Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kilauan Cahaya dari Makkah Al-Mukarromah hingga Pulau Seribu Masjid (Lombok, NTB, Indonesia)

31 Juli 2021   06:44 Diperbarui: 31 Juli 2021   08:10 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat (Dokumentasi Pribadi)

Masya Allah, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan ? Pantai-pantai di Lombok yang masih jernih airnya, bersih pantainya, putih pasirnya, hening suasananya, asri lingkungannya karena masih rindang dengan tumbuh-tumbuhan, ramah warganya, banyak masjidnya, berkumandang adzan bersahutan setiap 5 waktu shalat sehingga langitnya berkah dengan kalimat-kalimat tauhid bagaikan suasana surga tersembunyi yang ada di pulai ini.

Tak lama di bukit tersebut, kami segera menuju pantai selong blanakan, salah satu pantai yang indah yang diapit oleh dua bukit, airnya masih jernih bahkan bening, suasana hening di sekitar pantai itu menemaniku siang itu. Nampak cuaca begitu cerah, awan pun melengkapi layaknya berupa lukisan yang indah menaungi pulau seribu masjid.

Setelah dari pantai selong blanakan, kami diajak menuju pantai yang lain, yakni pantai Kuta. Pantai ini cukup ramai, dikarenakan ombaknya yang cukup bagus untuk serving, sehingga banyak para wisatawan memanfaatkan ombak tersebut untuk berselancar. Suasana pantai itu saya manfaatkan untuk berolah alih dengan kawan-kawanku dari berbagai kampus lainnya. Ada bapak Fakhrurozzi selaku dosen dari IAIN Bukit Tinggi, Ihsan Kamaludin dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mas Taufiq selaku dosen dari IAIN Tulung Agung dan beberapa presenter dari Amerika Serikat pun ikut.

Suasana siang itu tak terasa cepat berlalu, sambil menyantap kelapa muda dan ditemani dengan diskusi dengan para dosen, terutama ketua pelaksana yang baik bapak Dr. Mohd Nasir yang selalu setia mengantar kami, waktu berjalan begitu cepat hingga kami harus segera berangkat lagi ke tempat selanjutnya, setelah makan siang, baru kami sampai di pemukiman suku sasak sade.

Sade adalah salah satu dusun di desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Dusun ini dikenal sebagai dusun yang mempertahankan adat suku Sasak. Suku Sasak Sade sudah terkenal di kalangan wisatawan yang datang ke Lombok. Dinas Pariwisata setempat menjadikan Sade sebagai desa wisata karena keunikan Desa Sade dan suku Sasak yang menjadi penghuninya. Meski terletak persis di samping jalan raya aspal nan mulus, penduduk Desa Sade di Rembitan, Lombok Tengah masih berpegang teguh menjaga keaslian desa. Dapat dikatakan, Sade adalah cerminan suku asli Sasak Lombok walaupun listrik dan program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dari pemerintah sudah masuk ke sana, Desa Sade masih menampilkan suasana perkampungan asli pribumi Lombok (wikipedia.org).

Hal itu dapat dilihat dari bangunan rumah yang terkesan sangat tradisional. Atapnya dari ijuk, kuda-kuda atapnya memakai bambu tanpa paku, tembok dari anyaman bambu, dan langsung beralaskan tanah. Orang Sasak Sade menamakan bangunan itu bale. Terdapat delapan bale yaitu Bale Tani, Jajar Sekenam, Bonter, Beleq, Berugag, Tajuk dan Bencingah. Bale-bale itu dibedakan berdasarkan fungsinya. Ada 150 Kepala Keluarga (KK) di Sade. Dulu, penduduknya banyak yang menganut Islam Wektu Telu (hanya tiga kali sholat dalam sehari). Tapi sekarang, banyak penduduk Sade sudah meninggalkan Wektu Telu dan memeluk Islam sepenuhnya. Uniknya, warga desa punya kebiasaan khas yaitu mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau. Jaman dahulu ketika belum ada plester semen, orang Sasak Sade mengoleskan kotoran kerbau di alas rumah. Sekarang sebagian dari kami sudah bikin plester semen dulu, baru kemudian diolesi kotoran kerbau. Konon, dengan cara begitu lantai rumah dipercaya lebih hangat dan dijauhi nyamuk. Bayangkan saja, kotoran itu tidak dicampur apa pun kecuali sedikit air (wikipedia.org).

Setibanya di tempat itu, kami dimanjakan dengan bangunan yang masih alami yang menandakan ciri khas suku sasak sade. Diajaknya kami berolah alih oleh pemandu dari sana, dari satu rumah ke rumah lain, bahkan saya diberikan kesempatan masuk ke salah satu rumah suku sasak sade yang begitu sederhana isinya, barang-barang rumah tangganya masih tradisional, sesekali saya pun dikenalkan dengan cinderamata asli karya suku sasak sade yakni berupa anyaman tangan yang berbentuk selendang dan beberapa aksesoris lainnya.

Suasana kampung itu masih alami, bangunannya masih menggunakan kayu dan injuk, di tengah perkampungannya pun berdiri masjid yang kokoh, shalat berjamaah diselenggarakan di sini, adzan berkumandang setiap 5 waktu shalat, di atas pintu utama masjidnya terpampang lukisan kalimat tauhid, ya masjid ini bagaikan kilauan cahaya yang menerangi perkampungan sasak sade dengan cahaya Islam.

Saat saya sedang berolah alih, nampak di samping kanan kiri jalan banyak warga yang sedang duduk dan menjajakan aksesoris, nampak dalam diri mereka berjualan hanya untuk menyambung kehidupan bukan untuk memperkaya diri sebagaimana sering dipertontonkan para elit.

Di tengah perjalanan saya termenung dan merasakan sejuta rasa bahagia dan haru, ya saya melihat dan mendengar seorang ibu yang sedang menyapih anak balitanya sembari merafal shalawat untuk kanjeng Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Saya membayangkan dan tak terasa dalam lamunanku menggembung khayali betapa hebatnya perjuangan para dai dahulu mengarungi samudera sehingga cahaya Islam dari Makkah Al-Mukarromah nan jauh di sana bisa sampai ke pelosok pulau pulau di Nusantara yang berada di negeri timur jauh.

Tak terasa karena keasyikan berolah alih di kampung itu, senja segera tiba, sudah saatnya kami melanjutkan perjalanan berikutnya. Ya saya harus segera pergi ke pelabuhan, karena jadwal kapal menuju Pulau Bali akan segera berangkat. Akhirnya rombongan kami pun segera pulang, sebelum saya diantarkan ke pelabuhan, rombongan pun menyempatkan mengantarkan salah seorang presenter dari Amerika Serikat ke Bandara Internasional Lombok. Setelah dari Bandara, baru giliran saya di antarkan ke Pelabuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun