UU ITE Mengancam Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Dalam artikel penulis diblog kompasiana 28 Januari 2021 dengan judul "UU ITE Momok Demokrasi", mengulas bahwa UU ITE telah membuktikan keampuhannya mematikan kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum termkasud dalam penyampain kebebasan berpendapat melalui media sosial.Â
Pemicu dan faktanya telah cukup banyak dengan jatuhnya vonis penjara maupun sedang dalam proses hukum terhadap para aktivis, jurnalis maupun kritikus-kritikus kebijakan publik dan politik. Tak luput pula korbanya adalah tokoh agama, tokoh masyarkat, tokoh pergerakan reformasi, maupun musisi.
Dalam sejarahnya, UU ITE ini lahir pada 2008 dimasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dilihat dari konstruksi normanya UU ITE ini semula semangatnya didasari untuk melindungi konsumen dalam melakukan proses transaksi elektronik di tengah meluasnya penggunaan internet, media sosial, termaksud media massa online dalam perekonomian nasional.Â
Selain perlindungan konsumen UU ITE ini lahir dari tuntutan reformasi bangsa tahun 1998 agar negara hadir memberikan perlindungan kepada warga dalam mengeluarkan pendapat di muka umum lisan maupun tulisan, termaksud kebebasan berekspresi individu di Indonesia.
Namus sungguh disayangkan justru sejak diundangkan pada 2008 UU ITE ini sudah banyak menelan korban sampai saat ini. Dalam praktiknya, pemerintah dan aparat hukum justru menyalahgunakan UU tersebut untuk membungkam pihak-pihak yang mengkritik Presiden/Pejabat negara lainnya, bahkan sampai melokal didaerah.
UU ini bagaikan senjata sapujagad yang dapat saja dijadikan alat untuk digunakan mempidanakan seseorang dengan menggunakan Pasal 27 ayat 3 terkait muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dan Pasal 28, baik ayat 1 maupun ayat 2. Bahkan dengan isu sebagai penyebaran ujaran kebencian atau berita bohong (hoaks), maka siapa saja bisa dengan mudah dijerat dengan delik pasal 28 ini.
Menurut Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia)
Data dari SAFENET tahun 2018 menunjukkan dari 245 kasus yang menggunakan UU ITE dari tahun 2008 telah melokal, lebih dari sepertiga pelapor (35,92%) adalah pejabat negara. Sasaran mereka adalah aktivis, jurnalis, hingga pegawai negeri, dan guru.
Umumnya kasus pembungkaman kritik banyak terjadi di tingkat lokal karena cakupan media lokal yang terbatas dan loyal terhadap penguasa setempat. Kondisi media yang seperti itu menjadikan kasus pembungkaman tidak terekspos dan akhirnya dibiarkan begitu saja. Kondisi tersebut menyebabkan represi negara terhadap kebebasan untuk mengkritisi pemimpin negara menjadi "terdesentralisasi" -- ia bukan lagi upaya yang terkolaborasi, namun dalam kendali kepentingan-kepentingan individual penguasa lokal.
Sejatinya Tidak Ada Kriminalisasi Menyampaikan Kritik Kepada Pejabat Publik
Tindakan masyarakat yang menyampaikan masukan dan kritik kepada pejabat publik sejatinya bukanlah tindak kejahatan melainkan bentuk partisipasi dan pengawasan publik, sekaligus bisa menjadi bagian ekspresi kekecewaan masyarakat atas kebijakan pemerintah dianggap tidak adil, lalai, lamban serta mengecewakan. Serta demi kepentingan umum dan untuk tujuan kemaslahatan tidak ada kriminalisasi dalam penyampaian aspirasi dan kebebasan berpendapat.