Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Apa Mendadak Tertutup?

22 Februari 2022   20:35 Diperbarui: 22 Februari 2022   21:13 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seri Diskusi Hukum dan Demokrasi : 19/02/2022 Forum Eksaminasi Publik (FEksP) Sulawesi Tenggara

"Demokrasi itu kalau diibaratkan pohon ada tiga ranting besar yang patah pada proses pemilihan KPU dan Bawaslu di Komisi II DPR kemarin yaitu ranting transparansi, ranting keadilan, dan ranting kemuliaan"

Penulis sudah tidak tahu mau berpesan apa lagi. Hanya saja sebagai penggiat demokrasi sulit rasanya berdiam diri di era serba digital dan terbuka ini. Kalaupun harus diam, maka selalu timbul banyak pertanyaan, kenapa diam?

"Kewajiban moral bagi penggiat demokratisasi di era ini berat rasanya menyimpan rahasia, mungkin sampai akhir hayat kalau kran kebebasan berbicara tak disumbat. Maka kita coba menunaikan kewajiban sebagai warga negara untuk bicara dan terus bersuara. Tentunya juga kita ingin mengorek isi hati dan pikiran kebanyakan kita yang tahu akan sesuatu "tapi diam" kenapa?" 

Dua hari setelah pemilihan anggota KPU dan Bawaslu oleh Komisi II DPR, publik serasa dikerjain para wakilnya di senayan. Sama hal di Forum Eksaminasi Publik (FEksP) menggelar diskusi seri hukum dan demokrasi. Penulis didaulat sebagai narasumber pada diskusi kali ini.

Topik utama seputar pemilihan anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 yang menciderai kepingan kepercayaan publik yang berhari-hari atau tepatnya empat hari dengan setia mengikuti live jalannya proses fit and propertes Komisi II DPR sejak 14 s.d 17 Februari 2022.

Sebagai narasumber penulis menyampaikan beberapa pokok-pokok pikiran dan apa sesungguhnya yang terjadi, berikut ini : 

Bahwa mereka DPR sebagai salah satu pilar negara yang memangku kekuasaan legisltaif dalam mengemban amanah dan aspirasi rakyat untuk mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan (eksekutif).

Sebagai salah satu pemangku kepentingan bangsa tentu DPR memiliki otoritas dan mengendalikan sejumlah kewenangan-kewenangan dalam ruang lingkup legislasi, budgeting dan controling.

Hanya saja tetap dibatasi dan dilarang berbuat sesuka hati apalagi sewenang-wenang terhadap aspirasi dan kehendak rakyat yang diwakilinya.

Kalau itu yang terjadi maka peradaban demokrasi dan ilmu pengetahuan tidak akan pernah berkembang dengan baik dalam situasi penuh rekayasa dan sesuka hati terhadap pemenuhan keadilan yang mengabaikan suara-suara kehendak warga negaranya.

Kalau saja terus-terusan seperti ini, para pemangku-pemangku kekuasaan negara dengan menggunakan otoritas dan sarana kekuasaan dan kewenangan dengan gaya sesuka hati dan masa bodoh untuk menghadapi berbagai kritikan dan protes rakyatnya, jangan salahkan mereka bila menduga ada suatu kebusukan yang hendak ditutupi dari mata mereka.

Sungguh berat menghadapi situasi saat ini. Ketika hukum, demokrasi dan kebijakan negara dipraktikan dengan cara yang tidak benar. Mungkin karena dianggap yang memerintah atau pemangku kepentingan itu adalah manusia. Tetapi sebenarnya ketika manusia memiliki pikiran yang adil, maka manusia ini akan memegang hukum dan kebijakan dengan keseimbangan, kepastian dan kemanfaatan.

"Maka ketika berlaku tidak adil dalam menerapkan hukum dan kebijakan sama halnya membuka peluang hukum dan kebijakan digunakan secara tidak benar"

Bencana paling besar bagi sistem demokrasi ketika satu prinsip demokrasi dimana penerapan hukum dan peraturan ditetapkan secara sepihak dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa (Pemerintah dan/atau DPR). 

Kilas Balik Pemilihan Anggota KPU dan Bawaslu

Pemilihan anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 oleh Komisi II DPR tentu saja menuai kritik dan sorotan publik. 

Mula-mula memang berbagai pihak telah menyoroti nama-nama anggota yang terpilih telah beredar beberapa hari sebelum proses fit and propertes (FPT) Komisi II DPR dimulai. 

Berbagai pihak telah menduga kuat bahwa deal politik telah selesai melalui lobi-lobi politik baik calon anggota dengan partai-partai politik di DPR. Sejumlah pihak telah mengingatkan DPR agar mekanisme terbuka dalam proses wawancara FPT untuk memilih anggota KPU dan Bawaslu jangan sampai hanya forum formalitas yang sesungguhnya kompromi telah selesai. 

Namun semua masukan dan keraguan banyak pihak itu terbukti. Keputusam Komisi II DPR yang dilakukan dengan mekanisme tertutup menetapkan pilihan nama-nama sama persis dengan yang beredar dalam pesan berantai sebelum proses fit and propertest dimulai.

Kesimpulan publik bahwa sulit dihindari para komisioner KPU maupun Bawaslu terpilih memiliki beking politik dari partai politik tertentu hingga bisa terpilih. Kendatipun yang memilih adalah unsur dari Komisi II DPR tetapi posisi politiknya tetap sebagai kader partai politik. Kuat dugaan memiliki relasi interst dengan induk partai politik masing-masing melalui kedutaannya di DPR disebut fraksi-fraksi. 

Tetapi itulah kenyataan politik dan tradisi ketatanegaraan kita Indonesia yang sudah berlangsung lama. Sebaik apapun UU dibuat dan seindependen bagaimanapun konstruksi kelembagaan dibuat sepanjang yang menentukan kewenangan dan otoritas di lembaga politik dan yang milih pejabat-pejabatnya adalah para politisi, maka suatu keniscayaan kalau tidak ada intervensi politik maupun kepentingan (interst) tertentu. Tujuannya tentu agenda politik kedepan tidak terputus komunikasi-komunikasi yang sudah dibangun. 

Publik Hanya Pasrah Dengan Catatan Buram

Penulis yakin siapapun komisioner KPU dan Bawaslu terpilih termaksud yang tidak terpilih, secara personal dan moral integriti adalah lahir dari orang-orang yang terus menjaga integritas dan indenpendensinya. 

Belum lagi sebelum menuju tahap seleksi akhir yang berdimensi politik di DPR, calon-calon tersebut sudah melalui proses seleksi yang panjang dan ketat. Sejumlah tahapan seleksi mulai administrasi, kecakapan intelektual, psikologi, uji publik, sampai interview visioner dam program mereka dihadapan tim seleksi yang kompoten diberbagai bidang ilmu dan keahlian.

Tetapi dengan mekanisme pemilihan yang formalistik dan tertutup di DPR menjadikan integritas dan independensi para calon ikut tercemar. Sangat mungkin kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu menjadi rendah. Sebab, dalam prosesnya lebih kental aroma lobi-lobi politik dibanding soal independensi maupun integritas.

Literasi publik sudah cukup banyak dan terakhir menimpa mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, menjadi salah satu bukti bagaimana publik meragukan proses pemilihan DPR terhadap para penyelenggara pemilu kerap kali digunakan untuk kepentingan politik. 

Keadaan seperti ini publik hanya bisa pasrah dan membayangkan kedepan agenda pesta demokrasi Pemilu dan Pilkada serentak yang digelar penyelenggara pemilu akan banyak direcoki kepentingan dan kegenitan para politisi. 

Sulit rasanya untuk terlalu berharap atau menuntut sesuatu yang ideal pada aspek independensi dan integritas. Padahal Pemilu yang berkualitas itu diukur sejauh mana penyelenggaraan pemilu memiliki derajat integritas terpercaya mulai dari proses maupun hasilnya. 

Tetapi lagi-lagi dengan kondisi ini dengan cara apa mengingatkan dan melakukan protes dan interupsi apabila terjadi kongkalingkong antara penyelenggara dan partai politik? yang memiliki hajatan adalah partai politik dan yang menyelenggarakan adalah KPU dan Bawaslu.

Dukungan dan Partisipasi Publik Sangat Dibutuhkan 

Tetapi ditengah kepasrahan publik tentu saja KPU dan Bawaslu terpilih sangat mengharapkan dukungan dari sisa-sisa kepercayaan yang masih ada walau telah tergerus.

Terlepas bagaimana para komisioner dianggap tidak steril dari interst politik, tetapi komisioner terpilih juga pasti menyimpan keteguhan sikap kemandiriam, independesi dan integritasnya. Mereka sangat membutuhkan dukungan publik melalui partisipasi aktif masyarakat sebagai penyeimbang atas rendahnya trust publik kepada elit politik. 

Dan demokrasi ini bagaimanapun ketidakpercayaan terhadap mekanisme politik yang terjadi harus tetap berjalan. Pemilu dan Pilkada borongan tahun 2024 itu sangatlah berat dan melelahkan.

Hajatan demokrasi ini tidak boleh tertunda apalagi gagal. Pemilu 2024 itu satu-satunya mekanisme konstitusional dengan cara yang damai dalam sirkulasi pergantian kepemimpinan bangsa dan wakil-wakil rakyat. 

Apabila gagal, maka stabilitas nasional terancam, konflik sosial dan politik tidak bisa dihindari. Semua beban politik dan ongkos sosial yang diakibatkan itu akan dipikul oleh rakyat dan bangsa ini dalam jangka waktu yang lama untuk recorvery. 

wallahu alam bishawab

Penulis; Praktisi Hukum/Ketua Presidium JaDI Sultra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun