Kilauan Cahaya dari Makkah Al-Mukarromah hingga Pulau Seribu Masjid (Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia)
Oleh : Tatang Hidayat (Pegiat Student Rihlah Indonesia)
Sabtu (29/6/2019) siang baru saja saya selesai mempresentasikan hasil riset perjuangan Asy Syahid KH. Zainal Musthafa, seorang tokoh pahlawan Nasional dari Tasikmalaya dalam Seminar Internasional Ulumuna ke 4 yang diselenggarakan UIN Mataram Lombok Nusa Tenggara Barat.
Sore itu menjelang senja, saya diajak oleh seorang dosen UIN Mataram menyusuri sudut sudut kota Maratam, diajaknya saya ke Museum Nusa Tenggara Barat, namun saat itu sayangnya sudah tutup. Dari sana, saya diajak ke kampus Nadhlatul Wathan, Kampus Nahdlatul Ulama, Universitas Mataram dan tentunya kampus UIN Mataram tempat dosen itu mengajar.
Saat sedang menyusuri sudut-sudut Kota Mataram Lombok, tidak terasa waktu sebentar lagi menuju Maghrib, dan ada pesan masuk via whatsapp, setelah saya buka ternyata teman dari penginapan menghubungi bahwa hari itu panitia mengajak para presenter untuk pergi ke pantai senggigi, salah satu pantai di Lombok untuk menyaksikan keindahan ciptaan sang Pencipta.
Diajaknya saya beserta rombongan ke pantai tersebut, dan benar saja tepat ketika saya sampai, pemandangan elok nan indah sedang dipertontonkan dihadapanku, nampak senja sore itu dengan suasana sunyi di hari Jum'at begitu indah mempesona, seindahnya perasaan saya hari ini diberikan kesempatan yang mulia dan berharga menelusuri jejak-jejak cahaya di pulau seribu masjid.
Saat lembayung segera hilang di ufuk barat sana, tak terasa adzan Maghrib mulai bersahutan meramaikan langit pulau seribu masjid kala itu, semakin menambah kesyahduan suasana surga tersembunyi di pulau ini. Â Rombongan pun segera menuju tempat selanjutnya yakni untuk melaksanakan shalat maghrib dan dilanjutkan shalat Isya sembari menikmati berbagai masakan khas dari Lombok.
Malam itu merupakan malam terakhir saya di pulau seribu masjid, kami isi kegiatan malam itu berdiskusi dengan beberapa peneliti lainnya sambil menikmati makanan-makanan khas Lombok lengkap dengan plecingnya untuk mengukir kesan yang indah malam ini. Karena keasyikan diskusi, tak terasa kami lupa bahwa malam semakin larut, kami pun segera diantar pulang ke penginapan untuk beristirahat dan menyiapkan energi untuk besok hari kembali menyusuri dan mentafakuri keindahan Sang Pencipta di pulu seribu masjid.
Adzan saat Fajar Ahad (30/6/2019) kembali bersahutan menggemakan langit pulau seribu masjid, segera saya menuju masjid untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Shubuh itu merupakan shubuh terakhir saya di pulau seribu masjid, karena nanti maghrib saya harus segera berangkat ke pelabuhan Lembar.
Pagi itu kami para presenter menikmati sarapan di hotel dengan menu yang sangat istimewa, kembali disajikan berbagai makanan khas Lombok yang memanjakan lidah kami. Tak berlama lama lagi karena matahari mulai naik dan semakin menampakkan sinarnya, kami segera berangkat untuk menyusuri tempat-tempat indah bagaikan surge tersembunyi yang ada di pulau seribu masjid. Kami diajak menuju sebuah bukit untuk melihat salah satu pantai yang sangat indah, nampak suasana hening dan nyaman di atas bukit itu, saya hirup udaranya dalam-dalam, saya hayati suasananya.
Masya Allah, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan ? Pantai-pantai di Lombok yang masih jernih airnya, bersih pantainya, putih pasirnya, hening suasananya, asri lingkungannya karena masih rindang dengan tumbuh-tumbuhan, ramah warganya, banyak masjidnya, berkumandang adzan bersahutan setiap 5 waktu shalat sehingga langitnya berkah dengan kalimat-kalimat tauhid bagaikan suasana surga tersembunyi yang ada di pulai ini.
Tak lama di bukit tersebut, kami segera menuju pantai selong blanakan, salah satu pantai yang indah yang diapit oleh dua bukit, airnya masih jernih bahkan bening, suasana hening di sekitar pantai itu menemaniku siang itu. Nampak cuaca begitu cerah, awan pun melengkapi layaknya berupa lukisan yang indah menaungi pulau seribu masjid.
Setelah dari pantai selong blanakan, kami diajak menuju pantai yang lain, yakni pantai Kuta. Pantai ini cukup ramai, dikarenakan ombaknya yang cukup bagus untuk serving, sehingga banyak para wisatawan memanfaatkan ombak tersebut untuk berselancar. Suasana pantai itu saya manfaatkan untuk berolah alih dengan kawan-kawanku dari berbagai kampus lainnya. Ada bapak Fakhrurozzi selaku dosen dari IAIN Bukit Tinggi, Ihsan Kamaludin dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mas Taufiq selaku dosen dari IAIN Tulung Agung dan beberapa presenter dari Amerika Serikat pun ikut.
Suasana siang itu tak terasa cepat berlalu, sambil menyantap kelapa muda dan ditemani dengan diskusi dengan para dosen, terutama ketua pelaksana yang baik bapak Dr. Mohd Nasir yang selalu setia mengantar kami, waktu berjalan begitu cepat hingga kami harus segera berangkat lagi ke tempat selanjutnya, setelah makan siang, baru kami sampai di pemukiman suku sasak sade.
Sade adalah salah satu dusun di desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Dusun ini dikenal sebagai dusun yang mempertahankan adat suku Sasak. Suku Sasak Sade sudah terkenal di kalangan wisatawan yang datang ke Lombok. Dinas Pariwisata setempat menjadikan Sade sebagai desa wisata karena keunikan Desa Sade dan suku Sasak yang menjadi penghuninya. Meski terletak persis di samping jalan raya aspal nan mulus, penduduk Desa Sade di Rembitan, Lombok Tengah masih berpegang teguh menjaga keaslian desa. Dapat dikatakan, Sade adalah cerminan suku asli Sasak Lombok walaupun listrik dan program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dari pemerintah sudah masuk ke sana, Desa Sade masih menampilkan suasana perkampungan asli pribumi Lombok (wikipedia.org).
Hal itu dapat dilihat dari bangunan rumah yang terkesan sangat tradisional. Atapnya dari ijuk, kuda-kuda atapnya memakai bambu tanpa paku, tembok dari anyaman bambu, dan langsung beralaskan tanah. Orang Sasak Sade menamakan bangunan itu bale. Terdapat delapan bale yaitu Bale Tani, Jajar Sekenam, Bonter, Beleq, Berugag, Tajuk dan Bencingah. Bale-bale itu dibedakan berdasarkan fungsinya. Ada 150 Kepala Keluarga (KK) di Sade. Dulu, penduduknya banyak yang menganut Islam Wektu Telu (hanya tiga kali sholat dalam sehari). Tapi sekarang, banyak penduduk Sade sudah meninggalkan Wektu Telu dan memeluk Islam sepenuhnya. Uniknya, warga desa punya kebiasaan khas yaitu mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau. Jaman dahulu ketika belum ada plester semen, orang Sasak Sade mengoleskan kotoran kerbau di alas rumah. Sekarang sebagian dari kami sudah bikin plester semen dulu, baru kemudian diolesi kotoran kerbau. Konon, dengan cara begitu lantai rumah dipercaya lebih hangat dan dijauhi nyamuk. Bayangkan saja, kotoran itu tidak dicampur apa pun kecuali sedikit air (wikipedia.org).
Setibanya di tempat itu, kami dimanjakan dengan bangunan yang masih alami yang menandakan ciri khas suku sasak sade. Diajaknya kami berolah alih oleh pemandu dari sana, dari satu rumah ke rumah lain, bahkan saya diberikan kesempatan masuk ke salah satu rumah suku sasak sade yang begitu sederhana isinya, barang-barang rumah tangganya masih tradisional, sesekali saya pun dikenalkan dengan cinderamata asli karya suku sasak sade yakni berupa anyaman tangan yang berbentuk selendang dan beberapa aksesoris lainnya.
Suasana kampung itu masih alami, bangunannya masih menggunakan kayu dan injuk, di tengah perkampungannya pun berdiri masjid yang kokoh, shalat berjamaah diselenggarakan di sini, adzan berkumandang setiap 5 waktu shalat, di atas pintu utama masjidnya terpampang lukisan kalimat tauhid, ya masjid ini bagaikan kilauan cahaya yang menerangi perkampungan sasak sade dengan cahaya Islam.
Saat saya sedang berolah alih, nampak di samping kanan kiri jalan banyak warga yang sedang duduk dan menjajakan aksesoris, nampak dalam diri mereka berjualan hanya untuk menyambung kehidupan bukan untuk memperkaya diri sebagaimana sering dipertontonkan para elit.
Di tengah perjalanan saya termenung dan merasakan sejuta rasa bahagia dan haru, ya saya melihat dan mendengar seorang ibu yang sedang menyapih anak balitanya sembari merafal shalawat untuk kanjeng Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Saya membayangkan dan tak terasa dalam lamunanku menggembung khayali betapa hebatnya perjuangan para dai dahulu mengarungi samudera sehingga cahaya Islam dari Makkah Al-Mukarromah nan jauh di sana bisa sampai ke pelosok pulau pulau di Nusantara yang berada di negeri timur jauh.
Tak terasa karena keasyikan berolah alih di kampung itu, senja segera tiba, sudah saatnya kami melanjutkan perjalanan berikutnya. Ya saya harus segera pergi ke pelabuhan, karena jadwal kapal menuju Pulau Bali akan segera berangkat. Akhirnya rombongan kami pun segera pulang, sebelum saya diantarkan ke pelabuhan, rombongan pun menyempatkan mengantarkan salah seorang presenter dari Amerika Serikat ke Bandara Internasional Lombok. Setelah dari Bandara, baru giliran saya di antarkan ke Pelabuhan.
Saya diantarkan panitia sampai simpang lima, dari sana saya harus naik mobil lagi untuk bisa menuju pelabuhan. Senja kala itu sungguh sangat berat saya lalui, karena senja itu saya harus berpisah dengan orang-orang hebat dan entah kapan saya bisa satu forum dengan mereka. Akhirnya mobil yang akan mengantarkanku ke pelabuhan segera tiba, tidak menunggu lama akhirnya saya bersalaman dan berangkulan untuk mengobati perpisahan senja itu. Saya segera menaiki mobil yang akan mengantarkanku ke pelabuhan, tidak terasa setelah mobil melaju dan saya menoleh ke belakang, kawan kawan ku yang menemani perjalanan sudah hilang di pandangan mata.
Sebelum Maghrib tiba, saya sampai di Pelabuhan Lombok, 3 hari di pulau seribu masjid seolah terasa sangat singkat, tak terasa 3 hari yang lalu baru saja aku sampai di pelabuhan ini, sekarang tak terasa maghrib itu aku harus segera meninggalkan pelabuhan ini. Setelah menunggu bongkaran kapal yang sudah dari dari Bali, saya segera menaiki kapal tersebut, suasana kapal tersebut sangat beda saat aku menaiki kapal dari Surabaya ke Lombok. Suasana kapal menuju Bali tidak terlalu padat, hingga saya bisa duduk di salah satu tempat duduk. Di sisi lain, kebanyakan penumpangnya adalah para turis dari luar negeri.
Setelah selesai bongkaran, kapal tersebut segera meninggalkan pelabuhan Lombok, tak terasa senja sore itu mulai hilang dan berganti dengan suasana malam. Saya lihat jam di hp sudah masuk menunjukkan waktu adzan Maghrib, saya segera berangkat ke mushola kapal dan melaksanakan shalat Maghrib dan Isya jamak takdim secara qashar. Setelah selesai shalat dan memanjatkan do'a do'a terbaik, karena bagiku saat safar merupakan saat-saat waktu ijabahnya do'a maka sangat rugi diriku jika tidak memanjatkan do'a do'a terbaik.
Sepanjang perjalanan menuju Bali malam itu, dengan suasana badan mulai lelah karena sisa-sisa tenaga, saya masih ingat ternyata sebelum naik kapal saya sempat membeli 2 nasi kucing, meskipun tidak banyak tetapi cukup untuk menegakkan punggungku dan memberikan energi kepada tubuh ini yang sudah lelah.
Saya menyantap makanan 2 nasi kucing yang ditemani berdiskusi dengan 2 penumpang disampingku, seorang bapak dan ibu pasangan suami istri yang hendak ke Bali juga. Obrolan malam itu begitu berkesan bagiku, karena bapak itu memberikan berbagai pesan dan nasihat kepadaku.
Sekian lama di lautan timbul pertanyaan dalam diriku, kenapa kapal ini belum berlabuh juga di pelabuhan Padang Pai Bali, ada apa gerangan ? Karena penasaran, saya naik ke atas kapal dan melihat suasana apakah daratan sudah dekat atau belum, ternyata masih belum terlihat juga daratan dan saya coba cek di google map di hp ku, ternyata perjalanan masih jauh.
Ketika itu tubuh saya sudah sangat lelah dan dipaksakan untuk tidur tapi tidak bisa, saya lihat kembali jam di hp ku sudah menunjukkan pukul 11 malam, dan kapal sedang bergoyang goyang dan hal tersebut membuat kepalaku pusing, seolah saya sedang dilanda mabuk laut, karena memang malam itu ombak begitu besar.
Baterai hp ku akan segera habis, sedangkan orang yang akan menjemputku di pelabuhan sudah beberapa kali menghubungi udan menanyakan sudah sampai mana perjalanannya. Di tengah situasi tersebut saya menyempatkan ke kantin kapal dan mencas baterai hp, baru setelah satu jam berlalu tepat pukul 00.30 WITA saya bisa menggunakan hp kembali dan ketika cek di google map, kapal sudah dekat dekat dermaga dan akan segera berlabuh, ternyata saat bergoyang goyang itu kapal sedang menunggu giliran parkir di dermaga pelabuhan.
Tepat pukul 01.00 WITA akhirnya kapal yang membawaku dari Lombok berlabuh juga di pelabuhan Padang Pai. Saat itu begitu bahagianya saya bisa menginjakkan pertama kali di tanah Bali, tanah yang pernah digunakan oleh ibu ku menjalani masa kecilnya.
Malam itu saya langsung di sambut oleh 2 orang yang menjemputku dan diantar ke tempat istirahat, saya tidak bisa membayangkan seandainy tidak ada yang menjemputku malam itu, karena malam itu sudah tidak ada lagi kendaraan dari pelabuhan yang menuju kota, mungkin Saya bisa saja bermalam di pelabuhan.
Namun malam itu dengan rela orang yang menjemputku mengorbankan tidak bekerja malamnya karena harus menjemputku. Alhamdulillah malam itu saya bisa selamat dan bermalam dengan nyaman di tempat orang yang menjemputku, sembari menyiapkan energi untuk pagi hari karena saya mau diajak menyusuri berbagai tempat di pulau dewata ini. Wallohu'alam bi al-Shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H