narasi-narasi analisis, kalaupun ada sedidkit sentuhan provokasi itu berangkat hipotesa-hipotesa untuk umpan balik tanggapan atau menunggu respons dari pihak berkompoten mengklarifikasinya.

Hanya saja belakangan ini dengan semakin meluasnya akses media sosial (medsos) dan menjamurnya media online, maka konten dan narasi-narasi provokatif bahkan sampai kepada hoax dan menyesatkan bisa tayang di media sosial.

Bahkan semua narasi provokatif itu merubah adab dan sopan santun dalam berkomunikasi seolah-olah sudah bukan peradaban manusia bumi lagi yang penuh akhlak yang diajarkan nabi dan rasul. Kita seolah-olah sudah berhadapan dengan "alien" bagai makhluk ruang angkasa seperti yang ada di film-film yang kacau dalam narasi, tidak tertata, tetapi berisik.

Seperti keadaan kekinian ada klaim tentang peran buzzer yang sering dituding mengacaukan orang dalam dialektika intelektual dan dianggap buzzer ada dikubu pemerintah. Tetapi semakin kesini keberadaan buzzer itu sudah melebur bersama yang anti pemerintah (oposisi). Kedua-duanya berubah menjadi buzzer dengan narasi yang sama "provokatif".

Akhirnya medsos dan sebahagian berita-berita media online sudah kurang diskursus analisis atau hadirnya kaum kritis. Keadaan menjadi sama dimana buzzer berhadapan dengan buzzer yang dengan terang-terangan menindas intelektualisme dan keadaban komunikasi yang baik umat manusia.

Darimana budaya komunikasi saling bully, nyinyir dan cacian ini?, karena Indonesia dari kultur, budaya komunikasi dan bahkan kita memiliki warisan bangsa berupa puisi rakyat, syair, pantun, dan gurindam, yang memiliki nilai pesan moral, agama, dan budi pekerti.

Kemudian pula kaum kritis dan analitis kita kemana keberadaan mereka? Hanya sedikit yang nampak mengutarakan ide dan gagasannya, itupun pada moment-moment tertentu saja. Banyak yang memilih bertapa dan asyik dengan dunianya dalam tembok menara gading. Mungkin saja mereka merasa diluar berisik dan sudah tidak menghargai komponen intelektualisme lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun