Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Hukum Tunda Pemilu 2024: Kebutuhan Bangsa atau Nafsu para Elit?

26 Februari 2022   02:23 Diperbarui: 26 Februari 2022   09:00 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Hidayatullah*

"Kebutuhan mendesak bangsa ini sebenarnya apa? Tunda Pemilu 2024 bukan kebutuhan bangsa justru pembajakan kedaulatan rakyat. Haruskah sesuatu yang tidak mendesak dijadikan kebutuhan?"

Awalnya sekelompok pengusaha 'BERNAFSU' meminta menunda Pemilu 2024 berkonsolidasi menziarahi elit politik dan birokrasi agar menjadi speakers (open mike) menyampaikan ke publik. Dimulai dari Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadia atas aspirasi dari para pelaku usaha. Dengan begitu entengnya menyepelekan keberadaan konstitusi negara bukanlan kitab suci agama sehingga tidak haram didiskusikan. 

Ternyata tidak berhenti di Menteri Investasi, tiba-tiba saja dalam waktu selang sehari ini diberbagai pemberitaan media online terdapat tiga pimpinan partai politik seperti Muhaimin Iskandar Ketua PKB dan Zulkifli Hasan Ketua PAN secara terbuka juga meminta hal yang sama "menunda Pemilu 2024", dengan pertimbangan pemulihan ekonomi kibat dampak dari pandemi Covid-19. Disusul Airlangga Hartarto Ketua Partai Golkar secara spesifik meminta perpanjangan jabatan Presiden Jokowi tiga periode dengan dasar aspirasi dari petani sawit di Siak, Pekanbaru.

Hanya saja publik tidak bisa menganggap sepele permintaan tunda Pemilu dan penambahan tiga periode sehingga dianggap angin lalu. Dari aspek psikologis saja menyampaikan gagasan atau aspirasi tunda Pemilu 2024 memerlukan keberanian moral dan politik yang besar untuk menyingkirkan rasa risih menyampaikannya kepada publik. Itulah kenapa bangsa kita saat ini sedang menghadapi kegilaan politik sebagai satu unsur yang membuat defisitnya demokrasi (declining democracies).

Tidak Ada Yang Mustahil Dalam Politik

Gagasan tunda Pemilu dan penambahan tiga periode bukan sesuatu yang mustahil dalam politik walaupun komplikasinya sangat berat. Sehingga tidak heran kalau gagasan ini disampaikan oleh pimpinan partai politik bagian koalisi pemerintah dan bahkan persons pejabat setingkat menteri.

Dari aspek politik, permintaan tunda Pemilu adalah gagasan yang sama dengan penambahan masa jabatan Presiden tiga periode. Karena secara politik gagasan penundaan pemilu cenderung lebih mudah digolkan hanya dengan diterbitkanya Perppu sepanjang Presiden menganggap ada kegentingan yang memaksa yang pernah berlaku seperti pada Pilkada 2020. Ketimbang gagasan tiga periode jabatan Presiden diperlukan amandemen UUD 1945.

Lagipula penundaan Pemiluberimplikasi pada penambahan masa jabatan bukan saja Presiden tetapi rezeki ini ikut kecipratan adalah 575 anggota DPR dan ketua umum partai politik. Dengan penundaan Pemilu maka DPR dan partai politik tidak perlu repot-repot lagi berkontestasi pada Pemilu 2024. Jadi  nafsu meminta tunda Pemilu 2024 hanya kamuflase sebagai muslihat untuk tujuan melanggengkan kekuasaan dan interst politik.  

Gagasan yang tanpa rasa risih tunda Pemilu 2024 tentu bukan by indsiden yang tiba-tiba saja seperti batu meteor jatuh dari langit. Tentu sudah melalui kajian, analisa, dan bahkan sampai pada pemetaan by design bagaimana ketika akan berhadap-hadapan atas penolakan tunda Pemilu dan jabatan tiga periode.

Persfektif Konstitusi : Benturan Keras 

Padahal bukan suatu perkara yang mudah menunda Pemilu dan menambah masa jabatan Presdien diatas dua periode karena ini hal yang serius dan syaratnya relative berat berbenturan keras dengan konstitusi dimana Pemilu itu sirkulasi lima tahunan sebagaimana dalam amademen ketiga UUD 1945 Pasal 22 E ayat (1) berbunyi; "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali".

Kuncian lain adalah konsensus kenegaraan yang telah disepakati bersama DPR, Pemerintah dan KPU  bahwa pemungutan suara pada Pemilu 2024 dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2024. Ditindaklanjuti KPU sebagai lembaga yang memiliki otoritas menetapkan hari pemungutan suara melalui surat keputusan KPU No. 21/2022 tentang Hari dan Tanggal Pemungutan Suara Pilpres dan Pileg serentak 2024. Untuk menunda Pemilu pun adalah kewenangan KPU. 

Kembali pada soal gagasan tiga periode jabatan Presiden dimana isu ini bergulir bukan saja di era pemerintahan Jokowi tetapi sejak era pemerintahan SBY. Lagi-lagi gagasan tiga periode ini tidak dimungkin dilakukan karena palang pintu konstitusi mengunci dalam Pasal 7 UUD 1945 amandemen kesatu yang berbunyi; "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan".

Hanya memang dapat dimungkinkan pasal 7 tersebut diubah dengan menempuh prosedur amandemen kelima UUD 1945 yang diajukan oleh minimal 1/3 anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD. Lalu sidang untuk mengubah pasal harus dihadiri minimal 1/3 anggota MPR, kemudian mendapat persetujuan dari 50 persen tambah 1 orang anggota MPR.

Kalau prosedur amandemen UUD itu tercapai, maka semula jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi dua periode dapat dianulir tiga periode ataupun seumur hidup dan setelahnya bersifat mengikat dan hanya dapat dianulir melalui proses amandemen UUD 1945 berikutnya.

Hanya saja diera reformasi ini sudah lima kali Pemilu belum ada elit politik yang aneh-aneh minta Pemilu ditunda. Nanti era ini (saat ini) menjelang perhelatan Pemilu 2024 baru ada pihak yang tidak risih menyampaikan penundaan Pemilu tanpa rasa malu dan tanpa beban sejarah dihadapan publik (rakyat). Lain hal dengan isu tiga periode bukan gagasan baru dipemerintahan Jokowi, tetapi isu ini pernah bergulir sebelumnya pada pemerintahan SBY.

Menurut Siti Zuhro peneliti politik dari LIPI menuturkan bahwa isu perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode muncul sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo. "Isu presiden tiga periode bukan yang pertama muncul. Ketika SBY memerintah pun muncul usulan presiden tiga periode. Usulan tersebut (waktu itu) mendapat penolakan yang luas dari publik sehingga kandas. Era Jokowi isu tersebut muncul kembali," ujar Siti kepada Kompas.com, Senin (15/3/2021).

Tunda Pemilu Berdampak Caos dan Krisis Legitimasi

Ketika umpamanya benar terjadi Pemilu 2024 ditunda, maka lembaga yang berwenang menundanya hanyalah KPU dengan dasar produk hukum berupa Perppu diterbitkan Presiden dengan alasan kegentingan yang memaksa. SetelahPemilu tertunda, lalu apa

Karena konsekuensi seriusnya adalah pasca penundaan Pemilu maka masa jabatan Presiden dan Wapres, para Menteri (Kabinet), anggota DPR, DPD, dan MPR akan berakhir periodesasinya hanya lima tahun dan habis dengan sendirinya. Sementara tidak ada dasar hukum lembaga mana yang berwenang memperpanjang jabatan para pejabat tersebut. Bagaimana cara menciptakan kewenangan dan siapa yang akan melahirkan produk hukum memperpanjang masa jabatan tersebut disaat masa jabatan selesai?

Maka situasi ini cukup mengerikan dengan potensi konflik yang berdampak caos dan bisa meluas, terjadi krisis legitimasi berimplikasi kepada krisis kepercayaan. Karena tidak ada dasar konstitusional dan pijakan hukum yang kuat maka terjadi kevakuman pengaturan hukum dan tidak ada pihak yang berwenang untuk menyelenggarakan negara jika negara menghadapi krisis seperti ini.

Maka aspirasi tunda Pemilu 2024 itu benar-benar suatu kebablasan, keteledoran tanpa mempertimbangkan dampaknya yang cukup besar bagi bangsa dan rakyat ini akibat dari buah nafsu politik yang tidak terkendali.

Respons Presiden Jokowi?

Terhadap gagasan penambahan jabatan tiga periode ini sempat mendapat respons tegas dari Presiden Jokowi yang jelas-jelas menolak dan merasa tertampar dengan isu ini. Hanya saja ketegasan yang disampaikan Presiden Jokowi bersifat personal tidak dalam kapasitas sebagai Kepala Negara. Karena sejauh ini justru isu penambahan jabatan tiga periode sudah menyasar pada gagasan penundaan Pemilu 2024 yang menciptakan babak baru kegaduhan politik ditengah beban rakyat yang semakin meningkat.

Sejumlah hidden agenda tiba-tiba muncul (atas nama) aspirasi pelaku usaha terdampak Covid-19, aspirasi petani sawit, sampai perang Rusia dan Ukraina bisa dianggap terhubung dapat menunda Pemilu 2024. Seandainya gagasan ini disampaikan masyarakat awam mungkin hanya lelucon, menjadi berbeda lelucon ini disampaikan oleh setingkat menteri dan ketua partai tentu menjadi serius karena mereka faham konstitusi tetapi sengaja ingin menabraknya.

Harusnya kebebasan para menteri dan elit parpol yang notabene bagian koalisi pemerintahan dapat dihentikan cukup dengan sedikit "hardikan" dari Presiden atas nama Kepala Negara agar mereka dapat berhenti menyuarakan ini karena selain berbenturan dengan konstitusi negara, menciptakan potensi konflik (caos), krisis legitimasi dan juga bagian upaya pembajakan kedaulatan rakyat.

Tunda Pemilu tanpa alasan konstitusi yang kuat dan perpanjangan tiga periode adalah penyimpangan bukan saja norma hukum (konstitusi) tetapi juga norma etika berbangsa dan bernegara. Sehingga Presiden harus turun tangan memberikan wejangan bagaimana penerapan akhlak berkuasa untuk membatasi nafsu politik yang terlampau sewenang-wenang.

Kelompok Para Bandit

Apapun itu gagasan tunda Pemilu 2024 dan perpanjangan tiga periode Presiden adalah tabiat amat buruk dalam demokrasi konstitusional bangsa ini ditengah lembaga-lembaga demokrasi kita sedang berfungsi dengan baik. Bahkan jadwal Pemilu sudah disepakati pada 14 Februari 2024 oleh DPR bersama KPU dan Pemerintah sebagai hasil dari buah konsensus politik. Bahkan anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 sudah dipilih DPR sejak 17 februari 2022.

Maka dengan mencermati tingkah laku elit politik kita yang muter-muter berkonsolidasi tunda Pemilu 2024 bagaikan kelompok para bandit atau gerombolan-gerombolan yang merencanakan sebuah pembajakan didalam kapal sendiri. Karena hanya kelompok bandit yang mau membajak "kedaulatan rakyat" dan merampas demokrasi Indonesia yang berdasarkan hukum atau negara hukum demokrasi (constitutional democracy) sebagaimana pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Ketika tidak ada lagi kontrol moral dan kepatuhan terhadap rule of law dan rule of ethics, demokrasi yang berkualitas tak mungkin bersemi dan politik yang beradab tak dapat dibangun.Tanpa kepatuhan atas aturan hukum dan etika itu, maka yang berkuasa terhadap negara adalah mereka para bandit.

Pemilu Instrumen Utama Demokrasi

Mengutip Surbakti dkk (2018) menyatakan bahwa Pemilu merupakan mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik, dan atau mengenai sirkulasi elit, secara periodik dan tertib, serta mekanisme pemindahan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat kedalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab.

Sehingga agar tertib sirkulasi elit secara periodik maka Pemilu adalah satu-satunya instrumen demokrasi yang paling utama. Karena instrumen paling utama itulah sebagaimana pengalaman Indonesia pada Pemilu pertama era reformasi tahun 1999 diselenggarakan walau kondisi bangsa masih mengalami krisis multidimensi baik aspek politik, ekonomi, sosial dan bahkan aspek ketatanegaraan dan kelembagaan demokrasi belum terkonsolidasi dan berfungsi baik seperti saat ini.  

Mencermati permintaam segerombolan pengusaha dan elit partai meminta tunda Pemilu 2024 alasan perbaikan ekonomi bangsa tentu tidak memungkinkan dapat dilakukan karena landasan hukum yakni UU No. 7/2017 tentang Pemilu tidak bisa menjadi payung hukum yang kuat apabila Pemilu ditunda secara nasional.

Alasan pandemi Covid-19 dan dampak ekonomi bukan alasan yang kuat untuk mampu memberikan landasan hukum bagi penundaan Pemilu serentak nasional 2024. Bukankan berbagai belahan negara didunia juga menyelenggarakan Pemilu dalam keadaan pandemi Covid-19? Bukankan di Indonesia juga pada tahun 2020 lalu sukses menyelenggarakan Pilkada serentak dan bahkan ekonomi lokal menjadi bergerak dan hidup?

Jika segerombolan elit ini hendak menunda Pemilu 2024, hal yang mesti dilakukan adalah dengan diterbitkannya Perppu untuk mengubah UU No. 7/2017 tentang Pemilu. Tetapi syarat diterbitkannya Perppu ketika terjadi suatu keadaan kegentingan memaksa sehingga bagi Presiden dapat mengeluarkan Perppu.

Lalu saat ini kondisi kegentingan apa yang memaksa untuk tunda Pemilu 2024? Apakah Presiden dapat dengan mudah mengeluarkan Perppu hanya karena analisa dan aspirasi para elit politik dan segelintir pelaku usaha dan aspirasi petani sawit?

Pembela Demokrasi Jangan Asik Dipertapaanya

Yang perlu dicatata bahwa para pembajak demokrasi itu tidak akan gentar dengan para pembela demokrasi yang ahli Pemilu tetapi hanya diam dan asik bertapa tanpa peduli lingkungan demokrasi yang tercemar. Atau karena saat ini kita mengalami defisit pembela demorkasi sehingga memberi keleluasaan para pembajak demokrasi untuk mencoba mengoyak-ngoyak kedaulatan rakyat?

Penulis yakin para bandit ini berhadap-hadapan pun mereka tidak akan gentar jika para pembela demokrasi hanya asik didunia pertapaannya. Asik dalam ruang kelas, seminar dan penelitian lalu tarik kesimpulan.

Padahal satu-satunya yang mengangkat martabat negara kita dari gangguan gerombolan para bandit ialah sejauh mana semangat pembelaan terhadap sistem demokrasi bersama-sama rakyat dan negara ini bertekad untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya. Jadi ada keadilan sosial dalam Pemilu itu, dan negara harus hadir menfasilitasi terwujudnya keadilan itu. Karena tidak akan ditemukan keadilan sosial dan moralitas yang rasional dalam kekuasaan para bandit, justru kesewenang-wenangan yang rakyat terima.

Maka kepada pembela demokrasi keluarlah dari dinding tebal pertapaan itu, rakyat menunggu kalian untuk mengakhiri 'NAFSU' para bandit yang meminta "Tunda Pemilu 2024".

Sekian..!

Bumi Anoa, 26 Februari 2022

*Penulis; Ketua Presidium JaDI Sultra/Praktisi Hukum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun