Oleh : Hidayatullah*
"Bukankan perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke daerah baru adalah sebuah cita-cita?"
Ditahun 2019 lalu ketika Muhammad Jusuf Kalla (JK) masih sebagai Wakil Presiden mengatakan, pemerintah ingin ibu kota negara yang baru seperti Washington DC. Pusat pemerintahan tidak perlu menjadi kota yang sibuk seperti New York yang merupakan pusat bisnis dan perdagangan. Namun, rencana tersebut masih membutuhkan kajian mendalam sehingga masyarakat perlu bersabar menunggu cita-cita ini terwujud.
Apa yang disampaikan JK bahwa perpindahan IKN adalah sebuah cita-cita yang ingin diwujudkan karena ide dan gagasan pemindahan ibu kota negara memang sudah ada sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama Soekarno.
Sumber Wikipedia.id, di tahun 1957 Soekarno menyiapkan Palangkaraya Ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah sebagai calon ibukota baru Indonesia. Soekarno menilai Palangkaraya secara geografis tepat berada di jantung khatulistiwa dan memiliki cakupan wilayah yang luas.
Itulah rencana Soekarno yang tidak terwujud sampai diakhir kekuasaanya. Bahkan dalam masa berkuasa sebagai Presiden pertama sejak 1945 - 1966, Soekarno malah menjadikan Jakarta kota modern yang menuju metropolis.
Bahkan Jakarta kemudian ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta melalui UU Nomor 10 Tahun 1964 pada 31 Agustus 1964 dengan status Daerah Khusus Ibukota (DKI).
Selain itu Soekarno pula membangun bangunan-bangunan yang monumental antara lain tugu Monumen Nasional (Monas), Masjid Agung Istiqlal, Gelora Bung Karno, Monumen Pembebasan Irian Jaya di Lapangan Banteng.
Sedangkan pada masa pemerintahan Presiden RI kedua Soeharto, cerita dan gagasan perpindahan IKN dari Jakarta ke Palangkaraya seakan terkubur dan sama sekali tidak pernah menjadi bahan perbincangan baik tingkat elit, pakar maupun rakyat.
Justru Jakarta semakin berkembang sebagai pusat ekonomi dan politik Indonesia. Pembangunan gedung-gedung bertingkat baik kantor pemerintah maupun swasta serta kawasan perbelanjaan. Pesatnya pembangunan Jakarta pada saat itu membuat angka urbanisasi dari wilayah lain di Indonesia ke Jakarta terus meningkat.
Pada akhirnya Jakarta menghadapi masalah kemacetan akibat pertumbuhan penduduk dan arus urban. Jalan raya sudah tak mampu mengejar pertumbuhan jumlah kendaraan yang terus melonjak. Transportasi publik tidak memadai dan menekan kemacetan lalu lintas Jakarta.
Berbagai cara, kebijakan maupun edukasi yang dilakukan Pemerintah Jakarta bahkan tambahan pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi massal bukan menyelesaikan kemacetan justru menambah kemacetan baru. Selain macet Jakarta adalah kota banjir dan langganan mengalami curah hujan yang deras.
Selanjutnya ide dan gagasan perpindahan IKN nanti kemudian di era Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kajian tentang pemindahan ibu kota negara berlanjut. Ibu kota yang baru harus dipisahkan dari pusat ekonomi dan komersial, artinya menjauh dari Jakarta. Tetapi entah seperti apa pembahasan dan kajian IKN di era SBY tiba-tiba tidak berlanjut. Untuk ini penulis tidak menelusurinya lebih jauh.
Nanti pada Pemerintahan Jokowi di tahun 2017 lalu gagasan perpindahan IKN ini menjadi wacana yang serius dan cukup terbuka sehingga menjadi perbincangan hangat dipublik. Anehnya awal-awal wacana perpindahan IKN ini tidak ada prokontra setajam setelah UU IKN disahkan DPR RI pada sidang paripurna, 18 Januari 2022 lalu.
Dengan persetujuan DPR itu maka Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia resmi akan berpindah dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur dengan nama Nusantara.
Setelah UU IKN disahkan maka resmi berpindah ibu kota negara dengan nama "Nusantara" di Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur. Lalu kemudian menjadi ramai diperbincangkan dan dipastikan pihak yang kontra adalah yang itu-itu saja atau itu-itu lagi. Sampai adanya pemidanaan terhadap pihak yang disebut kaum oposisi atau pasnya disebut oposan.
Kenapa oposan karena oposisi sejatinya disematkan kepada parpol atau anggota parpol di parlemen yang tidak pro pemerintah. Tetapi oposisi yang ada saat ini diluar parlemen dan non parpol tetapi cukup lantang narasi-narasi provokasinya. Komunitas ini narasi analisisnya lemah, dan sudah bagian sebuah komunitas yang agak sulit disembuhkan (akal dan nalar) karena sebaik apapun pemerintah tetap tidak akan baik dimata kaum oposan ini.
Tetapi belakangan kaum oposan ini ternyata didukung sekelompok kaum kritis dan aktivis civil society afiliasi beberapa pakar dengan narasi yang mulai bersifat analitis. Bahkan sampai terbentuk petisi 45 yang menolak pengesahan UU IKN yang otomatis menolak perpindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Nampak bahwa ternyata prokontra IKN hanya segelintir oposan dan wacana berputar saja pada tingkat elit. Kendatipun ramai nitizen atas penolakan IKN di media sosial tetapi hampir semua narasi provokatif kering dari narasi analisis dan solusi kongkret. Secara offline tidak ada aksi-aksi massa yang turun kejalan menolak perpindahan IKN ini.
Yang menarik adalah apa sih sebenarnya yang diinginkan para penolak perpindahan IKN ini? yang ramai diperbincangkan adalah soal pemborosan anggaran, soal waktu yang tidak tepat karena dalam keadaan pandemi Covid-19, soal utang negara yang menumpuk, soal ekonomi bangsa yang masih morat-marit, sampai kepada soal politik electoral bahwa akan ada perpanjangan jabatan Presiden atau Pemilu 2024 ditunda.
Tetapi mencermati landasan gerakannya para penolak IKN yang membuat keraguan adalah minimnya kajian-kajian intelektual dan data-data yang disajikan. Gerakan penolakan tidak berdasarkan data maupun penalaran yang bisa meyakinkan rakyat dan elit politik.
Cara bergeraknyapun dengan cara pandang  yang masih tradisional kendatipun menggunakan sarana digital, online dan media sosial. Karena sampai lahir petisi dan koalisi yang bersifat online dan bergerak dimedia sosial.Â
Tetap saja walaupun merubah gaya dari offline ke online cara pandang yang dipakai masih 'tradisional'.
Bagi penulis sama sekali tidak menemukan sudut pandang baru, yakni menolak perpindahan IKN sekaligus memberikan solusi konkret seperti apa? Kalau tidak pindah lalu setelahnya apa? lalu harusnya kapan?
Jangan-jangan, pergerakan ini hanya sekedar demi eksistensi, latah-latahan dan entah ujungnya seperti apa. Kalaupun targetmya politik untuk menurunkan wibawa Presiden dan pemerintahannya atau mosi tidak percaya dan berhasil. Lalu mau apa selanjutnya? ini yang sama sekali tidak ada narasi analisis yang kongkret dan menawarkan solusi. Akhirnya mentok pada narasi-narasi provokatif.
Tapi sampai saat ini terus saja menggembar-gemborkan bahwa sebetulnya perpindahan IKN adalah proyek oligarki dan sekaligus melindungi cukong dan para pebisnis tambang yang merusak lingkungan. Namun lagi-lagi, penulis merefleksi kebelakang dimana semenjak kajian pindah IKN masuk di program Bappenas, tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan :Â Dahulu kenapa program IKN tidak ditolak ramai-ramai sebelum RUU IKN disahkan? dan sekarang setelah disahkan lalu menolak IKN, lalu apa?"
Bisa saja, kita umpanya sudah tahu apa yang kita tolak dan mengapa kita menolak IKN. Namun, jika ternyata dibatalkan IKN, lalu setelah itu apa lagi? pembangunan awal IKN sudah berjalan. Kalau aspek lingkungan dianggap sudah rusak atau dulu tempat jin membuang bayi, lalu kenapa dan buat apa narasi provokatif seperti ini tanpa data dan kajian analitis.
Tentu saja kaum oposan tidak memiliki amunisi menjawab dan solusi kongret karena narasinya hanya untuk provokasi saja. Pindah atau tidak IKN bukan itu tujuannya karena targetnya agar wibawa Presiden Jokowi dan pemerintahnya itu setiap hari harus dicibir dan dicecar oleh rakyat.
Penulis sepakat bahwa kritik kepada Pemerintahan sungguh penting sebagai kontrol tetapi harus disertai dengan cara yang intelektual, data-data tersaji dengan akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan serta disertai solusi kongretnya.
Jadi misal begini, salah satu hal yang sederhana kenapa ibukota negara Jakarta harus pindah karena tingkat kemacetan tinggi, alasan perkotaan yang sulit ditata rapi dan soal banjir Jakarta yang tak kunjung dapat diatasi.
Lalu kritikan kita adalah tidak harus solusinya pindah ibukota tetapi menyelesaikan permasalahan yang ada di DKI Jakarta.Â
Lalu bagaimana dan pakar mana yang bisa selesaikan masalah yang ada di DKI saat ini? buktinya tidak ada juga yang mampu menyelesaikan masalah perkotaan Jakarta.
Bahkan masalah Jakarta siapapun pemimpin DKIÂ tetap saja akan menuai kecaman dan sorotan walapun dikelilingi sejumlah pakar dan ahli ekonomi, ahli polusi udara, maupun ahli permasalahan perkotaan.
Penulis menjamin kalau pakar-pakar penolak IKN ini tidak bisa juga menemukan dan menyelesaikan dengan solusi kongkret mengatasi masalah kemacetan tinggi, soal tatakota perkotaan, soal tingkat polusi yang tinggi, dan mengatasi banjir, dan apalagi disertai gempa.Â
Maka dipastikan solusinya pasti diatas kertas, dan teori imajinasi intelektual tanpa bisa diimplementasikan dalam wujud kerja nyata agat Jakarta bebas macet, bebas banjir dan bebas polusi dan semrawut.
Jadi tindak nyambung antara kritikan tanpa solusi kongret, bahkan cenderung imajinatif hanya karena kuat-kuatan mencari eksistensi agar yang penting tolak pindah IKN. Setelah tolak tapi masalah perkotaan Jakarta juga tidak dapat ditemukan solusi kongkretnya.
Atau contoh kritik lainnya, misalnya kalau kita sudah berhasil membangun ibukota baru di Kalimantan Timur, apakah misalnya Djarum Group mau memindahkan pabriknya ke Kalimantan atau ke Sulawesi. Atau Toyota, atau investor-investor lain, apakah mereka mau?"
Jawabannya adalah tidak harus pabriknya pindah karena kaitan pabrik dengan ibukota tidak nyambung. Antara produksi dan manajemen itu berbeda tatakelolanya. Ini hanya soal manajerial. Kalau IKN pindah di Kalimantan Timur maka pengelola pabrik misal urusan pajak, administrasi perusahan atau ada pertemuan tinggal boarding naik pesawat dari Jakarta ke ibukota nusantara di Kalimantan Timur. Masa iya pabriknya harus diangkut pula ikut pindah IKN. Jadi tidak nyambung kritik tanpa mengetahui tatakelola sederhana berkaitan perusahaan maupun pabrik.
Atau kritikan lainnya yang tak nyambung dari salah satu pakar menyatakan bahwa alasan pindah IKN tersebut belum terlalu kuat untuk dijadikan landasan pemindahan IKN. Menurut pakar ini, belum ada model yang baik pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur, di mana berbagai industri, lembaga pendidikan, dan sebagainya yang masih berada di Jawa.
Justru alasan pemindahan IKN itu karena Jakarta sudah sulit dijadikan model seperti apa, dan alasan ekonomi serta pembangunan terjadi pemusatan tunggal di Pulau Jawa, terutama DKI Jakarta. Sejak zaman penjajahan pulau Jawa dan Jakarta telah menjadi magnet tunggal untuk pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Sehingga tidak terjadi pemerataan pembangunan dari semua aspek.
Bahkan investasi sebanyak apapun dengan kondisi hanya ada satu magnet tunggal dan dominan tetap tidak mempan dan tetap tidak akan terwujud pemerataan dengan teori ekonomi apapun. Maka pindah IKN itu adalah solusi untuk menemukan model yang baik untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan ekonomi.
Jadi banyak yang tidak terlalu nyambung cara kritik penolak perpindahan IKN, bahkan banyak yang ragu-ragu dengan kritikan mereka sendiri karena alasan-alasan yang tidak kuat dan rasional.
Coba kita berselancar melihat perdebatan dan data-data yang berserakan di internet. Banyak data yang tersedia di kanal media mainstream yang postingannya punya kecenderungan soal ketidakpuasan politik tertentu ditarik kepenolakan IKN. Kelihatanya kaum oposan yang menarik kelompok kritis dan beberapa pakar untuk tolak IKN kontra dengan pemerintah, justru semakin sulit untuk melakukan pergerakan yang masif.
Justru menjadi kebalikannya dimana propaganda pemerintah didukung DPR dan rakyat yang pro perpindahan IKN jauh lebih keren dan rasional. Pada akhirnya kelihatan dua kutub antara kutub narasi provokatif diwakili kubu oposan sedangkan kutub narasi analisis dan harapan yang baik dikutub pemerintah dan masyarakat yang pro IKN pindah di Kalimantan Timur.
Pertanyaan kritis penulis adalah: masyarakat sekarang menikmati yang mana apakah lebih banyak yang pro atau yang kontra dengan perpindaham IKN?
Kalau yang penulis lihat banyakan yang pro pindah IKN ke Kalimantan Timur. Karena realitas itu tidak dapat diingkari dengan narasi apapun terlebih narasi provokatif. Misal semua orang yang tinggal di Jakarta atau orang daerah datang berurusan di ibu kota Jakarta, maka masalah pertama adalah kemacetan (sudah pasti), lalu ketika curah hujan tinggi dipastikan Jakarta tenggelam oleh banjir, dan Jakarta adalah kota yang tidak ramah lingkungan dan udaranya sudah tercemar akibat polusi.
Maka sebagai penutup penulis mengajak kita semua terutama kaum oposan agar tinggalkan kritik dengan narasi provokatif. Bangun dan temukan kritik dengan perspektif baru agar kritik itu betul-betul mempengaruhi perubahan pola pikir dengan mengedepankan instrumen kajian agar ketika menjadi oposan atau oposisi lebih rasional dan elegan.
Rakyat kita pasti berterima ketika paradigma pergerakan provokatif berubah pada paradigma yang berorientasi pada solusi dan perubahan.
Demikian.
*Penulis: Praktisi Hukum/Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia Sulawesi Tenggara (JaDI Sultra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H