Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Efektivitas Pengawasan Tahapan Pemilu/Pemilihan 2020 dan Daftar Pemilih Berkelanjutan dari Perspektif Pemantau Pemilu

25 Maret 2021   16:11 Diperbarui: 25 Maret 2021   16:29 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seyogyanya untuk meneguhkan pelayanan pemilih, penggunaan istilah dan definisi pemilih sebaiknya ditetapkan sama dalam kegiatan elektoral untuk tidak membingungkan penyelenggara, peserta Pemilu dan masyarakat.


Demikian juga untuk pendaftaran pemilih terdaftar sesuai dengan alamat tertera di KTP Elektronik (pada Pemilu) yakni basis de jure atau dipersilakan pada pemilih untuk memilih alamat tempat tinggal yang ditempati ketika coklit atau didaftarkan sesuai alamat tertera di dalamnya, pilihannya bisa de jure atau de facto sesuai dengan identitasnya itu.

V. Efektifitas Pengawasan Tahapan Pemilu Pada Daftar Pemilih

Jika mengacu UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu berwenang melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran data pemilih yang bersifat administratif maupun pidana dalam kerangka Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Pengalaman selama ini menunjukkan, sebagian besar pelanggaran data pemilih masuk kategori pelanggaran administrasi. Bentuk putusan Bawaslu atas pelanggaran ini bisa berupa perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan Pemilu, dan sanksi administrasi lainnya.

Semua bentuk sanksi tersebut direkomendasikan Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota kepada KPU Provinsi/Kabupaten/Kota/PPK/PPS atau peserta Pemilihan yang wajib ditindaklanjuti. Meskipun UU menggunakan kata "wajib", tindak lanjut yang dilakukan oleh jajaran KPU banyak yang tidak jelas, apakah sudah dilaksanakan atau belum/tidak. Rekomendasi Bawaslu tidak disampaikan ke publik atau minimal disampaikan melalui link website pengawasan bahwa rekomendasi sudah ditindaklanjuti atau tidak oleh KPU.

Bahkan ironinya, ada Pengawas Pemilu terkadang mengamini begitu saja jawaban jajaran KPU tanpa disertai verifikasi dan validasi secara empirik, apakah itu secara manual atau melalui by system. Baru setelah di kemudian hari ada laporan atau temuan dari Pengawas Pemilu atau masyarakat, atau pengakuan dari jajaran KPU bahwa masih ada masalah terkait data pemilih, Pengawas Pemilu/KPU kembali "teriak" minta penundaan penetapan DPT. Biasanya permintaan perbaikan akan diberikan, sepanjang ditinjau dari sisi waktu memungkinkan atau tersedia (pengalaman Pemilu 2019).

Menyikapi pengaturan perundangan yang dikonstruksi untuk mendesain perbaikan data pemilih menjadi demikian berkepanjangan atau on process going dan sekaligus memproteksi jajaran KPU dari kemungkinan terkena jeratan sanksi administrasi dan pidana, perlu kajian khusus dan terobosan hukum. Yakni, dengan cara mendekonstruksi pengaturan semacam itu, dan membuat pengaturan penegakan hukum terhadap pelanggaran data pemilih tidak ambigu, jelas, dan applicable. Tujuannya untuk memberi ruang gerak lebih terbuka dan leluasa bagi jajaran Pengawas Pemilu untuk mengimplementasikan mandat UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang memberikan otoritas kuat dalam penindakan pelanggaran Pemilu, serta menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya.

Langkah ini juga penting untuk mendorong terwujudnya data pemilih yang komprehensif,
 mutakhir, dan akurat; memberikan kepastian hukum mengenai proses dan jadwal kegiatan pengelolaan data pemilih, termasuk juga untuk kepentingan perlindungan hak pilih setiap warga Negara. Selama ini dengan elastisitas pengelolaan, penyusunan, dan perbaikan data pemilih membuat sebagian jajaran KPU seperti berlaku easy going karena beranggapan pada akhirnya problem DPT akan selesai.

Sementara, bagi Bawaslu konstruksi hukum pengelolaan data pemilih membuat fungsi pencegahan dan terutama penegakan hukum pelanggaran data pemilih nyaris tumpul. Sedangkan bagi partai politik peserta Pemilu, isu data pemilih baik yang pro dan kontra justru digunakan untuk saling melemahkan dan saling menegasikan, dan bukan untuk mencari jalan perbaikan bersama. Di atas itu semua, dekonstruksi pengaturan penegakan hukum data pemilih menuntut kemampuan dan kesanggupan Bawaslu untuk merealisasikannya.

Apa bukti penegakan hukum dalam pelanggaran data pemilih oleh Bawaslu dianggap lemah dalam menindak jajaran KPU sampai jajarannya dapat dilihat dalam sekian banyak persidangan di MK dan DKPP, problem dan pelanggaran data pemilih acap kali dijadikan dalil dan bahkan salah satu alat bukti atau argumen untuk memperkuat pengaduan pihak pemohon/pengadu.

Sehingga penyelesaian pelanggaran data pemilih ketika masuk di Mahkamah Konstitusi (MK) atau Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu (DKPP) menjadi bukan lagi wewenang Bawaslu, melainkan di MK atau DKPP. Akhirnya MK dan DKPP akan menjadi benteng terakhir para pencari keadilan dalam penegakan hukum. Meski demikian, pokok persoalannya bergeser bukan lagi menyangkut pelanggaran data pemilih. Melainkan, terkait dengan perselisihan hasil Pemilu yang meliputi perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan hasil suara hasil Pemilu secara nasional ataupun pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun