Prakata
"Salah satu prinsip demokrasi dimana hukum dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku maupun pembuatan perundangan tidak boleh ditetapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa (Pemerintah dan/atau DPR)".
Penarikan pembahasan revisi UU Pemilu dalam Proglegnas prioritas 2021 oleh Pemerintah bersama DPR kita, seakan mempertontonkan bagaimana relasi yang begitu berjarak antara elit kekuasaan dengan warga negaranya. Padahal pelaksanaan demokrasi selalunya atas dasar konstitusi sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi.Â
Perwujudan demokrasi kita dibuat dalam bentuk dimana konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land). Prinsip yang dibangun adalah, partisipasi, persamaan dan kesederajatan manusia, yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Jadi negara dan pengendali kekuasaan dalam negara demokrasi tidak bisa menutup mata dan telinga atas suara-suara warganya untuk perbaikan dan perubahan.
Kerumitan Teknis dan Problem Hukum
Semenjak bergulirnya sikap final DPR dan Pemerintah yang menarik revisi UU Pemilu dari daftar prioritas Proglegnas 2021 ini, maka dikalangan civil soceity terus melakukan diksusi dan kajian-kajian menyikapinya. Termaksud  dalam banyak cerita pengalaman teknis yang pernah di lalui. Keseluruhan kajian dan diskusi itu muaranya menyoroti ketika Pemilu dan Pilkada 2024 berjalan tanpa revisi UU Pemilu maka akan mengalami sejumlah masalah hukum dan kerumitan teknis apabila di selenggarakan  pada tahun yang sama 2024 (April untuk Pemilu dan November untuk Pilakda).
Dari soal terminologi electoral saja Pemilu dan Pilkada tetaplah berbeda karena Pilkada tetaplah bukan bagian rezim Pemilu itu sendiri, walau pelaksanaanya diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara Pemilu yang sama yakni KPU, Bawaslu, termaksud DKPP (satu kesatuan penyelenggara pemilu).
Juga dari segi UU dan regulasi banyak yang berbeda baik teknis maupun hukumnya. Contoh dari soal definisi hak memilih saja antara definisi pemilih di UU Pemilu berbeda dengan definisi pemilih di UU Pilkada. UU Pilkada melarang orang yang terganggu jiwa dan ingatannya untik didaftar sebagai pemilih, sedangkan UU Pemilu tidak mendefinisikan yang prinsipnya berarti boleh.
Sama juga soal domisili pemilih lebih dari satu tempat tinggal dimana UU Pilkada bersifat de jure sesuai alamat KTP elektronik tetapi UU Pemilu bisa de jure bisa juga de facto.
Ketentuan lainnya yang berbeda adalah penyebutan nomenklatur pemilih pindahan, pemilih tambahan dan/atau pemilih khusus pada kedua kegiatan elektoral Pemilu dan Pilkada. Katakanlah pada Pilkada ada beberapa macam jenis pemilih terdaftar yang dilayani dengan prosedur yang berbeda-beda, yakni DPT, DPPh, dan DPTb. Sementara pada Pemilu jenis pemilihnya terdiri atas DPT, DPTb dan DPK.
Kalau definisi jenis pemilih pada Pemilu di 2024 nanti maka proses pemutakhiran untuk daftar pemilih berkelanjutan tentu secara teknis dan hukum akan menimbulkan kerancuan untuk mendefisinikannya di lapangan karena dengan nomenklatur yang sama namun aplikasinya di lapangan berbeda, terutama untuk pemilih pindahan dan pemilih tambahan.